Oleh: BPH Tambunan, Ketua DPP Aliansi Nasionalis Indonesia (Anindo), Wakil Ketua Umum DPN Lembaga Pemantau Penyelenggara Trias Politica RI (LP2TRI) dan Direktur Eksekutif Institut Penelitian dan Penyebaran Ekonomi Kerakyatan Indonesia (IPPEKI), tinggal di Jakarta - Mafia dan Beban Fiskal Menunggu Rezim Pemerintah JW-JK

Masih kurang  dari sebulan  Presiden  dan  Wakil  Presiden terpilih  Joko  Widodo – Jusuf  Kalla (JW – JK) akan dilantik menjadi pemimpin  bangsa  dan  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pelantikan itu perwujudan  legitimasi sebagian terbesar  yakni sebanyak 70.9 juta atau sekitar 53.15 persen rakyat pemilih terhadap kedua tokoh lewat Pemilihan Presiden  (Pilpres)  9 Juli 2014, dan  dipertegas  keputusan  sidang Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Agustus 2014 lalu. Setelah  itu,  pasangan kedua  tokoh pemimpin memang  ditunggu segera mengumumkan struktur  rezim pemerintah  yang  akan  dimobilisasi  mengelola berbagai permasalahan politik, ekonomi dan sosial yang  hingga kini masih menyandera dan mendera kehidupan bangsa dan NKRI.             

Namun, tampaknya berbagai kalangan tak sabar menunggu momentum  pengumuman itu. Kalangan  itu ingin secepatnya mengetahui postur,  figur  dan bobot kompetensi setiap menteri  yang mengisi struktur kabinet Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW--JK. Tentu, untuk yang memprediksi kemungkinan  keberhasilan  atau kegagalan  rezim pemerintah pasangan kedua tokoh dalam merealisasikan janji-janji politiknya sepanjang masa kampanye  tempohari. Janji-janji politik yang pada hakekatnya memuat  asa dan keinginan mayoritas  rakyat  itu tercakup dalam Program 9 Agenda Perioritas (Nawa Cita). Ditambah kebijakan-kebijakan  strategis  yang  akan  dijalankan, Nawa Cita, kerap dicanangkan kedua tokoh diberbagai tempat sepanjang masa kampanye  dan di forum debat calon presiden dan atau wakil presiden.                               

Sering ditegaskan pula rencana  postur rezim pemerintahannya  yang  pasti tidak terlalu “gemuk”. Kecuali itu dijanjikan, rezim pemerintahannya  akan tertutup  bagi akses masuknya pentolan atau bagian potensial Mafia  Minyak dan Gas Bumi (Migas). Lewat suatu statemen, kedua tokoh mengedepankan kabinet  yang akan  diorganisasikan  terdiri atas 34 kementerian  yang  dihuni 18 menteri profesional murni non-partisan, 16 menteri profesional partisan, dan  kemungkinan 3 menteri koordinator (menko). Sejumlah 37 menteri dan menko itu akan diseleksi secara ketat, sehingga opsi cuma  sosok yang memiliki rekam jejak positif belum terkontaminasi kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjaring.

Dipertanyakan               

Meski sebetulnya pengorganisasian, baik terkait dengan postur atau pun personalia yang akan mengisi  kementerian  dan menko struktur rezim pemerintahannya  merupakan  hak prerogatif Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW--JK, banyak komponen rakyat  mengusulkan figur-figur yang dinilai layak direkrut memangku kekuasaan. Suatu website mengungkap, tidak kurang dari sebanyak 1 juta rakyat berpartisipasi mencarikan dan mengusulkan calon menteri  untuk dipertimbangkan kemungkinan dimasukkan dalam struktur rezim pemerintahan  yang  akan  dibangunnya. Sebaliknya, tak sedikit  di antara berbagai eksponen pergerakan yang menginginkan  pencerahan definisi makna  atau kriteria baku terkait persyaratan profesional murni non-partisan dan profesional partisan yang direncanakan  akan diterapkan pasangan kedua tokoh dalam menetapkan opsi menteri dan menko yang diplot   masuk rezim pemerintahannya. Masalahnya, persyaratan itu terlalu rancu dan  masih harus dipertanyakan kohesinya pada tugas pemerintahan negara. Berbagai tenaga profesional murni  juga tidak sedikit  memasuki  partai politik (parpol) untuk tujuan mengincer peluang bisnis dan kedudukan di pemerintahan.  Baik profesional murni  non-partisan atau pun profesional partisan,  cenderung  bekerja secara industrialisme, dengan mengutamakan harga  dari waktu, tenaga dan kecakapan / keahlian yang harus dikerahkannya.  Dan, itu  mesti dibayar pihak pemilik institusi usaha yang membutuhkannya. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahahan negara,  amat tak layak jika Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW–JK mengerahkan sekaligus membayar  pentolan-pentolan profesional murni non-partisan dan profesional partisan sejenis itu. Agar disadari, dewasa ini kedua tokoh tidak dalam posisi  atau berstatus sebagai pemilik NKRI.  Artinya, NKRI termasuk segala harta dan kekayaan yang terkandung di perut  dan di atas bumi wilayah hegemoninya, bukan milik kedua tokoh.  Tapi, kepunyaan seluruh elemen rakyat. Bahkan, kedua  tokoh sampai berstatus  RI 1 dan RI 2 hanya berkat legitimasi rakyat semata. Untuk memenuhi tugas konstitusional itu, kedua tokoh beserta rezim pembantunya, dituntut justru mesti lebih menekankan pengabdian hakiki pada bangsa dan NKRI, ketimbang  mengejar harta,  tahta dan kemuliaan.  Apalagi  menuntut bayaran dan kenikmatan bermacam fasilitas yang menyenangkan diri dan keluarga, di tengah kondisi kehidupan rakyat yang sebagian terbanyak masih terbenam di lumpur pra-sejahtra.             

Satu hal lagi yang perlu dan harus  di-clearence Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW--JK. Hingga dibubarkan, Rumah Transisi pemerintahan yang dibentuk kedua tokoh belum juga menyusun description atau uraian  kebijakan dasar terkait pemberantasan kejahatan KKN, termasuk penyalah-gunaan jabatan / kekuasaan. Padahal, description kebijakan dasar bagi sektor-sektor lain sudah beres disiapkan. Ketiadaan uraian kebijakan dasar upaya pemberantasan kejahatan KKN dan penyalah-gunaan jabatan atau kekuasaan itu, mungkin dipandang belum begitu mendesak. Namun, pandangan itu bisa memantik keraguan sporadis terhadap  konsistensi, komitmen dan political will kedua tokoh dalam memberantas kejahatan KKN dan penyalah-gunaan jabatan atau kekuasaan.  Kejahatan KKN dan penyalah-gunaan batan atau kekuasaan  selama kurun beberapa tahun terakhir secara akumulatif sudah menjadi musuh bersama seluruh elemen rakyat bawah yang belum sepenuhnya terbebas dari kolonialisme. Baik kolonialisme global. Malahan juga kolonialisme domestik atau internal.             

Komitmen Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW—JK “menghabisi” Mafia Migas, patut harus diapresiasi dan bahkan disokong dengan atraksi nyata. Begitu pun, jangan karena terlalu  berkonsentrasi  menyasar penjahat-penjahat Mafia Migas, sampai lupa memberangus seluruh pecundang lain. Soalnya, nyaris di seluruh sektor strategis bagi hidup dan kehidupan bangsa dan NKRI telah bercokol atau dikuasai mafia. Tidak asing lagi,  Mafia Pertambangan non-migas, Mafia Pangan, Mafia Hutan, Mafia Lahan, Mafia Perikanan, Mafia Pendidikan, Mafia Pajak dan Bea & Cukai. Termasuk Mafia Industri dan Mafia Tenaga Kerja Indonesia (TKI) / Tenaga Kerja Wanita (TKW). Yang disebut terakhir itu justru sudah menjelma menjadi Mafia Perdagangan Manusia, khususnya  wanita muda.

Ekstra Berat            

Tugas dan tanggung-jawab konstitusional yang mesti dipikul Presiden dan Wakil Presiden terpilih JW--JK memang ekstra berat. Tidak segampang membalikkan telapak tangan membasmi segala bentuk mafia yang sudah mengangkangi berbagai kementerian dan badan–badan selevel. Menjadi sangat tangguhnya kekuatan mafia, bukan hanya karena kinerja penegakan hukum yang  masih belum produktif, untuk tak dikatakan kontraproduktif.  Tapi, juga, disebabkan bandit-bandit ekonomi yang terorganisir dalam bermacam mafia itu sengaja dipelihara pemangku kekuasaan di kementerian-kementerian. Mafia diperlukan pemangku kekuasaan  guna memasok keuangan  kebutuhan pribadi dan parpol pendukungnya. Berkenaan  hal itu, menumpas  segala  mafia  yang sejak lama  sudah menggurita dan membelit lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif,  termasuk orpol,  dunia usaha  dan institusi  sosial, tidak cukup jika  cuma membentuk satuan tugas (Satgas) bermacam Mafia  dan mengandalkan  menteri dan menko yang berpredikat  profesional murni non-partisan dan profesional partisan. Selain  berkompetensi dan berintegritas profesional, setiap menteri dan menko yang menjadi pembantu kedua pasangan tokoh menggerakkan pemerintahan, seyogianya mutlak  memiliki  jiwa / semangat, mental serta  orientasi politik nasionalis dan atau kebangsaan. Kriteria itu inhaerent dengan Pancasila, Undang Undang Dasar (UUD) 1945 produk 18 Agustus 1945 dan tersirat juga pada teks Proklamasi Kemerdekaan bangsa dan NKRI tanggal 17 Agustus 1945. Itu pun, setiap menteri dan menko sejauh mungkin wajib pula  memahami,  bahkan berkomitmen kuat menyukseskan penerapan Trisakti lewat berbagai program dan kebijakan yang akan dijalankan rezim pemerintah mendatang. Trisakti yang  pertama kali digagas Presiden Sukarno tahun 1964 itu menegaskan, berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri (mandiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Tentu saja, penerapannya dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara masa kini, konsepsi Trisakti  memerlukan  inovasi kreatif. Sehingga mencair dengan tren perkembangan berbagai aspek hidup dan kehidupan bernegara di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, tanpa mesti kehilangan jatidiri bangsa dan NKRI.                            

Defisit sebesar Rp 257.6 trilyun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015 yang tak mengalami perobahan berarti ketika dibahasa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2009-2014 pekan lalu, merupakan beban tugas dan tanggung-jawab berat tersendiri lainnya yang menunggu  rezim pemerintah kedua pasangan tokoh itu. Guna memecahkan persoalan cekaknya APBN tahun 2015 di bawah tekanan beban stimulus fiskal yang masih minimalis itu, diperlukan kecerdasan, kepiawaian dan “kegarangan” rezim pemerintah mendatang. Antara lain, mengupayakan agar rasio pajak bisa bertengger setidaknya sekitar 13 persen, melancarkan penghematan anggaran belanja setiap kementerian, untuk di-over ke sektor-sektor produktif, dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap. Kebijakan itu akan berpotensi memperbaiki stimulus ekonomi.              

Tanpa perbaikan stimulus ekonomi, amat mustahil penanggulangan kesenjangan sosial  dan kemiskinan yang memperburuk performance eksistensi bangsa dan NKRI akan berjalan. Terkait masalah kesenjangan sosial dan kemiskinan, di antara beberapa bangsa yang belum sampai  selama kurun 70 tahun  terbebas dari belenggu kapitalisme dan imperialisme dewasa ini, bangsa dan NKRI menduduki posisi terburuk. Mengantisipasi dan mengakselerasi tren perekonomian yang semakin memberat sejak awal tahun 2015, rezim pemerintah Presiden dan Presiden terpilih JW--JK dituntut juga melakukan reformasi struktural. Sekali lagi, tugas dan tanggung-jawab legitimasi yang didapatnya dari rakyat itu, hanya bisa diwujudkan secara realistik dan menguntungkan bangsa dan NKRI, bila semua  menteri dan menko bukan saja memiliki kompetensi dan integritas profesional murni non partisan dan profesional partisan. Tapi, lebih dari itu,  harus memahami dan siap “berdarah-darah” menerapkan konsepsi Trisakti secara dinamis.*** 

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…