Kasus Munir dan "Pintu Masuk" Intervensi Asing - Oleh: Paramitha Prameswari, Pemerhati Masalah Indonesia

Kembali kasus kematian Munir, aktivis yang mendirikan Imparsial dan Kontras serta pernah bergabung dalam YLBHI/LBH Jakarta di era Bambang Widjojanto, sekarang Wakil Ketua KPK mendapatkan sorotan pihak asing untuk “menelusuri” kasus ini, termasuk Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Pemerintah Indonesia untuk menanyakan penyelesaian kasus Munir ini. “Surat” dari Kemenlu AS ini dalam perspektif hubungan internasional dan tata etika hubungan internasional dapat diklasifikasikan sebagai intervensi asing, karena intervensi asing di era liberalisasi, globalisasi, digitalisasi media dan konvergensi media sekarang ini dilakukan paling banyak dengan “soft way” terlebih dahulu sebelum mengarah ke “hard way”

Adanya surat dari Kemenlu AS ini mendapatkan tanggapan dari Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah yang mengatakan, proses hukum sudah berjalan dan pemerintah akan berkomitmen menuntaskan kasus tersebut. Sudah 10 tahun kasus kematian Munir Said Thalib tidak terselesaikan. “Kalau ke depannya kemudian masih dilihat ada peluang untuk melihat kembali kasus tersebut, tentunya bisa-bisa saja, sebab ada data bukti baru, novum dan lain-lain,” katanya. Apabila penyidikan kembali belum bisa dituntaskan di era pemerintahan SBY, hal ini akan menjadi perhatian pemerintahan mendatang. Upaya untuk penyidikan ulang kasus Munir ini bisa dilakukan, dan mungkin masih berjalan hingga saat ini, tetapi apakah dari segi waktu masih memungkinkan untuk mengungkap lebih lanjut kasus ini, untuk penyidikan ulang atas kasus Munir tersebut.

Para pendukung Munir seperti Kasum, Sahabat Munir ataupun kelompok aktivis yangm tergabung dalam “Jogya Menolak Lupa” juga melakukan aksi unjuk rasa tepat 10 tahun kasus Munir terjadi, yaitu pada 7 September 2014 di beberapa tempat di Jogyakarta seperti depan Kantor Gubernur DIY. Dalam aksinya, massa menggunakan topeng bergambar Munir, ini sebagai simbol bahwa meski Munir telah mati tetapi ide dan perjuangan tetap ada dan hidup.Dalam aksinya mereka juga membentangkan sejumlah poster dan spanduk diantaranya bertuliskan “SBY dan Pemerintahan Jokowi bertanggung jawab menuntaskan kasus Munir”.

Sementara itu, Koordinator Kontras, Haris Azhar mengatakan, bersama elemen masyarakat lainnya, Kontras akan menggunakan pemerintah jika tidak juga membuka hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan aktivis Munir. Gugatan yang dilakukan merupakan citizen lawsuit atau gugatan warga negara atas kelalaian penyelenggara negara memenuhi hak warga negara. Meskipun kasusnya sudah berjalan 10 tahun, Pemerintah belum juga membuka hasil penyelidikan TPF pembunuhan Munir. “Pemerintah wajib membuka hasil penyelidikan TPF sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta atas kasus meninggalnya Munir. Haris Azhar yang berwajah mirip lelaki Pakistan ini berharap SBY dan Jokowi sebagai presiden terpilih untuk mempertimbangkan target penyelesaian kasus Munir dalam memilih Jaksa Agung.

Sedangkan Trimedya Panjaitan, fungsionaris PDIP yang juga mantan aktivis LBH Jakarta mengingatkan pemerintahan Jokowi serius mengungkap kasus kematian Munir Said Thalib, karena kasus pembunuhan Munir terkatung-katung selama 10 tahun karena tidak ada keseriusan dari pemerintah sekarang. “Kendala utama pengungkapan kasus Munir adalah ketiadaan pengadilan HAM ad hoc. Padahal ini penting untuk menghilangkan hambatan dalam menyeret aktor-aktor intelektual yang diduga terlibat pembunuhan Munir. Pihaknya optimistis Jokowi akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk pembunuhan Munir. Perlukah Diselesaikan ? Hampir beberapa kalangan masyarakat sepakat bahwa kasus kematian Munir harus dituntaskan, namun penulis juga yakin penuntasan kasus Munir ini harus dijaga betul steril dari intervensi asing ataupun intervensi kelompok civil society pro Munir atau kelompok NGO yang pernah didirikan Munir atau Munir pernah tergabung dalam organisasi tersebut, agar tidak melakukan tekanan politis terhadap pemerintahan Jokowi-JK, karena jika pemerintahan Jokowi-JK melihat kasus Munir tidak perlu dituntaskan, maka itu juga sebagai policy yang harus dihormati oleh kelompok pendukung almarhum Munir, sebagaimana desakan atau tuntutan penyelesaian kasus Munir harus didengarkan dan diperhatikan oleh pemerintah. Permasalahan akan diselesaikan atau diteruskan, itu sudah merupakan hak prerogratif Presiden Jokowi untuk menyelesaikannya. Jaksa Agung siapapun figurnya jika Presiden nanti tidak sepakat kasus ini untuk diselesaikan, karena dengan berbagai pertimbangan khusus yang tidak dapat diketahui oleh masyarakat umum, juga harus dihormati.            

Adanya surat dari Kementerian Luar Negeri AS juga menunjukkan kasus ini menjadi perhatian internasional, khususnya AS. Namun disisi yang lain, besar kemungkinan Kementerian Luar Negeri AS “mengintervensi” penyelesaian kasus ini setelah mendapatkan masukan ataupun laporan baik melalui sumber terbuka atau open source atau laporan dari komprador AS di dalam negeri. Fenomena ini jika benar memang patut disayangkan, karena di era globalisasi sekarang ini tidak etis sebuah negara mengintervensi masalah dalam negeri negara lainnya, padahal sebenarnya tidak menutup kemungkinan di AS sendiri banyak terjadi pelanggaran HAM.           

Yang perlu ditarik pelajaran dari kasus Munir adalah setiap perjuangan atau pekerjaan apalagi sebagai aktivis atau jurnalis selalu berhadapan dengan “maut sebagai ekses pekerjaannya”, sehingga siapapun yang menjalani profesi ini apalagi pekerjaan yang dilakukan almarhum Munir seringkali mengandung bahaya besar, karena dilakukan di era sebelum reformasi dan memperjuangkan masalah HAM yang sangat sensitif, sehingga kehilangan nyawa sebenarnya sudah merupakan bagian dari risiko perjuangannya, dan sepertinya almarhum Munir tidak menyesalinya bahkan mungkin sudah menyadarinya semenjak beliau masih hidup.            

Mempolitisir atau bahkan memiliki kepentingan pragmatis lainnya dibalik tuntutan penyelesaian kasus Munir, juga bukan mencerminkan sikap nasionalisme yang patut diacungi jempol. Oleh karena itu, yang penting berikutnya dari kasus Munir ini adalah pembentukan karakter bangsa yang harus dapat menghormati saling perbedaan dan tidak menyelesaikan setiap persoalan dengan intimidasi dan kekerasan, karena mendesak pemerintah menyelesaikan kasus Munir sama dengan melakukan intimidasi, dan itu juga pelanggaran HAM atau kontra produktif terhadap perjuangan menegakkan HAM yang selama ini dikoar-koarkan oleh kelompok pendukung almarhum Munir.            

Presiden Jokowi akan menyelesaikan atau tidak kasus ini, akan banyak faktor yang nantinya akan mempengaruhi dan itu adalah ujian bagi kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual dari presiden terpilih tersebut untuk menentukan sikapnya dan sikapnya akan dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa tercinta ini.***

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…