Harga Pakan Tinggi - Peternak Ayam Tak Siap Hadapi MEA 2015

NERACA

Jakarta - Gabungan Peternakan Ayam Nasional (Gapanas) menilai peternak ayam di Indonesia belum siap menghadapi pasar dalam persaingan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) 2015 karena biaya produksi pakan yang tinggi. “Peternak ayam sangat tidak siap untuk bersaing pada MEA karena biaya pakan tinggi, akhirnya kapasitas peternak mengembangkan usahanya terbatas,” kata anggota Gapanas Khalik di Jakarta Timur, Kamis (11/9).

Ia menjelaskan, persaingan MEA nanti cukup ketat, apabila pengusaha asing melihat peluang bisnis menjanjikan, maka mereka akan berlomba-lomba menanamkan atau mengembangkan langsung usaha peternakan itu. “Jika peternak lokal tidak mampu bersaing, maka secara otomatis mereka akan menjadi penonton dan pekerja di perusahaan peternakan asing itu,” ujarnya.

Ia mengatakan, saat ini, sebagian besar peternakan ayam lokal gulung tikar karena keterbatasan modal usaha untuk pakan dan perawatan ternak ayam. “Saat ini, hanya 30 persen saja peternak lokal yang masih bertahan, sementara 70 persen lainnya peternakan ayam dikuasai pengusaha asing,” ujarnya.

Untuk itu, kata dia, pemerintah harus mencari solusi untuk menekan biaya produksi ayam ini yaitu menyediakan pakan ternak yang terjangkau. “Pemerintah harus menekan harga bahan baku pakan ternak yang masih impor dari negara lain, jika ini sudah teratasi maka harga pakan ternak turun dan dengan seperti itu, maka peternak baru bisa bersaing pada MEA 2015,” ujarnya.

Menurut dia, potensi peternakan ayam khususnya ayam petelur sangat menjanjikan karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap telur yang sangat tinggi. “Tingkat konsumsi telur yang tinggi ini tentu menjadi peluang bagi pengusaha asing untuk memasarkan produksi telurnya dan peluang pasar yang besar ini tentu mereka dengan mudah mendapatkan keuntungan,” ujarnya.

Perusahaan Pakan

Di tempat terpisah, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi) Anton J Supit mengatakan, saat ini sudah bukan lagi zamannya lagi bagi perusahaan unggas untuk hanya berkecimpung di sisi hulu. Untuk mendapat keuntungan lebih tinggi, perusahaan juga harus turut terjun ke sektor hilir. “Bisnis perunggasan pelan-pelan berubah dan bertransformasi. Pengusaha unggas lebih memilih untuk serius menjajaki bisnis hilir dengan terjun produksi makanan olahan,” ungkap Anton.

Terjun pada sektor hilir lewat pengelolaan makanan menjadi hal yang paling memungkinkan. Peluang ini tidak hanya milik bagi pengusaha ternak bermodal besar dan peternak kemitraan, tapi juga peternak mandiri. Kondisi ini akan membantu produk dalam negeri dapat bersaing di pasar bebas ASEAN. Agar mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Industri perunggasan di Indonesia harus dapat meningkatan efisiensi produksi dan pembenahan distribusi atau pemasarannya.

Anton menambahkan, ketidakefisienan dalam memproduksi hasil peternakan hingga sampai ke tangan konsumen akan menyebabkan biaya tinggi. Sehingga produk kalah bersaing di pasar. CEO PT Agrofood Pangan Sehat Djody Hario Seno menambahkan, pihaknya kembali akan merintis sektor hilir lewat rumah makan. Sebab, pasar pegelolaan makanan terbilang menjanjikan. “Kami akan menekuni bisnis hilir. Namun harus diakui SDM menjadi kendala yang sulit untuk masuk sektor hilir,” ujar Djody.

Harga pakan memang terbilang mahal. Salah satu penyebabnya adalah bahan baku yang didatangkan dari impor dan fluktuasi rupiah terhadap dolar semakin memperburuk harga pakan. Direktur Pakan Ternak Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian Mursyid Ma'sum menjelaskan bahwa kalangan perusahaan pakan ternak telah melakukan importasi 450.000 ton hanya pada kuartal I tahun ini.

Dengan kebutuhan 750.000 ton per bulan, angka itu menambal kekosongan setara 20% dari total penyerapan bahan baku industri tersebut, yaitu 2,25 juta ton jagung. “Estimasinya, impor jagung untuk industri total 3,9 juta ton tahun ini. Kalau khusus anggota Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) sebesar 3,2 jt ton,” katanya.

Mursyid mengatakan bahwa pihaknya memang mengizinkan dan memberi rekomendasi khusus kepada pabrik pakan untuk melakukan importasi, bukan kepada pedagang atau makelar (trader). Namun, yang menjadi masalah adalah HS Code jagung antara pakan dan pangan tidak berbeda, yang menyebabkan pemerintah kesulitan mengawasi kebocoran jagung industri ke pawar konsumsi. "Sudah kita mintakan ke pihak terkait ekspor-impor, tapi tidak bisa, karena secara fisik tidak bisa dibedakan," tuturnya.

Dia menjabarkan Kementerian Pertanian dan asosiasi petani juga mendorong pabrik pakan agar menjalin kerja sama dengan asosiasi petani jagung di tiap-tiap sentra produksi jagung lokal. Untungnya, kata Mursyid, GPMT telah sangat tepat menetapkan harga pembelian jagung mereka, yaitu minimal Rp2.400-2.800/kg dengan kadar air maksimal 15%, yang membuat petani tetap bersemangat menanam jagung.

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…