Pembatasan BBM Subsidi Dinilai Salah

NERACA

Jakarta -  Labor Institute Indonesia menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS) tentang pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, merupakan kebijakan yang salah kaprah dan dapat menimbulkan kerawanan sosial.

"Seharusnya dilakukan pengkajian yang lebih dalam akan dampak terhadap kebijakan tersebut, sebelum mengeluarkan kebijakan," ujar Andy William Sinaga, analisis ekonomi Labor Institute Indonesia, dalam dalam keterangan persnya, Sabtu (2/8).

Kebijakan tersebut adalah bentuk lempar tanggung jawab dari pemerintah yang mengeluarkan kebijakan mobil murah. Kebijakan mobil murah, menyebabkan bertambahnya unit kendaraan pribadi yang membuat kebutuhan bahan bakar minyak bersubsidi meningkat.

Dia meminta pemerintah segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi Rp 8.000 per liter dan menerapkan sistem cluster bahan bakar minyak bersubsidi yaitu angkutan umum dan kendaraan pribadi, dan untuk industri (perkebunan, pertambangan) atau berdasarkan jumlah kapasitas mesin (cc) kendaraan.

"DPR segera memanggil BPH Migas dan Kementerian Energi Dan Sumber daya Mineral, untuk meminta penjelasan terkait adanya pembatasan pembelian bahan bakar minyak bersubsidi tersebut," katanya.

Ungkapan senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menurutnya Larangan penjualan bahan bakar minyak subsidi jenis solar di wilayah Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014 dinilai tak akan efektif kebijakan tersebut hanya memindahkan konsumsi dari wilayah tersebut ke wilayah Jakarta lainnya yang tak ada larangan.

"Banyak SPBU di perbatasan Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, tetap menjual artinya hanya akan memindahkan konsumen dari Jakarta Pusat," kata Mamit. Apalagi sebenarnya, konsumsi solar oleh sejumlah kendaraan besar seperti bus dan truk di wilayah Jakarta Pusat tidak terlalu banyak.

Konsumsi yang besar justru di Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang dekat dengan daerah industri. "Kebijakan ini salah, subsidi di Jakarta Pusat yang harus dihapus itu premium," katanya. Menurut Mamit, semestinya pemerintah mengendalikan dengan cara membatasi penjualan BBM subsidi di seluruh wilayah di Jakarta. Misalnya dengan membatasi kuota solar.

Di tempat terpisah, anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani memandang perlu Pemerintah memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna kendaraan terkait dengan pembatasan waktu penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar mulai hari ini, Senin (4/8).

"Jika mengeluarkan peraturan, hendaknya Pemerintah juga memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna jalan dan kendaraan," katanya. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, selama tidak ada solusi alternatif, sama saja Pemerintah hanya bisa melempar masalah dan rakyat diharuskan menanggung akibatnya.

Dewi yang juga wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX menekankan, jangan sampai tugas utama Pemerintah sebagai pelayan masyarakat bergeser menjadi pemaksa kebijakan.

Sebelum mengeluarkan peraturan mengenai pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, Dewi menyarankan agar Pemerintah melihat sejumlah indikator, di antaranya berapa persen pertumbuhan ekonomi saat ini, kenaikan inflasi, dan kenaikan upah. "Apakah hal itu sudah memenuhi seluruh unsur yang menjadi indikator Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tersebut saat ini?" ungkapnya.

Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi telah mengeluarkan surat edaran pada 24 Juli 2014 mengenai pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi. Dalam surat bernomor 937 tahun 2014 ini disebutkan, larangan penjualan solar untuk wilayah Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan, kuota BBM bersubsidi hingga akhir 2014 diturunkan dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. 

Ibrahim menjelaskan pemilihan Jakarta Pusat sebagai wilayah pelarangan penjualan solar karena konsumsinya tidak terlalu tinggi. Konsumsi solar lebih banyak dilayani di wilayah Jakarta lain seperti Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang lebih dekat dengan aktivitas industri. [agus]

BERITA TERKAIT

Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital

Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital NERACA Trenggalek – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkolaborasi…

Kemenparekraf : Perputaran Ekonomi Saat Lebaran Capai Rp369,8 Triliun

  NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkapkan, potensi perputaran ekonomi yang terjadi selama libur Lebaran 2024…

ASN Pindah ke IKN Mulai Agustus 2024

  NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan, ASN pindah ke Ibu Kota Nusantara…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital

Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital NERACA Trenggalek – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkolaborasi…

Kemenparekraf : Perputaran Ekonomi Saat Lebaran Capai Rp369,8 Triliun

  NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkapkan, potensi perputaran ekonomi yang terjadi selama libur Lebaran 2024…

ASN Pindah ke IKN Mulai Agustus 2024

  NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan, ASN pindah ke Ibu Kota Nusantara…