Perlukah Komisi Ideologi Nasional ? - Oleh : Toas H, Pemerhati dan pengamat senior. Tinggal di Jakarta

Banyak kelompok NGO yang menilai bahwa, banyak kasus kekerasan berbasis intoleransi yang terjadi selama 2014. Solidaritas korban Syi’ah, Ahmadiyah dan kelompok Kristen, sehingga konon mereka akan membentuk Solidaritas Korban Kebebasan Kepercayaan dan Beragama Nasional yang menurut rumors di kalangan aktivis menyebutkan bahwa organisasi tersebut dibantu atau didukung oleh American Frend Sevices Committe(AFSC) agar berkembang menjadi organisasi yang kuat. Bahkan, salah satu NGO di Yogyakarta yang aktif menyoroti soal kekerasan, juga berencana akan melakukan kampanye public terkait anti kekerasan, penegakan keadilan dan hukum tanggal 16 September 2014 mendatang.

Sementara itu, kalangan civil society lainnya juga banyak yang menilai bahwa multikulturalisme merupakan suatu politik, tetapi setelah Orde Baru tidak ada politik multikulturalisme. Politik multikulturalisme Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, tetapi belum ada implementasi dalam bentuk aturan atau UU.

Menurut mereka, Bhinneka Tunggal Ika hanya konsep makro yang membeku dengan persepsi masing-masing kelompok. Setelah reformasi, kita gagap membedakan etnis dan agama, karena sekarang tidak punya multikulturalisme yang jelas. Konsep Indonesiasi tidak akan pernah bisa terwujud, karena setiap etnis mempunyai sistem ide masing-masing. Agama Islam di Indonesia mayoritas, tetapi cara berpikirnya minoritas seperti tertindas atau terhina. Persoalan multikulturalisme yaitu state, demokrasi dan citytionship. Selain itu, pluralitas merupakan hakikat dasar yang dinaungi oleh paradigma multikulturalisme agar tidak saling menyerang yang lahir dari sebuah kritik ideologi.

Menurut catatan penulis, memang masalah pluralisme dan multi kulturalisme atau persoalan yang terkait dengan ideologi masih belum tuntas dibicarakan di Indonesia, sehingga secara tidak langsung hal ini mengganggu proses pembangunan karakter bangsa.

Contohnya adalah salah satu ormas Islam di Kota Batam, Kepri misalnya mengawal kegiatan gotong royong pembangunan salah satu masjid yang tetap dilakukan warga muslimdisalah satu perumahan di Kecamatan Sagulung, meskipunsebelumnya terjadi penolakan oleh warga non muslim yang ada di perumahan tersebut. Penolakan tersebut dilakukan karena pembangunannya tidak sesuai dengan site plane(denahperumahan) karena awal tahun 2014 sudah ada kesepakatan antara warga perumahan tersebut bahwa fasum tersebut akan dibangun gedung serbaguna dan sarana olahraga, bukan tempat ibadah.

Sementara itu, warga di salah satu kelurahan di Kecamatan Bandara, Samarinda, Kalimantan Timur menolak pembangunan gereja yang berada di lantai 2 salah satu pusat pertokoan di Samarinda, karena tempat tersebut sudah sering dijadikan tempat ibadah oleh umat Nasrani yang berasal dari luar kelurahan tersebut yang dilakukan setiap Jum’at dan Minggu. Penolakan pembangunan gereja tersebut karena tidak memenuhi prosedur Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian Rumah Ibadah.

Masalah Sensitif Lainnya

Menurut penulis, dalam perkembangan terkini terkait permasalahan sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat kita, memang masih ada banyak masalah sensitif lainnya antara lain, terkait masih maraknya paham radikal dan belum surutnya pengaruh ISIS di beberapa daerah di Indonesia, serta persoalan terkait Syiah ataupun kelompok minoritas lainnya, yang harus dievaluasi, dipelajari, dikomunikasikan, dan didialogkan secara hati-hati, berwawasan nasional dan bijaksana serta dewasa, karena masih maraknya masalah-masalah sensitif terkait ideologi atau sejenisnya ini jelas akan berpengaruh terhadap pembangunan karakter bangsa ke depan menghadapi era globalisasi.

Bahkan, salah satu kelompok militan tertentu di Yogyakarta misalnya telah menghimbau umatIslammemahamiprinsip-prinsip Islam untuk mewaspadai kelompok Nasrani, Majusyi, Liberal, Pluralisme dan Muktazilah, serta penyebaran aliran Syi’ah di Indonesia.

Berkembangnya pengaruh ISIS yang disinyalir didukung sebagian kecil kalangan masyarakat, terutama masyarakat Islam karena pada dasarnya setia pada gerakan yang menggunakan atribut Islam peminatnya sangat banyak, karena umat Islam Indonesia sangat mudah diajak/bergabung dalam ormas Islam padahal belum tentu pemimpin mentaati ajaran Rasulullah SAW.

Menurut salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dalam sebuah seminar bertema “ISIS Bahaya Republik Indonesia” yang diselenggarakan Forum Masyarakat Cinta Damai (Formacida) Jatim belum lama ini di Surabaya menilai, Islam menjadi focus Amerika, karena Islam dinilai sebagai ancaman dunia yang lebih dahsyat dibandingkan komunisme.

Namun tidak sedikit kelompok Ormas Islam moderat di Indonesia juga mengajak seluruh masyarakat untuk menolak gerakan ISIS, karena mengancam keutuhan NKRI dan semangat kebhinnekaan, serta Pancasila bahkan mendorong pemerintah dan aparat penegak hokum menindak tegas pengikut gerakan ISIS di Indonesia. Sejumlah ormas Islam menilai gerakan ISIS sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, karena radikal dan sadistis.

Penulis menilai radikalisme di Indonesia secara umum ingin memisahkan diri dari NKRI dan sasaran gerakan radikalisme adalah generasi muda yang mudah terpengaruh oleh gerakan baru. Bagaimanapun juga, gerakan radikal selama ini maknanya kekerasan, karena dalam penerapan suatu paham dilakukan dengan cara kekerasan padahal Islam mengajarkan dengan penuh toleransi dan kelembutan.

Penulis juga sepakat dalam mengatasi masalah sensitif tersebut diatas, maka penegakan hukum dan tindakan tidak pandang bulu juga harus dikedepankan, dan penulis berharap kelompok civil society juga tidak buru-buru selalu menyalahkan tindakan aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah sensitif tersebut melalui jalur huku, seperti menyelesaikan kasus salah satu mahasiswa UGM Yogyakarta berinisial “FS” yang mengeluarkan cacian melalui sosial media.

Menurut penulis, tindakan sejumlah NGO di Yogyakarta yang mendesak Polda DIY untuk menghentikan proses pidana terhadap FS tersebut adalah berlebihan, termasuk mendesak pencabutan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, karena bertentangan dengan HAM,yaitu hak kebebasan berpendapat yang dilindungi dalam Pasal 28 Pasal 28 E ayat 2 dan 3 UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAMdan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak Sipil Politik.Bahkan, pendapat kalangan NGO tersebut juga kebablasan ketika menilai kasus FS yang diselesaikan Polda DIY dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi ancaman kebebasan berekspresi masyarakat, karena dapat menjerat siapapun yang dianggap menyinggung pihak lain. Penulis setuju kasus FS diselesaikan melalui UU ITE agar ada pembelajaran bagi siapapun juga supaya bijaksana dan dewasa dalam memanfaatkan sosial media. Masalah ini tidak ada kaitan dengan kebebasan berekspresi yang terancam dll.

Meskipun demikian, mengaca dari berbagai permasalahan sensitif yang terkait erat dengan perkembangan ideologi dan sosial budaya di tengah masyarakat, tampaknya perlu ada lembaga quasi negara yang menggalakkan kembali semangat mengedepankan ideologi negara atau ideologi nasional, Pancasila dalam setiap menyelesaikan permasalahan bangsa ini.

Lembaga quasi negara ini dapat bernama apapun juga, namun yang dikedepankan lembaga quasi negara ini harus dapat menjadi penengah, mediator sekaligus pelindung bagi kelompok minoritas yang terancam oleh kelompok mayoritas, atau sebaliknya melindungi hak dan kepentingan kelompok mayoritas dari rongrongan secara perlahan dari kelompok pendukung pluralisme yang tidak menutup kemungkinan diantara mereka melakukannya, karena ingin mengurangi hegemoni kelompok mayoritas, bukan semata-mata memperjuangkan pluralisme dan multi kulturalisme saja.***

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…