Kawasan Industri Perlu Dilengkapi Teknologi Modern

NERACA

Jakarta - Director of Sales and Marketing PT Acarindo Internasional, Stephanus Hery Putranto menyatakan bahwa optimalisasi hasil produksi di kawasan industri Karawang dan Cikarang, Jawa Barat harus didukung dengan penggunaan teknologi industri manufaktur yang modern. “Besarnya potensi tersebut menjadikan Cikarang sebagai lokasi yang tepat untuk menghasilkan interaksi maksimum bagi para pemasok teknologi industri. Kami melihat potensi yang besar dalam industri di kawasan Cikarang harus ditopang dengan infrastruktur maupun teknologi yang lebih bagus,” kata Hery dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (8/9).

Untuk mendukung pengembangan teknologi di kawasan industri khususnya wilayah Cikarang, menurut Hery, pihaknya akan menggelar pameran industri bertajuk Industrial Roadshow (IR) Indonesia 2014, Cikarang Chapter. “Perhelatan yang diselenggarakan oleh PT. Acarindo Internasional dan AALL Corporation PTE LTD tersebut akan dilaksanakan pada 10 September sampai dengan 11September 2014 di Gedung Serbaguna GSG 139 Cikarang. IR Indonesia 2014 akan menampilkan teknologi mutakhir dalam percepatan proses produksi di sektor industri,” paparnya.

Pameran ini, lanjut Hery, akan menampilkan teknologi industri dalam bidang Industrial Automation, Metrology, Test maupun Measurement yang ditujukan untuk pabrik produksi dan sub kontraktor. “Lebih dari 100 merek akan hadir sebagai peserta, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Produsen yang akan unjuk gigi dalam acara berasal dari Singapura, Jepang, Korea Selatan, Swis, German, Taiwan dan Malaysia,” ujarnya.

Hery menambahkan, tujuan diselenggarakannya acara ini adalah memperkenalkan pengembangan teknologi sistem dalam efektifitas dan efisiensi proses produksi. “Ditargetkan 3.000 pengunjung akan hadir selama 2 hari pameran, dengan harapan porsi 80% pengunjung datang dari pihak pabrik dan sub kontraktor industri. Target transaksi kami selama pameran sebesar Rp2 triliun,” tandasnya.

Mesin Tua

Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retraubun mengakui mayoritas mesin dan teknologi yang dipakai industri manufaktur Tanah Air sudah tua. Akibatnya, penggunaan energi dalam industri tersebut tidak efisien. “Sebagian besar (mesin) sudah berumur 40 tahun,” kata Alex.

Alex menuturkan, inefisiensi industri membuat jumlah penggunaan energi di Indonesia untuk menghasilkan 1 ton produk jauh lebih besar dibanding industri di negara lain. Sebagai contoh, untuk memproduksi 1 ton produk baja, Indonesia memerlukan energi sebesar 650 kWh, sedangkan Jepang hanya membutuhkan 350 kWh. “Kebutuhan energinya hampir dua kali lipat lebih besar dibanding Jepang,” katanya.

Menurut Alex, sebenarnya potensi penghematan energi dengan menggunakan energi terbarukan pada sektor industri di Indonesia terbilang besar, mencapai 15-30%. Namun penerapan hal baru pada sektor manufaktur dinilainya tidak mudah. “Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Teknologi harus sesuai, serta suplai energi harus terjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya,” ujar dia.

Kendati demikian, Alex optimistis bahwa target penggunaan energi terbarukan sebesar 25% dari total penggunaan energi akan tercapai pada 2025. Kerja sama Indonesia dan Jepang dalam penggunaan energi terbarukan pun sangat potensial dikembangkan. “Melihat potensi industri Osaka dan kebutuhan industri nasional, kerja sama di bidang energi terbarukan sangat potensial untuk dikembangkan bersama-sama,” ucapnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, mengaku tidak kaget dengan kondisi teknologi pada industri manufaktur. Menurut dia, sudah lama pengusaha tidak berinvestasi teknologi pada industri manufaktur karena dana yang dibutuhkan sangat besar. “Industri memang tidak pernah investasi karena terlalu mahal. Tapi, kalau tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi, industri juga yang rugi,” katanya.

Menurut Sofjan, selain biaya pengembangan teknologi yang terlalu mahal, pelaku industri Tanah Air enggan berinvestasi teknologi karena akan berdampak pada harga produk yang tinggi. "Masyarakat juga kalau membeli barang terlalu mahal tidak mau. Jadi, serba sulit."

Sofjan menjelaskan, selama belasan tahun, pengusaha Indonesia lebih memilih membeli barang impor ketimbang mengembangkan investasi untuk memajukan teknologi industri manufaktur. Langkah ini membuat industri Tanah Air kalah bersaing dengan negara-negara tetangga yang memang getol mengembangkan teknologi pada sektor manufaktur.

Ke depan, pelaku industri diharapkan berinvestasi teknologi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Apindo menilai hal ini harus dimulai. Sebab, kalau tidak, Indonesia akan semakin tertinggal dan kalah bersaing dengan negara tetangga. “Misalnya di industri otomotif sudah menembus 1 juta unit. Pelaku industri harus melihat teknologi yang dibutuhkan dan harus dikembangkan. Harus bertahap,” kata Sofjan.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…