Impor Pangan Sulit Dihindari - Produktivitas Pertanian Tak Mampu Imbangi Konsumsi

NERACA

Jakarta – Masyarakat Indonesia dikenal dengan jiwa konsumtif, pasalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong konsumsi masyarakat. Sementara dari sisi produksi, masih belum cukup mengimbangi konsumsinya. Hal tersebut memang diakui oleh Menteri Pertanian Suswono. Ia mengakui produktivitas produk pertanian belum bisa mengimbangi pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Alhasil, impor produk pertanian tidak bisa dihindari.

“Peningkatan kebutuhan karena ada peningaktan pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Inilah yang menjadikan peningkatan konsumsi jauh melebihi dari peningkatan produk yang ada,” ujar Suswono di Jakarta, Senin (18/8).

Suswono menjelaskan, sebenarnya sejumlah produk pertanian mengalami peningkatan produksi dalam lima tahun terakhir. Tanaman padi mengalami peningkatan produksi rata-rata 2,6% per tahun dari 64,40 juta ton di 2009 menjadi 71,29 juta ton di 2013. Sementara produksi jagung mengalami rata-rata peningkatan 1,39% per tahun. Namun, dia mengakui peningkatan produksi belum bisa mengimbang konsumsi.

"Pangan relatif ada peningkatan tapi memang konsumsi meningkat, jadi volume konsumsi meningkat. Tetapi kalau bicara keseluruhan, komoditas pertanian punya sumbangan devisa cukup besar dari perkebunan sehinga surplus perdagngan di sektor pertanian sekitar US$20 miliar. Tapi kalau di pangan sendiri antara yang kita ekspor dan impor memang difisit, ini harus diakui," ucapnya.

Suswono mengungkapkan, tidak berimbangnya peningkatan produksi dengan konsumsi karena sejumlah persoalan. Utamanya, akses lahan untuk petani. Idealnya, akses lahan per petani ialah 2 hektar namun saat ini baru sekitar 0,3 hektar. “Bandingkan dengan Thailand yang akses lahan per petani sebesar 3 hektar. Sedangkan bila mengacu ke Eropa rata-rata 50 hektar per petani,” katanya.

Pun mendapatkan lahan untuk pertanian bukanlah perkara mudah. Lahan seluas 2 juta hektar yang dijanjikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk pengembangan pertanian sulit direalisaikan. Dari 7,2 juta hektar lahan yang terindikasi terlantar, lahan potensialnya hanya sekitar 4,8 juta hektar. Sementara lahan yang clean and clear alias tidak digugat sekitar 13 ribu hektar. Adapun lahan yang cocok untuk pertanian hanya sekitar 600 hektar.

Menurut Suswono, lahan sempit sekaligus biaya tinggi membuat produk pertanian domestik sulit bersaing dengan produk pertanian dari negara lain. Agaknya kondisi ini tergambar dalam data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) di mana terjadi peningkatan impor produk pertanian dari US$3,34 miliar di 2003 menjadi US$14,9 miliar di 2013. Impor didominasi produk hortikultura.

Untuk mememenuhi kebutuhan konsumsi memang masih diperlukan impor produk pertanian. Menurutnya, hal tersebut tidak masalah dilakukan asal tidak mengganggu keberlangsung usaha petani. Dalam artian, jumlah yang diimpor harus sesuai perhitungan kekurangan pasokan di dalam negeri. “Impor boleh masuk pada saat tidak produksi, jadi diatur waktunya kemudian diatur besarannya. Intinya tidak melarang impor tetapi pengaturan,” tuturnya.

Meski begitu, Kementerian Pertanian terus berupaya mempertahankan dan menggenjot produksi. Semisal tahun ini pihaknya mengejar produksi sebesar 70,24 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini merupakan revisi rencana aksi Bukit Tinggi yang semula sekitar 76 juta ton GKG. Penyebabnya, produksi padi menghadapi persoalan cuaca, lahan, ataupun banjir di awal tahun. Suswono mengatakan, cara yang ditempuh ialah percepatan tanam dengan memberikan bantuan alat pertanian. Sebagai pilot project akan dilakukan di Sulawesi Selatan dengan lahan pertanian seluas 100 hektar.

Penerapan Bioteknologi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Direktur PG Economics Limited, Graham Brookes, penerapan bioteknologi di sejumlah negara maju telah mampu meningkatkan produktivitas pertanian. “Seperti contoh di Filipina yang sudah lebih dulu menerapkan bioteknologi, dapat menghasilkan keuntungan sebesar 135 dolar Amerika per hektar pada musim kering dan 125 dolar per hektar selama musim hujan. Sementara petani Indonesia saat ini hanya mampu menghasilkan 7 dolar per hektar,” ujar Brookes.

Brookes memaparkan hasil studi terbaru yang dilakukan selama 17 tahun ini mengenai dampak sosial-ekonomi dan lingkungan penerapan bioteknologi. Dalam pemaparannya, Brookes mengatakan, bahwa tanaman bioteknologi telah membantu petani baik di negara maju maupun negara berkembang untuk meningkatkan produktivitas pertanian sekaligus penghasilan petani. “Hasil studi ini menujukkan, penerapan bioteknologi mampu mendorong peningkatan pendapatan petani hingga total US$116,6 miliar dan justru petani meraup keuntungan tertinggi adalah petani dari negara berkembang dengan lahan sempit,” ujarnya.

Ia mengatakan, tanaman hasil bioteknologi senantiasa menjadi investasi yang menguntungkan bagi petani di seluruh dunia. “Sejak pertama diterapkan, 16,7 juta petani dari 29 negara telah menanam biotek di lahan seluas 1,25 miliar hektar atau 25% lebih besar dari total tanah di Amerika Serikat, atau Tiongkok dan 90% petani berasal dari negara-negara berkembang," ujar Graham.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…