Industri Plastik Hilir Kekurangan Bahan Baku

NERACA

Jakarta - Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (INAplas) menyatakan, industri plastik hilir terkendala bahan baku lokal akibat PT Politama Propindo menghentikan produksinya. “Terhitung sejak April 2014 pasokan bahan baku dalam negeri mulai berkurang, hal itu terjadi seiring dengan berhenti berproduksinya Politama Propindo akibat belum dicapainya kesepakatan (deadlock) antara perseroan dengan PT Pertamina (Persero) sebagai pemasok propilena,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) INAplas, Fajar AD Budiono di Jakarta, Jumat (29/8).

Propilena, menurut Fajar, merupakan bahan baku untuk membuat polipropilena. Kelangkaan bahan baku tersebut kemudian berdampak terhadap meningkatnya impor propilena dan harga jual produk untuk industri pengguna propilena. “Selain Politama, industri hilir atau industri pengguna yang telah menghentikan produksinya antara lain seperti industri kantong di Jawa Tengah serta industri gelas plastik yang juga sudah kesulitan memperoleh pasokan,” paparnya.

Berhentinya produksi Politama dan sejumlah produsen plastik hilir diperkirakan menyebabkan potensi kerugian sekitar US$7,35 juta per bulan. Potensi kerugian itu dengan asumsi jumlah pasokan bahan baku berkurang sekitar 3.500 ton per bulan dikalikan harga jual rata-rata US$ 2.100 per ton.

Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplast) juga menerangkan pesta demokrasi telah mengerek pertumbuhan penggunaan plastik sampai dengan 7% dibandingkan dengan tahun lalu. Sepanjang tahun 2013, kebutuhan plastik mencapai 3 juta sampai 4 juta ton. Berarti, tahun ini, kebutuhan plastik bisa mencapai 3,8 juta sampai 4,3 juta ton.

Ia mengatakan, meski konsumsi plastik naik, hal ini tidak diimbangi dengan kenaikan kapasitas produksi. “Tahun ini, impor plastik akan naik sesuai dengan kenaikan konsumsi,” ujar Budi. Tahun lalu, total kapasitas terpasang produksi plastik sebesar 2,5 juta ton. Tahun ini, Budi bilang, hanya PT Chandra Asri Chemical Tbk yang menambah kapasitasnya. Dus, tahun ini, kapasitas produksi plastik nasional naik tipis sebesar 30% menjadi 2,8 juta ton.

Budi menjabarkan beberapa kendala yang menghambat di industri plastik. Pertama, harga bahan baku di hulu mahal. Solusinya, saat ini, Chandra Asri sedang melakukan studi dengan pihak dari Jerman untuk menggunakan gas. Rencananya, gas akan dibeli dari Blok Tangguh atau Senoro. "Namun, keekonomiannya tergantung dari harga gas," kata Budi. Targetnya, teknologi gas bisa diterapkan pada 2016 mendatang.

Solusi lainnya adalah menggunakan teknologi gasifikasi batubara yang notabene harganya lebih murah. Tapi, untuk merealisasikan ini butuh investasi hingga Rp 1 triliun. "Sudah kita tawarkan kepada investor tapi belum ada yang berminat," papar Budi. Makanya, proyek ini butuh insentif seperti tax holiday.

Kedua, bahan baku produk plastik sangat bergantung dengan impor. Alhasil, produk plastik dalam negeri masih kalah dibandingkan dengan produk impor. Apalagi dengan kondisi rupiah saat ini membuat produk lokal tidak kompetitif. "Bahan baku kita 50% impor dan 50% dari dalam negeri," kata Budi.

Kementerian Perindustrian (Kemperin) sudah berupaya mendorong industri hilir plastik dengan cara memperkuat industri refinery dan naphtha cracker. Telah ada lima kluster pengembangan industri petrokimia sebagai bahan baku plastik, yakni Cilegon, Pulau Bintan, Tuban, Muara Enim, dan Bintuni.

Demi memperkuat struktur industri plastik dari hulu sampai hilir, lanjutnya, pengem bangan industri oil refinery yang terintegrasi dengan industri petrokimia amat urgen. Bank lahan Ketergantungan pada bahan baku impor diamini para pelaku industri. Pihak Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengaku sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun tiga kilang minyak berkapasitas masing-masing 300 ribu barel per hari sampai 2020.

"Supaya antara kebutuhan untuk bahan bakar minyak dan petrokimia seimbang. Industri dalam negeri bisa berkembang. Kalau tidak dibangun, kita akan terus jadi pengimpor," tutur Sekjen Inaplas Fajar Budiono.

Menurutnya, industri plastik domestik menyedot bahan baku impor hingga 40% dari kebutuhan. Sebagian besar berasal dari ASEAN dan India. Namun, bahan baku bukan satu-satunya problem. Industri plastik butuh tambahan lahan untuk pengembangan investasi. "Susah mencarinya. Mesti di pinggir pantai yang lautnya dalam di atas 8 meter. Itu hanya daerah tertentu dan kadang dikuasai orang sehingga pembebasannya sulit," keluh Fajar.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…