BPD JANGAN TERLENA KREDIT KONSUMEN - Marak, Anggota DPRD Gadaikan SK

 

Jakarta – Di tengah maraknya ratusan anggota DPRD yang baru dilantik se-Indonesia menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan untuk menarik kredit konsumen tanpa agunan (KTA), Bank Pembangunan Daerah (BPD) diminta mewaspadai munculnya kredit macet berasal dari anggota dewan tersebut di kemudian hari.

NERACA

Menurut lembaga pemerhati perbankan The Finance, ratusan anggota DPRD se-Indonesia yang mendadak ramai-ramai mendatangi BPD hanya untuk keperluan mengajukan aplikasi kredit dengan agunan berupa SK pengangkatannya, demi memburu dana segar untuk keperluan antara lain membayar utang saat kampanye di masa lalu.

Menurut Direktur Eksekutif The Finance Eko B Supriyanto, beberapa BPD mulai kebanjiran debitur anggota DPRD, terutama dua BPD besar yaitu PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) dan PT BPD Jawa Timur Tbk (BJTM). Di BJBR, diketahui sedikitnya ada 45 anggota DPRD Banten yang secara kolektif mengagunkan (SK) anggota dewan menurut data hingga 15 September 2014.

Hal yang sama terjadi di BJTM yang juga secara koletif menerima permohonan pinjaman dari DPRD Pamekasan, Jawa Timur. ”Besarnya pinjaman antara Rp 100 juta, Rp 200 juta, bahkan ada yang Rp 500 juta,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada pers, Rabu (17/9).

Umumnya, menurut dia, dana kredit yang diperoleh para anggota dewan di daerah itu sebagian besar untuk membayar pinjaman waktu kampanye. Sisanya, untuk dana operasional awal sebagai anggota dewan.

”Menurut kami, perilaku anggota DPRD yang menggadaikan SK ini hampir merata dilakukan di seluruh Indonesia dengan BPD setempat. Kredit jaminan SK, selain paling aman tapi bermargin tinggi,” ujarnya.

Pihaknya menemukan di beberapa BPD dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ada yang tertimpa kredit macet dari anggota dewan yang tidak terpilih kembali dengan jaminan rumah dan tanah.

”Kami menilai sudah saatnya BPD tak hanya focus memberikan kredit dengan agunan SK ini semata, tapi sesuai namanya Bank Pembangunan Daerah, dengan embel-embel daerah dapat menjadi semacam agen pembangunan bagi daerahnya, dan bukan berkecimpung di kredit konsumen, membeli SBI dan Surat Utang Negara (SUN),” pikirnya.

OJK Harus Bertindak

Pengamat perbankan Lana Soelistianingsih mengatakan, adanya fenomena BPD memberikan kredit kepada para anggota DPRD sudah melenceng dari peran dan fungsi BPD sebagai bank penyalur kredit untuk daerah. Harusnya BPD bisa berfungsi sebagai bank yang mampu menyalurkan kredit untuk pengusaha skala besar maupun mikro yanga ada di daerah guna pembangunan ekonomi daerah yang lebih berkembang.

"BPD harusnya bisa memberikan kredit guna pengembangan daerahnya biar lebih berkembang, bukan malah menjadi “ATM” nya para anggota DPRD," katanya kepada Neraca, kemarin.

Jelas kondisi ini menyalahi aturan, untuk itu disini harus ada pengawasan dari lembaga jasa keuangan agar tidak terjadi berlarut-larut, dan fungsi dari BPD bisa menjadi normal. "Tentu praktik seperti ini salah, harus ada tindakan tegas dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas keuangan nasional," tegas Lana.

Dia menyadari, BPD kadang kalah bersaing dengan bank nasional yang masuk ke daerah-daerah, terkadang BPD kalah kompetitif dengan bank nasional mengingat bunga kredit bank nasional lebih murah. Tapi memang jika memang BPD ingin bersaing secara kompetitif maka harus keluar dari nama BPD nya, sehingga lepas image bank daerah. Tapi dengan catatan memang secara kemampuan mumpuni dan bisa bersaing secara sehat dengan nasional.

"Masuknya bank nasional ke daerah dengan memberikan bunga pinjaman yang lebih murah menjadikan BPD kadang kehilangan loyalis nasabahnya. Oleh karenanya jika memang mau lepas atribut BPD-nya seperti sekarang Bank Jabar yang sudah mampu bersaing dengan bank nasional," ujarnya.

Namun tetap saja, meski BPD sulit menyalurkan kredit tapi menjadikan banknya sebagai “ATM” nya DPRD tetap menyalahi aturan. "Bisa saja ada pemaksaan dari pihak DPRD nya saat menginginkan atau mengajukan kredit, karena DPRD punya power yang kuat di daerah. Sehingga berapa bank di daerah menurut saja DPRD mengajukan kredit meski jaminannya SK," tuturnya.

Pengamat ekonomi yang juga Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan mengatakan,  peran BPD memang belum optimal dalam meningkatkan pembangunan daerah.  Dasar untuk membangun daerah memang sudah dialamatkan kepada BPD, namun implementasinya belum maksimal dalam pembangunan di daerah. Oleh karenanya, sudah waktunya BPD tidak hanya memberikan kredit dengan jaminan SK. Namun, sesuai namanya bank pembangunan daerah harusnya dapat menjadi semacam bank pembangunan bagi daerahnya. BPD memang sejatinya menjalankan fungsi sebagai development bank, bukan berkecimpung di kredit konsumer.

"Dalam sektor perbankan, khususnya bank pembangunan daerah (BPD) memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian daerah, dengan meningkatkan berbagai hal seperti permodalan, pelayanan, kualitas dan kompetensi SDM, inovasi pengembangan produk, serta jaringan layanan kantor," kata dia.

Menurut Anthony, BPD harus melakukan penguatan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan untuk pembiayaan sektor riil di bidang infrastruktur dan UKM. Selama ini perusahaan pembiayaan hanya fokus pada pembiayaan konsumen dan leasing, sehingga terdapat gap yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan UKM. Dalam perannya sebagai agent of regional development, BPD musti menargetkan porsi yang lebih besar untuk kredit pada sektor-sektor produktif dan meningkatkan fungsi intermediasi, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Untuk itu perlu adanya perluasan kegiatan usaha bagi perusahaan pembiayaan, terutama untuk pembiayaan terhadap pembangunan proyek infrastruktur dan pengembangan UKM,” ujar dia.

Dia pun mengkuatirkan jika gadai SK penggangkatan DPRD itu digunakan untuk keperluan konsumtif dan kalau pun untuk kegiatan dana sosial atau pun operasional awal, sebaiknya anggota dewan tidak menggadaikan SK. Kemudian apabila menggunakan agunan SK pengangkatan DPRD ini maka akan meningkatkan manajemen risiko dimana nilai kredit macet akan bisa bertambah.

“Jika angggota DPRD yang menggunakan SK penggangkatan untuk mendapatkan pinjaman ini sudah tidak menjabat lagi menjadi pejabat pemerintahan maka bisa menimbulkan resiko yang tinggi dalam proses pembayaran pinjaman tersebut. Sektor perbankan, khususnya BPD harus berhati-hati dalam memberikan pinjaman kepada pejabat DPRD tersebut terkait dengan risiko perbankan yang akan dihadapi di kemudian hari,” ungkap Anthony.

Anthony pun menambahkan memang diperlukan pembenahan cara pandang (mind set) kinerja BPD dengan meningkatkan ketahanan daya saing, diantaranya melalui peningkatan permodalan BPD yang saat ini masih relatif kecil dan peningkatan tata kelola bank yang baik (good corporate governance). Hingga saat ini, kondisi permodalan BPD seluruh Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan.

Pengamat ekonomi FEUI Telisa Aulia Falianty mengatakan, fenomena anggota DPRD terpilih yang meminjam uang ke BPD adalah hal yang nyata terjadi di lapangan. Bahkan, kata dia, tidak hanya DPRD saja namun juga para PNS di daerah. “Pada dasarnya penyaluran kredit untuk konsumsi bukanlah penyaluran yang sehat, itu justru akan membayakan dari BPD tersebut karena berpotensi untuk kredit macet,” ujarnya.

Menurut dia, BPD lebih banyak menyalurkan kredit ke konsumsi maka itu akan berisiko tinggi karena fungsi intermediasi perbankan tidak jalan. “Ini juga terjadi sejak dahulu namun belum ada perubahan sama sekali dari pemerintah. Padahal anggota DPRD itu hanya menjabat 5 tahun dan PNS pun terkadang tunjangannya tidak menentu karena tergantung dari anggaran negara. Maka dari itu, pemerintah mendatang harus lebih menyikapi serius atas fenomena ini,” jelasnya.

BPD harusnya lebih banyak menyalurkan kredit ke produksi bukan ke konsumsi. Hal itu juga sejalan dengan namanya sebagai bank pembangunan daerah. “Dana yang ada di BPD itu harus berputar. Alokasinya jangan lebih banyak ke kredit konsumsi akan tetapi lebih banyak ke kredit produktif,” ujarnya. agus/bari/mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…