Antara Ditakuti dan Dibutuhkan - Shadow Banking

NERACA

Jakarta - Masih maraknya lembaga pembiayaan nonbank atau shadow banking di Tanah Air tentu tak lepas dari kebutuhan masyarakat akan pendanaan. Masyarakat yang tak tersentuh perbankan lantaran ketatnya prosedur yang ditetapkan perbankan menjadikan shadow banking sebagai alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Artinya, shadow banking “sangat mengerti” kebutuhan masyarakat akan pendanaan sehingga lebih fleksibel dalam memberikan kredit. Itulah kelebihan shadow banking yang membuatnya makin tumbuh dan berkembang, sehingga seperti sulit diberantas.

Di Indonesia, Bank Indonesia mendefinisikan shadow banking adalah institusi keuangan yang menjalankan fungsi layaknya perbankan, seperti perusahaan sekuritas, dana pensiun, hedge fund, asuransi, lembaga pembiayaan (multifinance) hingga lembaga keuangan mikro (LKM).

Sorotan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) terhadap sepak terjang shadow banking ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan nonbank tersebut berpotensi mengancam sistem keuangan global yang berimbas kepada kredit macet berujung risiko sistemik seperti yang dialami Amerika Serikat dalam kasus subprime mortgage pada 2008 lalu.

Menanggapi kekhawatiran IMF, Direktur Keuangan dan Strategis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Pahala Nugraha Mansury, mengaku kalau pihaknya belum begitu khawatir dengan peringatan lembaga keuangan global itu terkait potensi kegiatan shadow banking di Indonesia.

Dia pun meyakini jika Otoritas Jasa Keuangan akan bertindak cepat untuk mengantisipasi keberadaan institusi shadow banking dan risikonya yang dapat berdampak sistemik. "Saya rasa OJK selama ini telah mengatur secara ketat (keberadaan shadow banking). Dengan begitu tidak usah terlalu dikhawatirkanlah,” kata Pahala, di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, otoritas moneter dan pemerintah yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), akan mengantisipasi gejala di sistem keuangan yang dapat menyebabkan perputaran uang di masyarakat tidak sesuai dengan arahan.

Ibarat dua sisi mata uang, sambung Pahala, keberadaan shadow banking akan mempercepat perputaran uang, dan akhirnya berpengaruh pada laju inflasi. Namun sisi lain, keberadaannya juga akan berdampak negatif pada perlindungan konsumen.

“Kalau bank, dalam menjalankan fungsinya menjadi bagian dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nah, kalau shadow banking tidak. Karena beroperasi secara gelap maka tidak memenuhi ketentuan seperti yang diatur otoritas dan regulator. Jadi mungkin saya melihat isu ini ke masalah perlindungan konsumen," jelas Pahala.

Bunga Mencekik

Bagaimana cara kerja shadow banking? Berdasarkan data yang diolah Neraca, selain sifatnya yang fleksibel, shadow banking juga dalam memberikan kredit kepada nasabah lebih sering dalam wujud dana tunai. Meski awalnya diklaim sebagai gimmick marketing atau strategi membujuk calon nasabah, penyaluran dana langsung kepada masyarakat ternyata terus berkembang pesat.

Kemudahan dalam hal pemberian kreditlah, juga membuat masyarakat tertarik dan menjadikan shadow banking semakin besar. Bayangkan saja, dengan prosedur yang sangat mudah, masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya dalam hal pendanaan.

Kendati harus menelan pil pahit lantaran bunga yang mencekik. Misalnya, untuk pinjaman sebesar Rp5 juta, nasabah harus membayar cicilan Rp586.000 per bulan dengan tenor atau jangka waktu satu tahun. Artinya, nasabah harus mengembalikan pinjamannya sekitar Rp7 juta dengan bunga sebesar 71% selama satu tahun!

Sementara, di bank, dengan skema pinjaman berbentuk kredit tanpa agunan (KTA), mungkin nasabah hanya membayar bunga sekitar 36% untuk pinjaman dengan tenor yang sama atau sekitar 3% per bulan. Selisihnya memang cukup besar.

Alih-alih rumitnya persyaratan dari bank itulah, banyak masyarakat yang tidak keberatan dengan bunga yang ditawarkan shadow banking lantaran desakan kebutuhan. Pemberian kredit yang terlalu mudah inilah yang dikhawatirkan jatuh ke tangan-tangan yang “tidak tepat”. Hal itu tentu sangat membahayakan lantaran memicu terjadinya kredit macet. [ardi]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…