Presiden Terpilih dan Pemberantasan Korupsi - Oleh: M. Syamsul Arifin, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kolumnis

Kutipan pernyataan politik Zhu Rongji ketika dilantik sebagai perdana menteri baru Tiongkok pada tahun 1998 menarik untuk kita cermati. Penyataan yang dikatakan dengan lantang tersebut bukanlah sebuah perkataan tanpa keteladanan dan bukti kerja konkret.

Rongji telah membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi di Tiongkok. Kerja konkret pemberantasan dalam pemberantasan korupsi yang dilakukannya ternyata berbuah manis. Ekonomi Tiongkok jadi naik 9 persen dengan pendapatan domestic bruto lebih sebesar 1.000 dollar AS, dengan cadangan devisa 300 miliar dollar AS, dan makin berkurangnya koruptor secara signifikan.

Buku berjudul "The Tiongkok Business Handbook" menjelaskan, sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Hingga tahun 2007 Pemerintah Tiongkok telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Di Tiongkok, dalam 5 tahun belakangan ini, rata-rata 4.000 orang per tahunnya koruptor sebagian besar dihukum mati. Jika dihitung rata-rata per bulan sekitar 200 orang dan sekitar 7 orang per hari koruptor dihukum mati. Ternyata efeknya luar biasa, jumlah kasus korupsi semakin merosot tajam.

Harus diakui, hukuman mati yang diterapkan pemerintah Tiongkok merupakan tindakan tegas dan solusi praktis atas begitu maraknya kasus korupsi, karena “kegagalan dalam pemberantasan korupsi di level pejabat akan menjadi ancaman bagi masa depan ekonomi dan stabilitas politik Tiongkok” (Hao Minjing). Demikian sikap politik tegas pemerintah Tiongkok dalam agenda pemberantasan korupsi.

Dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia, sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “itlubul ilma walau bisshin”, tuntutlah ilmu walaupun harus ke negeri Tiongkok, menemukan momentum dan relevansinya. Sebab, Indonesia telah dilanda penyakit sistemik (baca: korupsi) yang siap merongrong persendian negara. Sendi-sendi trias politika (eksekutif-legislatif-yudikatif) yang harapannya menjadi check and balances justru mandul terserang penyakit korupsi.

Oce Madril SH MA, Direktur Advokasi dan Hubungan Masyarakat PUKAT UGM, telah mengungkapkan begitu maraknya korupsi tahun 2013 melalui tulisannya berjudul “Episentrum Korupsi 2013” (dalam Analisis KR, 31/12/2013). Menurut Oce Madril, sepanjang tahun 2013 menunjukan adanya gejala ketidakjeraan pejabat negara melakukan perbuatan koruptif.

Ketidakjeraan pejabat Negara melakukan tindakan koruptif tersebut ditunjukan dalam beberapa hal. Pada institusi pemerintahan saja, korupsi terjadi pada wilayah rawan yang biasanya berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dengan anggaran negara. BPK dalam kasus korupsi Hambalang saja negara telah berpotensi dirugikan sebesar Rp. 463 miliar.

Pada lembaga legislatif pun seperti DPR/DPRD juga seolah tidak mau ketinggalan melakukan tindakan korupsi. Survey Global Corruption Barometer 2013 yang dirilis oleh Transparancy International Indonesia menggambarkan bahwa DPR/DPRD merupakan lembaga terkorup 2013. Serta Institusi penegak hukum (baca: lembaga yudikatif) selama tahun 2013 tercatat ada hakim, jaksa, polisi dan advokat yang terlibat korupsi sebagian sudah divonis bersalah oleh penegak hukum.

Menurut temuan yang dilakukan Lembaga Transparansi Internasional pada tahun 2003, Indonesia adalah Negara yang paling korup dengan indeks 1,9 dan berada di urutan keenam dari Negara-negara terkorup dunia. Astaghfirullaahal’adziim.

Hal tersebut sangat ironi dialami oleh bangsa Indonesia. Padahal, sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1975) pernah mengingatkan, bahwa negara besar bisa dengan mudah runtuh karena korupsi, seperti Romawi atau organisasi VOC yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda pada abad pertengahan di Indonesia.

Akibat dari pejabat Negara melakukan tindakan koruptif tersebut-meminjam bahasa Dante Alighieri sang penyair kondang berkebangsaan Secilia-Indonesia diibaratkan sebuah bangsa yang sedang mengalami kegalauan yang sangat hebat. Meminjam bahasa Emile Durkheim, Indonesia tengah mengalami situasi tanpa kejelasan, kegamangan, instabilitas dan lain sebagainya.

Demikian gambaran bahwa pejabat Negara telah mengalami mati suara hati. Menurut Frans Magnis Suseno (2006), manusia berkesadaran moral sama dengan mempunyai suara hati. Kesadaran moral dalam bahasa sehari-hari disebut suara hati. Menurut John Henry Newman, seorang teolog, bahwa dalam suara hati menyadari, kita wajib melakukan yang baik dan benar serta menolak yang tidak baik dan tidak benar.

Menaruh Harapan

Dowling (2001) pernah menjelaskan, “tantangan untuk membangun reputasi hebat, sehingga bisa menjadi organisasi yang memiliki nama cemerlang, harus dimulai dari pimpinan puncak organisasi”. Artinya, nama (organisasi) Indonesia akan cemerlang bergantung dengan presiden terpilihnya.

Agenda Pilpres tahun 2014 usai dan pasangan Joko Widodo ditetapkan sebagai presiden terpilih oleh KPU karena telah meraih suara terbanyak. Presiden terpilih diharapkan mampu merealisasikan janji-janjinya (termasuk janji pemberantasan korupsi) ketika mencalonkan diri karena itulah tanggungjawab moral yang diembannya. Sebab, tanggung jawab moral sebagai bagian tak terpisahkan dari politik (Dennis F Thompson, 1987).

Dalam konteks ini, presiden terpilih mungkin bisa meniru cara Zhu Rongji sebagai agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, presiden terpilih mungkin juga bisa meneladani leadership khalifah kedua Umar bin Khattab. Pada suatu kesempatan Umar pernah berkata kepada para pemimpin di hadapan rakyat: “ingatlah, rakyat akan tetap jujur selama pemimpin-pemimpin dan para panutan mereka jujur. Rakyat akan memenuhi kewajibannya kepada pemimpin, selama pemimpin itu memenuhi kewajibannya kepada Allah. Kalau pemimpin hidup bermewah-mewah dan serakah, rakyat pun akan mengikutinya”.

Meminjam bahasa William Chang, pemimpin dan pejabat Negara korup telah mengalami demoralisasi. Jika tindakan korupsi terjadi akibat dari demoralisasi, maka kurang tepat dalam pemberantasan korupsi hanya melalui seperangkat hukum canggih sekalipun, baik itu berupa UU maupun lembaga baru. Sebab, meskipun banyak koruptor yang tertangkap, hal itu bukan lantas menjadi jaminan besok atau lusa akan lahir koruptor-koruptor baru. Lahir lagi, lahir lagi, dan lahir lagi hingga akhirnya koruptor memenuhi bangsa ini. (analisadaily.com)

 

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…