Petani dan Konsumen Dirugikan - Pengusaha Tolak Rencana Produk Pangan Kena PPN 10%

NERACA

Jakarta - Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Irfan Anwar mengatakan bahwa pihaknya bersama dengan asosiasi komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam negeri menolak rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% terhadap produk pangan. Rencana pengenaan pajak tersebut menyusul konsekuensi dari pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 oleh Mahkamah Agung.

Irfan mengaku pengenaan pajak 10% terhadap produk pangan akan berdampak langsung terhadap petani dan tentunya konsumen. “Ini akan ber-impact pada end to end, yaitu petani dan konsumen. Terlebih untuk petani yang masih banyak ekonominya lemah dan pendidikannya juga rendah,” ujar Irfan di Jakarta, Kamis (21/8).

Dia menjelaskan, konsekuensi dari penerapan PPN ini seperti menurunkan semangat petani dalam menghasilkan komoditas primer sehingga berdampak pada penurunan produksi dan menghambat perkembangan industri hilir yang saat ini sedang menggeliat untuk tumbuh. “Ini bertentangan dengan program hilirisasi yang digalakan pemerintah. Saat ini masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kopi saja mencapai 2 juta orang. Keputusan MA ini membuat bingung pelaku usaha,” lanjut dia.

Selain kedua hal tersebut, pengenaan PPN ini dikhawatirkan akan melemahkan daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional. Sedangkan untuk pelaku eksportir, hal tersebut juga akan memberatkan karena membutuhkan modal kerja yang lebih besar untuk pembayaran PPN 10 persen, sementara bunga perbankan di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan suku bunga negara lain. “Kita dalam kondisi tekanan asing saat ini, terlebih lagi ada ada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) di mana perusahan asing akan mudah masuk ke Indonesia. Ini demi masa depan komoditas pertanian dan perkebunan,” jelas dia.

Untuk itu, sejumlah asosiasi ini meminta agar pengenaan PPN ini ditunda serta pemerintah dan MA melakukan peninjauan ulang terhadap putusannya. “Kita minta ini ditinjau ulang atau paling tidak ditunda sampai ada tujuan yang jelas dan ada alasan yang logis. Karena saya yakin pemerintah juga bingung. Kita harapkan ada jalan tengah yang baik dulu. Pilihan terakhir akan kita terapkan upaya hukum. Pemerintah harusnya lebih bijaksana memutuskan kebijakan,” tandas dia.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, produk pertanian ini beragam, ada perkebunan dan holtikultura. Kemudian ada yang dikelola industri dan maupun oleh petani. Kalau semua diseragamkan kena PPN, itu tidak bijaksana. Jadi ini tidak bisa disamaratakan. “Jangan sampai kemudian petani yang ditekan. Makannya kita terus lakukan kajian yang mendalam apa dampak dari pembebasan ini,” tandasnya.

Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menyusun daftar produk pertanian yang akan dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Ini untuk merespon Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70 Tahun 2014 bahwa produk pertanian kembali dikenai PPN sebesar 10%. Tiga komoditas yang dipertimbangkan untuk dikecualikan dari pengenaan PPN ialah produk perkebunan seperti karet, kopi, dan kakao. Sebab, komoditas tersebut banyak yang ditanam oleh petani rakyat. Intinya lebih berdampak kepada petani rakyat. “Ini mustinya menjadi prioritas. Seperti karet, kakao, dan kopi karena ini sebagian besar adalah perkebunan rakyat," ujar Suswono.

Keputusan Mahkamah Agung melalui keputusan MA Nomor 70 Tahun 2014 menyatakan penyerahan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak dikenai PPN. Barang itu meliputi produk seperti kakao, kopi, biji pala, sawit, biji mente, lada, cengkeh dan getah karet. Sementara untuk produk hortikultura seperti pisang, jeruk, mangga, salak, dan durian.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi akan mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian Chairul Tanjung. Surat tersebut sebagai tindak lanjut mengenai kekecewaannya terhadap pembatalan sejumlah pasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Adapun pasal tersebut berisi tentang penetapan hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).

Surat tersebut rencananya untuk mencari jalan keluar dari proses tersebut, sehingga proses hilirisasi yang tengah digenjot oleh pemerintah tidak akan terganggu. “Membereskannya nanti apakah dengan cara dikeluarkannya surat baru untuk mengganti PP lama yang telah dibatalkan atau mencari jalan keluar yang baru, agar proses hilirisasi ini tidak terganggu,” ujar Lutfi. Menurut Lutfi, dengan adanya pembatalan pasal ini, maka tidak sesuai dengan komitmen hilirisasi pemerintah yang sedang menggenjot hasil pengolahan untuk diproduksi di dalam negeri.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…