SBY, Jokowi, dan Korupsi - Oleh: Deny Humaedi Muhammmad, Peneliti Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta

Belakangan ini, selain riuh oleh persiapan Presiden dan Wakil dalam membentuk postur kabinet baru, publik dihenyakkan oleh “kata-kata” Florence Sihombing, mahasiswa pasca sarjana UGM,  melalui akun path miliknya. Peristiwa ini mengemuka saat Florence tengah mengantre di SPBU Lempuyangan Yogyakarta. Lantaran kesal dengan pelayanan SPBU tersebut, keluar kata-kata kasar menghiasi akun path miliknya.

Dalam akunya itu tertulis kekesalan Florence terhadap sosio-kultur Yogyakarta dengan nada pedas dan penuh emosi. Tak lama, hujatannya ini meluas ke publik. Warga Yogyakarta pun tersulut emosi. Mereka merasa dihina oleh ulah Florence. Ini pun berkembang menjadi konsumsi pemberitaan nasional. Sehingga, banyak diperbincangkan dimana-mana.

“Tribute” dan Ironi

Adalah pemberitaan Jero Wacik yang membuat publik geger kembali. Pada Rabu (3/8/2014) lalu  Komisi Pemberantasan Korupsi resmi menetapkan menteri energi sumber daya mineral (ESDM),  Jero Wacik, sebagai tersangka pemerasan.

Ada catatan menarik terkait penetapan Jero Wacik sebagai tersangka. Pertama, penetapan tersangka Jero ini berdekatan dengan masa akhir kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono Oktober nanti.

Penetapan Jero sebagai tersangka kasus korupsi kementrian ESDM mengusik keinginan SBY yang ingin mengakhir pemerintahannya dengan khusnul khotimah (akhir yang baik, bukan su’ul khotimah/akhir yang buruk). SBY berkehendak dalam detik-detik akhir kepemimipinannya tak ada lagi kasus ini itu yang mencoreng-moreng wajah pemerintahannya.

Ini juga dapat kita lihat ketika muncul pro-kontra menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebagian ahli dan pengamat ekonomi menghendaki kenaikan bbm, sebagian lainya menolak yang diiringi dengan logika ekonomi sesuai kepakaran masing-masing.

Tentu, lewat kacamata politik—bisa juga ekonomi—SBY  tak berniat menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menghindari kekecewaan publik. Ini sesuai dengan keinginannya untuk khusnul khotimah.

Kedua, Jero Wacik adalah kader partai Demokrat di mana SBY menjadi ketua umum. Sebagai pemimpin nomor satu SBY tentu merasa “malu” lewat tingkah kenakalan anak buahnya. Sebab, SBY sendiri pernah dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa Demokrat ingin menjadi partai terdepan dalam memerangi korupsi.

Namun pada satu sisi, kita mesti mengapresiasi komitmen SBY ihwal pemberantasan korupsi. Perang terhadap korupsi menjadi tema sentral kampanye demokrat saat pemilihan umum (pemilu) dan pencalonan SBY-Boediono sebagai calon dan wakil presiden. Di setiap stasiun televisi pun partai Demokrat, saat itu, gencar mengiklankan perang terhadap korupsi.

Iklan tersebut menampilkan para kader terbaik Demokrat, Angelina Sondakh, Ibas, Andi Malarangeng, dan Anas urbaningrum,  yang silih berganti dengan gaya masing-masing memproklamirkan “Katakan Tidak pada Korupsi”.

Saat terpilih, komitmen untuk memerangi korupsi ditunggu publik. Pada perkembangannya kasus korupsi yang melibatkan elit pemerintah satu per satu terungkap. Terungkapnya kasus korupsi ini menjadi tanda bagus komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi.

Puncaknya adalah terungkapnya kasus mega proyek Hambalang. Ironinya, aktor utamanya adalah kader Demokrat sendiri, yakni Muhammad Nazaruddin. Kemudian, lewat kicauan Nazaruddin merambat tertuduhnya sejumlah kader terbaik Demokrat lainnya, yakni Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan Anas Urbaningrum. Di antara mereka ada yang masih berstatus terdakwa dan tervonis.

Tak berhenti di situ keterlibatan elit pemerintah dalam skandal korupsi makin terungkap. Pada beberpa waktu lalu pejabat SKK Migas tersangka korupsi. Dan lagi-lagi melibatkan kader Demokrat yakni Soetan Bathoegana, yang sampai saat ini dalam proses penyidikan.

Dari situ, banyak kasus korupsi para elit terungkap. Mirisnya, kementrian agama yang notabene selalu mendalilkan dogma yang mengharamkan korupsi terkena kasus juga dimana ditetapkannya Surya Dharma Ali, mantan menteri agama, sebagai tersangka.

Tanpa bermaksud berlebihan, bahkan memuji tanpa kritisisme, “koalisi” SBY dan KPK dalam merontokkan korupsi patut dipuji. Sebab, di balik pengungkapan kasus korupsi tersimpan manfaat besar bagi penyelamatan harta kekayaan negara.

Terlepas dari prestasi pengungkapan korupsi elit, upaya pemberantasan korupsi tampaknya hanya bergerak dalam level elit, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Hal ini bisa kita lihat dari fakta empirik semakin terungkapnya korupsi para elit, semakin menjamurnya perilaku korup di birokrasi kita.

Pemerintah tampaknya tidak terlalu fokus ke bawah, yakni tingkat Desa dan kecamatan, dalam pemberantasan korupsi. Sebab, bisa disinyalir di situ terjadi penyalahgunaan wewenang besar-besaran terhadap anggaran pemerintah untuk desa dan kecamatan.

Tindak pemberantasan korupsi yang seolah tumpul kebawah ini menurut hemat saya menjadi penyebab keberanian aparat atau elit untuk menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Karena itu disamping keberhasilan pemerintah dalam menindak perilaku korup, di lain sisi masih banyak perilaku korup yang belum terungkap. Ini sebenarnya yang menjadi “PR” pemerintahan baru nanti.

Komitmen Jokowi

Belum tuntasnya pemberantasan korupsi era SBY, meninggalkan “warisan” bagi pemerintahan Jokowi untuk menebas korupsi secara massif dan progresif. Tak ada ruang bagi pemerintahannya untuk abai pada tindak pemberantasan korupsi.

Dalam paltform kerja sewaktu kampanye, Jokowi-Jk menempatkan penegakan hukum melalui tindak pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama selain program lainnya. Kini, setelah terpilih program tebas perilaku korup menunggu realisasi.

Upaya Jokowi untuk melanjutkan pemberantasan korupsi era SBY harus diapresiasi. Ini berarti ada keseriusan Jokowi dalam membenahi negara. Sebab, bila berhasil memberantas korupsi, kerugian uang negara setidaknya bisa terhindar.

Lebih dari itu keseriusan Jokowi bukan pada ihwal level pemberantasan korupsi belaka, eksponen efek jera terhadap korupsi mesti perhatikan lebih serius lagi. Dalam hal ini revolusi mental ala Jokowi menemui relevansinya.

Revolusi mental Jokowi, pada konteks ini, akan diuji sejauh mana pengaruh dan return terhadap efek jera perilaku korup. Meskipun, Jokowi mungkin harus menimbang masukan 31 jurus  pemberantasan korupsi dari Indonesian corruption Watch (ICW)

Namun yang lebih penting , seberapa besar political will Jokowi dalam menebas Korupsi? Beranikah Jokowi menindaklanjuti elit partai yang mendukungnya bila nanti terbukti korupsi?

Untuk itu, roda pemerintahan bergantung pada pemimpin (Jokowi), publik hanya mengawasi, mengikuti, dan mendoakan. (haluankepri.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…