MoU DAN PERGUB TIDAK BERLAKU LAGI - Freeport Tolak Bayar Pajak Rp2,7 T

Jakarta - PT Freeport Indonesia menolak membayar Rp 2,7 triliun tagihan Pajak Air Permukaan (PAP) dan pajak tambang lain. Padahal, Pemprov Papua menyatakan MoU dan Pergub tidak berlaku lagi.

"Sudah ada surat tanggapan dari manajemen PT Freeport atas surat Gubernur Papua. Freeport menyatakan siap membayar,  tetapi sesuai ketentuan yang diatur dalam MoU (Memorandum of Understanding) 2011 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua," kata Snell Elisabet, Kepala Unit Penerimaan Pendapatan Daerah (UPPD) Samsat Timika, di Timika, Selasa (5/8).

NERACA

Keberatan PT Freeport membayar tagihan PAP dan komponen pajak pertambangan lain, yang sejak 2009-2014 telah mencapai Rp 2,7 triliun kepada Pemprov Papua itu, menurut Elisabeth, tertuang dalam surat balasan manajemen PT Freeport kepada Lukas Enembe, Gubernur Papua.

PT Freeport Indonesia berdalih, pembayaran tagihan PAP dan komponen pajak Pemprov Papua harus  tetap mengacu pada nota kesepahaman yang dulu ditandatangani Constan Karma, Pelaksana Tugas Gubernur Papua, tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Papua tahun 2011. “Padahal MoU dan Peraturan Gubernur itu sudah tidak berlaku lagi saat ini,” jelasnya seperti dikutip Antara.

Jika mengacu kepada kedua aturan itu, Freeport hanya membayar PAP U$150.000 yang bila dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berarti hanya senilai Rp 1,5 miliar per tahun.

Sebagai balasan, Pemprov Papua kini tengah mempelajari surat manajemen PT Freeport Indonesia tersebut guna mengirim surat tanggapan secepatnya.

Pemprov Papua, lanjut Elisabeth, pada prinsipnya tetap menghendaki PT  Freeport membayar lunas tagihan senilai Rp 2,7 triliun guna menunjang penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) Papua. "Freeport harus bayar lunas tunggakan PAP dan pajak Distamben Provinsi Papua senilai Rp 2,7 triliun itu. Kita tetap kejar itu dan dia harus bayar apapun alasannya karena itu merupakan PAD Pemprov Papua," tegasnya.

Dasar hukum yang digunakan Pemprov Papua untuk menetapkan PAP dan pajak pertambangan lain senilai Rp 2,7 triliun yang wajib dibayar PT Freeport, menurut Elizabeth, adalah UU Nomor 28 tahun 2009 dan Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009.

Pilihan dasar hukum itu, lanjutnya, karena MoU yang ditandatangani Plt Gubernur Papua Constan Karma dengan manajemen PT Freeport pada tahun 2011 telah dinyatakan resmi sebagai temuan yang dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu. Sehingga berstatus batal demi hukum.

"BPK sudah menyatakan bahwa MoU itu sebagai temuan, sehingga tidak bisa digunakan sebagai acuan bagi pemerintah. Freeport tidak boleh seenaknya menggunakan MoU itu sebagai acuan. Dia harus membayar kewajibannya. Kalau tidak, maka pasti akan ada sanksi tegas untuk mereka," tutur Snell Elisabeth.

Dasar perhitungan penentuan besaran PAP yang wajib dibayar PT Freeport, menurutnya, mengacu pada hasil survei Dinas Pertambangan dan Energi Pemprov Papua yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa tahun lalu.

Dari hasil survei itu ditemukan fakta untuk aktivitas penambangan, PT Freeport Indonesia ternyata memanfaatkan sumber daya air dari kelima sungai besar di Kabupaten Mimika. Sehingga berdasarkan survei itu dan dikuatkan UU Nomor 28 tahun 2009 sertaa Perda Provinsi Papua Nomor 11 tahun 2009, PT Freeport Indonesia tiap tahun wajib membayar PAP Rp17 miliar kepada Pemprov Papua.

Menanggapi hal itu, Direktur Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan tidak henti-hentinya PT Freeport membuat ulah di Indonesia setelah Undang Undang (UU) mineral dan batu bara Nomor 4 Tahun 2009 yang di implementasikan pada awal Januari lalu, Freeport tidak henti-hentinya membangkang dari ritme maupun atauran yang ada. Mulai dari mengajukan abritase, tidak bayar dividen, kini tidak bayar tagihan Pajak Air Permukaan (PAP). “Freeport sudah semakin kurang menghormati Indonesia ulahnya kian menjadi-jadi,” katanya kepada Neraca, kemarin.

Harusnya, berdiri di tanah Indonesia, Freeport harus mengkuti aturan perundang-undangan maupun, perjanjian-perjanjian yang telah disepakati. Karena bukan hanya menyangkut pemerintah Indonesia saja, melainkan seluruh elemen masyarakat Indonesia. “JIka sudah tidak mengikuti aturan, itu berarti bukan hanya tidak patuh pada UU, pemerintah, melainkan sudah melawan seluruh masyarakat Indonesia,” imbuh Marwan.

Disamping itu, pemerintah Indonesia harus tegas dan bisa memberikan ultimatum kepada Freeport seandainya sudah tidak lagi menghormati aturan perundangan, serta tidak lagi mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat bersama. “Intinya pemerintah harus tegas dan lebih berani dengan Freeport, karena pemerintah membawa nama seluruh masyarakat Indonesia,” tegas Marwan.

Pengemplang Pajak

Sementara Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pertambangan, Bisman Bakhtiar menilai jika pihak Freeport mengakui bahwa Pajak Permukaan Air (PAP) menjadi tanggungjawab Freeport maka sudah semestinya pihak Freeport membayarnya setiap tahunnya. “Tunggakan yang diungkapkan oleh Pemda Papua kan dari 2009 sampai dengan 2014. Kalau memang Freeport mengakui bahwa PAP adalah tanggungjawabnya, lalu mengapa sampai sekarang pajak tersebut belum juga dibayarkan. Artinya Freeport bisa dikategorikan sebagai pengemplang pajak,” ujarnya.

Dia menyatakan bahwa status pengemplang pajak itu terlepas dari nilai yang harus dibayarkan oleh Freeport. Menurut dia, selama ini perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport ataupun Newmont sangat berpedoman terhadap kontrak karya (KK) yang disepakati antara perusahaan dengan pemerintah. “Akan tetapi inikan soal PAP yang memang dasarnya ada di peraturan daerah (perda) dan itu kewenangan bagi provinsi untuk menarik pajaknya,” ujarnya.

Namun demikian, Bisman menyatakan bahwa pemerintah pusat harus ikut turut andil dalam masalah ini. Paling tidak memfasilitasi antara pemerintah Provinsi Papua dengan pihak Freeport untuk mencari jalan keluarnya. “Pemerintah pusat jangan sampai cuci tangan dengan adanya kasus ini. Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus ikut memfasilitasi dan mencari jalan keluarnya. Karena, pemerintah daerah juga berhak menikmati pajak dari perusahaan yang menempati wilayah mereka,” ucapnya. agus/bari/rin

 

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…