Badan Pengelola Sampah - Pembentukannya Dinilai Rawan Korupsi

Jakarta - Setelah berbagai pelaku usaha menolak diberlakukannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan Sampah oleh pemerintah lantaran dapat menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sejumlah pengamat menilai aturan tersebut juga berpotensi menimbulkan tindak korupsi pada penerapannya.

Menurut Direktur Center For Indonesian Regional And Urban Studies (Cirus) Andrinof Chaniago saat dihubungi, Rabu, salah satu pasal dalam RPP tersebut yang memberikan kewenangan pada Kementerian Lingkungan Hidup dalam menunjuk pihak ketiga sebagai badan pengelola sampah rawan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). "Pembentukan badan semacam ini rawan terhadap tindak pidana korupsi. Karena tidak jelas kriterianya dan penunjukannya," ujar Andrinof Chaniago.

Selain itu, rancangan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan sampah sebagai penjabaran UU No. 18 tahun 2008 terlalu mengada-ada justru akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Karena, pada akhirnya produsen akan membebankan biaya pengolahan sampah tersebut kepada konsumen, yang berujung pada kenaikan harga produk. "Tidak mungkin kalau perusahaan disuruh menarik kembali seluruh sampah yang dihasilkannya untuk kemudian diolah. Kalaupun dipaksakan, aturan ini bisa memicu inflasi," kata Andrinof.

Menurut Andrinof, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan sangat besar untuk mendatangkan sampah dari produknya di seluruh Indonesia, belum termasuk biaya-biaya untuk mengolah limbah tersebut. "RPP ini dibuat pengambil kebijakan yang berpikiran sempit tidak mempedulikan masukan dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan peraturan yang merugikan dan tidak produktif," kata Andrinof

Ia menegaskan, tugas pemerintah hanya sebatas regulator apabila sampai membentuk badan yang tugasnya menghimpun dana untuk mengolah sampah justru akan menimbulkan kerawanan-kerawananan.

Andrinof mengatakan, pemerintah sebenarnya cukup mengeluarkan kebijakan disinsentif bagi perusahaan maupun instansi pemerintah yang memproduksi sampah atau kebijakan insentif memiliki solusi produk ramah lingkungan.

Mengenai sampah-sampah yang dihasilkan selama ini, diserahkan saja kepada para pengumpul mengingat pasarnya sudah terbentuk. Pemerintah tinggal memberikan insentif bagi industri yang melakukan kegiatan daur ulang. "Saya melihat pasarnya sudah terbentuk untuk sampah-sampah yang dihasilkan industri, sehingga pemerintah seharusnya memfasilitasi hal ini agar proses pengolahan sampah terus berkelanjutan," jelas Andrinof.

Andrinof mengatakan, pemerintah sebenarnya dapat memberdayakan proses pengolahan sampah yang telah berjalan saat ini, sehingga lebih terkelola dengan baik serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Hal senada juga dikemukakan, Ketua umum Ikatan Ahli Perencana (IAP), Bernadus Djonoputro yang mengatakan, persoalan sampah jangan dibebankan kepada industri saja terlebih industri kemasan, tetapi juga instansi lain termasuk instansi pemerintah. "Sampah yang dihasilkan intansi pemerintah justru lebih besar lagi mulai dari kertas sampai perangkat komputer. Jelas tidak mungkin mengembalikan komputer yang sudah tidak terpakai kepada vendornya masing-masing," kata Bernadus.

Dia mengatakan, dalam RPP tersebut seharusnya mengembalikan lagi fungsi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam hal ini mereka dapat melakukan insentif dan disisentif terhadap permasalahan sampah.

Pemerintah harus dapat menciptakan iklim yang menunjukkan persoalan sampah tersebut merupakan tanggungjawab bersama bukan kemudian dibebankan kepada dunia usaha saja, hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi.

Bernadus mengatakan, pemerintah dapat memberikan insentif bagi instansi swasata dan pemerintah yang dianggap berusaha mengurangi volume sampah, namun dapat memberikan disinsentif bagi mereka yang menyumbang polusi paling besar. "Kebijakan insentif dan disinsentif ini juga dapat diberikan kepada masyarakat, seperti masyarakat yang mampu mengurangi sampah di lingkungan akan diberikan keringanan tarif listrik," kata Bernadus.

Pemerintah tidak bisa sembarangan menuduh sektor industri polutan karena pada kenyataan sejumlah instansi pemerintah dan BUMN ternyata lebih polutan lagi.

 

Menurut Bernadus kalau selama ini pemerintah menganggap industri pengolahan sampah masih belum sesuai harapan karena masih belum resmi (underground) maka perlu dibuatkan insentif yang menarik.

 

"Bisa saja diberikan fasilitas bebas pajak bagi industri pengolahan limbah, paling penting tugas pemerintah menciptakan iklim yang kondusif, mandiri, serta terkelola dengan baik," ujar dia.

 

Bernadus meminta pemerintah menata kembali aturan yang telah dikeluarkan untuk persampahan terlebih dahulu dengan memberikan ruang yang sama antara industri, pemerintah, dan masyarakat, sebelum menerbitkan aturan tersebut.

BERITA TERKAIT

Kejagung-Kementerian BUMN Rapatkan Pengelolaan "Smelter" Timah Sitaan

NERACA Pangkalpinang - Kejagung bersama Kementerian BUMN akan segera merapatkan pengelolaan aset pada lima smelter (peleburan) timah yang disita penyidik…

KPPU Kanwil I: Harga Beras Berpotensi Bentuk Keseimbangan Baru

NERACA Medan - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas menyatakan harga beras berpotensi membentuk keseimbangan baru.…

DJKI Kembalikan 1.668 Kerat Gelas Bukti Sengketa Kekayaan Intelektual

NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan barang bukti sengketa kekayaan intelektual berupa 1.668…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kejagung-Kementerian BUMN Rapatkan Pengelolaan "Smelter" Timah Sitaan

NERACA Pangkalpinang - Kejagung bersama Kementerian BUMN akan segera merapatkan pengelolaan aset pada lima smelter (peleburan) timah yang disita penyidik…

KPPU Kanwil I: Harga Beras Berpotensi Bentuk Keseimbangan Baru

NERACA Medan - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas menyatakan harga beras berpotensi membentuk keseimbangan baru.…

DJKI Kembalikan 1.668 Kerat Gelas Bukti Sengketa Kekayaan Intelektual

NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan barang bukti sengketa kekayaan intelektual berupa 1.668…