RUU PERBANKAN BATASI MODAL ASING - Kepemilikan Asing Tak Terkendali

 

Jakarta- Kepemilikan pemodal asing dalam perbankan kita memang perlu ditata ulang melalui RUU Perbankan yang sekarang lagi digodok di DPR. Karena dominasi kepemilikan oleh asing di perbankan nasional, bukanlah praktik yang sehat dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Pemerintahan baru saatnya merevisi kembali PP No 29/1999 yang kontroversial buka peluang asing kuasai hingga 99% saham bank lokal.

NERACA

Menurut pengamat perbankan Aviliani, kalangan perbankan harus ikut mengawal RUU Perbankan yang sekarang lagi dibahas di DPR, karena pada dasarnya undang-undang tersebut yang menjalankan adalah pihak perbankan. Salah satu yang perlu diawasi, kata dia, adalah soal kepemilikan saham asing di bank nasional. Saat ini tercatat 25 bank nasional yang sebagian besar besarnya sahamnya dimiliki asing.

Menurut dia, kepemilikan saham asing di bank nasional sudah tidak terkendali sehingga otoritas moneter Indonesia harus membatasi kepemilikan saham asing tersebut jika ingin lebih mengutamakan kepentingan perekonomian nasional. "Kepemilikan saham asing di bank nasional tidak terkendali," ujarnya kepada Neraca, akhir pekan lalu.

Aviliani mengatakan, otoritas seharusnya tidak begitu saja memperkenankan asing memiliki saham perbankan nasional tanpa batasan yang cukup. Apalagi bank yang masuk itu kebanyakan bank-bank yang termasuk kategori consumer bank, yang lebih memilih menyalurkan kredit konsumtif seperti kartu kredit dan kredit tanpa agunan (KTA).

Sementara penyaluran kredit untuk sektor produktif dan strategis seperti untuk infrastruktur, UKM, dan pertanian lebih banyak dilakukan oleh bank BUMN atau milik Pemda. "Kita tidak anti asing karena kita memang masih membutuhkan mereka karena mereka memiliki modal dan teknologi. Namun kita harus bisa mengendalikannya," kata Aviliani.

Lebih jauh lagi, Aviliani mengakui perbankan nasional belum ada yang berskala ASEAN. Sehingga dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), perbankan nasional akan kalah bersaing. Maka dari itu, ia menyarankan agar bank-bank besar milik pemerintah untuk berkonsolidasi. “Kalau ingin bersaing maka perlu konsolidasi, tanpa harus merger, terlebih saat ini 60% pangsa pasar dikuasai bank-bank besar,” katanya.

Tidak Lebih 50%

Di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Australia, kepemilikan saham perbankannya menyebar ke banyak investor, dan tidak ada satu investor yang menguasai saham lebih dari 50%. Dengan kata lain, kalau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harusnya mampu menekan kepemilikan saham satu investor maksimal 40% sesuai salah satu pasal RUU Perbankan itu. Dan, harusnya investor asing yang kini menjadi pemilik modal mayoritas tidak keberatan dengan ketentuan baru dalam RUU tersebut.

Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai terjadi rekayasa pembelian saham oleh investor yang sama melalui teknik pendirian SPV (special purpose vehicle). Karenanya, kerja sama yang intensif antara BI dan OJK penting dilakukan. Namun demikian, tentunya ketentuan maksimal kepemilikan saham pada bank perlu dibedakan antara bank milik pemerintah dengan swasta.

Sebelumnya sejumlah bankir lokal mengungkapkan,  cara yang paling elegan adalah merevisi PP No. 29/1999 sehingga memungkinkan investor lokal (pemerintah, BUMN, dan swasta) dapat memiliki saham dari pemilik asing yang kini mendominasi pada suatu bank. Tidak hanya PP No. 29/1999, Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007 yang merupakan penjabaran dari UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal juga perlu diubah. Ini mengingat, Perpres No. 77/2007 juga mengatur kepemilikan investor asing pada perbankan nasional hingga 99%. Oleh karenanya, pembahasan yang insentif antara OJK dan BI perlu dilakukan untuk mengubah ketentuan kepemilikan maksimal oleh investor asing dalam industri perbankan.

Pengamat ekonomi yang juga Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof  Dr  Anthony Budiawan mendukung akan pembahasan RUU Perbankan yang baru, dimana terdapat juga pasal mengenai pembatasan kepemilikan asing maksimum 40% dan berlaku surut. Namun, pihak DPR maupun pemerintah harus bisa menjelaskan lebih rinci lagi mengenai bagaimana dan mengapa kepemilikan asing ini harus dibatasi hanya sampai 40% saja sehingga pihak pelaku perbankan dapat memahami mengenai kebijakan ini.

“Saya lebih melihat kebijakan pembatasan kepemilikan asing dikarenakan faktor nasionalisme dimana Indonesia harus memperkuat kondisi perbankan sendiri, tanpa ada dominasi asing dalam perbankan,” kata dia.

Menurut dia, keberadaan kepemilikan asing ini juga terkait dengan asas resiprokal bagi bank asing yang beroperasi di Indonesia. Kebijakan di Indonesia dinilai terlalu liberal bagi operasional bank asing. Sebaliknya, bank-bank Indonesia sendiri kesulitan berekspansi ke negara lain.

Anthony menyetujui bahwa kepemilikan bank asing bisa dibatasi dengan bertujuaan supaya kuatnya kendali asing atas kebijakan pengelolaan bank sangat mungkin untuk menahan suku bunga kredit tetap tinggi bisa dikurangi sehingga seku bunga kredir dan suku bunga pinjaman tidak terlalu tinggi. Memang selama ini, asing Motifnya lebih pada prinsip bisnis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atau bisnis oriented.

Dia pun menambahkan memang pro-kontra keberadaan modal asing ini kembali mengemuka dalam industri perbankan nasional. Tentu saja isunya bukan lagi soal boleh tidaknya investor asing berinvestasi pada bank nasional, tapi seberapa besar modal asing boleh menguasai struktur permodalan.

“Dominasi asing yang cenderung membesar akhir-akhir ini memang menimbulkan berbagai kekhawatiran. Usulan pembatasan porsi kepemilikan asing pun mencuat. Namun, perlu juga dampak dipikirkan mengenai pembatasan kepemilikan asing ini, dimana akan berkurangnya porsi kepemilikan asing di suatu bank, maka apakah ada yang mau membeli saham bank asing yang dibatasi tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan penguatan bank nasional secara modal dan kinerja sehingga bisa menambal kepemilikan asing yang dominan tersebut,” ungkap Anthony.

Dia menuturkan memang seharusnya kalangan perbankan nasional terus mengawal RUU Perbankan ini supaya terlaksana dengan baik dan menguntungkan bagi perbankan nasional. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan asing sudah sangat besar di beberapa bank, masih banyak praktisi perbankan yang akan membela kepemilikan asing di perbankan nasional.

Peneliti Indef Eko Listiyanto mengatakan, PP No. 29/1999 terkait dengan perbankan nasional dibuat pada  saat industri perbankan sedang mengalami krisis. Melihat kondisi saat ini dimana situasi industri perbankan saat ini sudah jauh berbeda dan lebih mapan maka sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan akan perubahan aturan itu agar investor asing tidak mendominasi permodalan perbankan nasional. "Kondisinya sudah jauh berbeda, maka sudah selayaknya PP  itu diubah," katanya. 


Maka dari itu,  melalui RUU perbankan yang baru mendorong perlu dikawal agar RUU Perbankan yang baru nanti lebih pro terhadap kedaulatan sektor keuangan Indonesia, dengan begitu kedaulatan sektor keuangan akan lebih terjaga. "Kalangan perbankan nasional perlu mengawal dari mulai proses RUU ini hingga nanti implementasinya setelah disahkan menjadi UU. Proses transisi kepemilikan asing yang sudah terlanjur di atas 40% ke batas maksimum 40% juga perlu dikawal karena nantinya kepemilikan asing yg sudah di atas 40% tersebut wajib mendivestasi sahamnya," imbuhnya.

Disinggung bakal seperti apa kondisi industri perbankan nasional jika ada pembatasan untuk asing, menurutnya tergantung dari masa transisi yg disepakati dlm UU nanti. Jika masa transisi yang diberikan oleh RUU perbankan cukup realistis bagi investor asing untuk mendivestasi sahamnya, maka tidak akan terjadi shock terhadap perbankan nasional. "Kita lihat saja UU nantinya, UU seperti apa, harapannya lebih pro terhadap perbankan nasional. Karena perbankan nasional mampu meski investor asing dibatasi kepemilikannya" ujarnya.

Dan melihat prospek industri perbankan ke depan akan tetap cerah, meskipun kepemilikan asing dibatasi maksimum 40%. "Saya optimis perbankan nasional tidak ada masalah meski ada pembatasan, bahkan prospeknya lebih baik jika banyak dimiliki oleh lokal," ujarnya. bari/agus/mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…