Kemandian Bangsa dan Pendidikan yang Berkebudayaan - Oleh: Prof EM Dr Wuryadi, MS (Tokoh Nasionalis, Yogyakarta) dan Juliaman Saragih, (Ketua/Pendiri NCBI, Jakarta)

 

KEMANDIRIAN BANGSA DAN PENDIDIKAN YANG BERKEBUDAYAAN
Oleh: Prof. EM. Dr. Wuryadi, MS (Tokoh Nasionalis, Yogyakarta) dan Juliaman Saragih, (Ketua/Pendiri NCBI, Jakarta)
Jalan menuju kemandirian bangsa sebetulnya sudah diretas sejak Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno, 17 Agustus 1964, Tahun “Vivere Pericoloso (TAVIP)”, atau dikenal istilah Tri Sakti Kemerdekaan, yang intinya (1), berdaulat di bidang politik, (2). berdikari di bidang ekonomi, dan (3). berkepribadian di bidang kebudayaan.
Betapa sederhananya logika Bung Karno ini, tetapi betapa mengandung kebenaran yang sungguh sakti jika digunakan sebagai alat perjuangan menuju kemandirian bangsa; mandiri di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan mandiri di bidang kebudayaan. Mandiri dalam segala dimensi kehidupan, dan Merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Realitasnya, boleh dikatakan sejak Proklamasi Kemerdekaan, yang menjadi jembatan emas menuju kesejatian cita-cita proklamasi: memiliki negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, kita semakin menjauh dari cita-cita tersebut. Tegasnya, kita belum menggenggam kemerdekaan seutuhnya seperti wasiat Tri Sakti Kemerdekaan.
Konsep kemandirian bangsa sesungguhnya adalah pencerminan secara utuh paham Tri Sakti, dan tidak dapat dicapai melalui program biasa, program tahunan, lima tahunan bahkan melalui program sektoral kementerian. Untuk menangkap makna sesungguhnya Tri Sakti dibutuhkan perubahan mendasar dari cara berpikir dan karakter bangsa, dibutuhkan character building, yang sejak awal kemerdekaan telah dicanangkan akan tetapi hingga kini belum selesai. Membangun bangsa dan negara yang sudah dideklarasikan oleh Djuanda, 13 Desember 1957, sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle), akan menjadi lebih sempurna apabila dilengkapi dengan nation building. Singkatnya, Nation and Character Building (NCB)!
Pertanyaan gugatannya adalah mengapa tugas ini tidak dijalankan sejak dulu, apakah tidak paham? Apakah tidak mau dan tidak mampu menjalankan tugas ini? Atau memang ada kehendak lain yang tidak menginginkan kita menjalankan tugas ini?
Tri Sakti Kemerdekaan
Pernah ada pertanyaan sinis dan ekstrim, apa memang sudah ada bangsa Indonesia seperti disepakati dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, maupun yang dicanangkan dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945? Pertanyaan ini sungguh menyakitkan karena memberi arti bahwa sesungguhnya kita ini masih dalam impian, Bangsa dan Negara Republik Indonesia adalah impian.
Pernyataan yang menyakitkan ini saatnya dijawab dengan serius, kalau tidak ingin kita hanya hidup dalam impian. Walaupun disadari masih adanya kekuatan-kekuatan luar yang menginginkan tidak hadirnya bangsa Indonesia melalui upaya memecah belah dan tidak menyatupadukan ribuan suku bangsa di puluhan ribu pulau, melalui pengekstriman makna otonomi daerah atau juga menghambat karakter kesatuan di antara bangsa Indonesia.
Disadari memang kebutuhan untuk membangun kuat dan meluas akan pemahaman utuh Nation and Character Building khususnya diantara para pemegang kekuasaan di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dibutuhkan berbagai penelitian yang akurat sebagai penegasan masih kuatnya kebimbangan atas pemahaman utuh Nation and Character Building.
Lalu, apakah Tri Sakti dapat membantu pemahaman Nation and Character Building? Logika sederhana konsep Tri Sakti sebenarnya menuntun kita pada pengertian mendasar, bahwa sesungguhnya suatu negara yang utuh dan berfungsi secara normal harus terisi oleh bangsa yang berkarakter Tri Sakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Artinya, Negara dan Bangsa Indonesia berjiwa Tri Sakti.
Persoalan berikutnya adalah kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan tercapainya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, yaitu melakukan Trilogi Kesadaran, Kemauan, dan Tindakan, untuk selanjutnya mencapai Trilogi Persatuan, Kemerdekaan dan Perdamaian.
Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan, dan tidak akan ada perdamaian tanpa kemerdekaan. Trilogi inilah yang menjiwai Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan Non Blok (GNB), dan New Emerging Forces, yang sangat tidak diinginkan oleh kekuatan imperialis dunia. Dengan alasan itu pula Bung Karno harus dihentikan dan disingkirkan (sejak 1955, 1960, 1962, dan 1964).
Menuju Kemandirian Bangsa
Jalan dalam jangka pendek adalah jalan kekuasaan, yaitu menguasai semua bidang yang berkaitan dengan kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan kebudayaan. Walaupun harus diakui bahwa semua pemegang kedaulatan tidak harus para penguasa legislatif, eksekutif dan yudikatif, akan tetapi juga semua pemegang kekuasan riil yang dimiliki oleh rakyat. Dalam kenyataan praktis, kekuasaan pemerintahan akan menentukan berbagai jalan kebijakan untuk Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti.
Jalan kekuasaan melalui jalan politik pemilihan umum telah selesai dan hasilnya, baik anggota legislatif atau presiden terpilih, telah kita ketahui bersama. Walaupun secara riil, hasil pemilu legislatif yang lalu tidak dapat memastikan apakah sudah menggambarkan kemauan rakyat sesungguhnya. Inilah tanggung jawab utama partai politik peserta pemilu, yang dalam praktek nyata selama ini belum mencerminkan kemauan rakyat secara menyeluruh. Reformasi politik kepartaian adalah tuntutan walau mungkin membutuhkan beberapa tahapan waktu ke depan.
Lalu, apakah terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah jalan sebenarnya menuju perubahan kekuasaan yang diharapkan, jalan kekuasaan menuju kemandirian bangsa dan negara Indonesia?
Terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden, 2014-1019, memancarkan harapan yang besar terealisasinya pelaksanaan Nation and Character Building dengan Jiwa Trisakti. Rakyat Indonesia bergerak dan berharap, Indonesia dibawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan berhasil mewujudkan tata pemerintahan yang bersih, kuat, stabil dan berwibawa untuk membangun kembali kepercayaan di antara anggota dan kelompok masyarakat sehingga membawa perubahan berarti dan diterima oleh rakyat Indonesia. Harapan rakyat bukanlah harapan kosong bila kita mau meluangkan waktu untuk menelusuri jejak sejarah karir birokrat dan professional dan warisan publiknya. Bagi rakyat, Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah sosok pemimpin yang memiliki keberanian dan tekad yang kuat, bersih, jujur sehingga menunjukan bahwa “Dwi Tunggal Tri Sakti Indonesia” ini dapat dipercaya. 
Dalam perspektif yang lebih luas, Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah pemimpin masa depan yang berjiwa Pancasila dan berkemapuan untuk melakukan berbagai kebijakan berdasar Pancasila, berjiwa merdeka dan berdaulat, berjiwa Bhinneka Tunggal Ika, mempunyai visi ke depan untuk membangun perdamaian dunia, memiliki kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsanya, memiliki integritas yang utuh, memiliki kesadaran terhadap geopolitik dan kekuatan sumber daya alam Indonesia, berjiwa dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki jiwa yang ikhlas untuk mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negaranya serta memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk melakukan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti. Akankah gumpalan harapan rakyat ini terwujud ataukah mengalir pada jalan yang sunyi, biarlah perjalanan sejarah yang menjawabnya.
Kalau jalan kekuasaan melalui pemilihan umum ini tidak juga mampu memenuhi harapan rakyat, masih ada jalan pintas kekuasaan yaitu revolusi baik secara damai maupun dengan kekerasan, yang secara normal tidak diinginkan karena besarnya biaya sosial, ekonomi dan budaya yang harus dibayar oleh bangsa Indonesia.
Jalan Panjang 
Jalan panjang yang perlu menjadi program prioritas adalah jalan pendidikan yang berkebudayaan, dengan syarat bahwa pendidikan yang digunakan adalah pendidikan berdasar pada budaya yang positif yang terjadi di tanah air kita. Sulit dipahami bahwa pendidikan yang tidak berdasar Pancasila menjadi soko guru generasi mendatang untuk melakukan Nation and Character Building yang Berjiwa Tri Sakti. Artinya, jalan panjang ini hanya bisa terjadi kalau presiden terpilih mampu mengubah sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan yang berdasar Pancasila dan berjiwa Merdeka.
Orientasi pendidikan akan lebih diarahkan pada membangun bangsa bukan menyiapkan pendidikan yang berorientasi kepada penyedia pekerjaan dan pada kepentingan individu. Jalan pendidikan yang memberi jaminan arah pengembangan anak bangsa yang memiliki kemampuan untuk melakukan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti, melalui penyiapan seluruh komponen sistem yang mendukung pemahaman/kesadaran, kemauan dan menumbuhkan kemampuan. Sistem pendidikan tidak terbatas pada sistem persekolahan, termasuk pendidikan di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat (Tri Pusat Pendidikan), yang saat ini tidak dijadikan orentasi pokok. Dibutuhkan harmonisasi di antara Tri Pusat Pendidikan secara efektif.
Jalan pendidikan sebagai jalan menuju pada kemandirian bangsa harus punya dasar orientasi realitas bangsa dari suatu negara kepulauan yang mengandung keragaman sosial, budaya dan ekonomi. Pemahaman dan kesadaran pada realitas keragaman yang dihadapi bangsa Indonesia, membutuhkan jiwa Bhinneka Tunggal Ika secara utuh pada semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh bangsa (ruang dan waktu).
Jalan pendidikan memerlukan partisipasi seluruh komponen bangsa, tidak hanya para penguasanya. Pemahaman paling esensial adalah bahwa sesungguhnya pendidikan adalah modal utama bagi kegiatan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti.
Refleksi dan Penutup
Jalan perubahan kekuasaan maupun jalan pendidikan adalah bentuk perjuangan yang dapat dilakukan untuk menuju jalan kemandirian bangsa, dan tidak hanya diaksentuasikan pada salah satu dimensi, politik, ekonomi maupun budaya. Ketiganya harus dilakukan secara simultan dan konvergensif. Inilah sesungguhnya program Nation and Character Building yang Berjiwa Tri Sakti.
Selamat berjuang bangsaku! ***

 

Jalan menuju kemandirian bangsa sebetulnya sudah diretas sejak Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno, 17 Agustus 1964, Tahun “Vivere Pericoloso (TAVIP)”, atau dikenal istilah Tri Sakti Kemerdekaan, yang intinya (1), berdaulat di bidang politik, (2). berdikari di bidang ekonomi, dan (3). berkepribadian di bidang kebudayaan.

Betapa sederhananya logika Bung Karno ini, tetapi betapa mengandung kebenaran yang sungguh sakti jika digunakan sebagai alat perjuangan menuju kemandirian bangsa; mandiri di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan mandiri di bidang kebudayaan. Mandiri dalam segala dimensi kehidupan, dan Merdeka dalam arti yang sebenarnya.

Realitasnya, boleh dikatakan sejak Proklamasi Kemerdekaan, yang menjadi jembatan emas menuju kesejatian cita-cita proklamasi: memiliki negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, kita semakin menjauh dari cita-cita tersebut. Tegasnya, kita belum menggenggam kemerdekaan seutuhnya seperti wasiat Tri Sakti Kemerdekaan.

Konsep kemandirian bangsa sesungguhnya adalah pencerminan secara utuh paham Tri Sakti, dan tidak dapat dicapai melalui program biasa, program tahunan, lima tahunan bahkan melalui program sektoral kementerian. Untuk menangkap makna sesungguhnya Tri Sakti dibutuhkan perubahan mendasar dari cara berpikir dan karakter bangsa, dibutuhkan character building, yang sejak awal kemerdekaan telah dicanangkan akan tetapi hingga kini belum selesai. Membangun bangsa dan negara yang sudah dideklarasikan oleh Djuanda, 13 Desember 1957, sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle), akan menjadi lebih sempurna apabila dilengkapi dengan nation building. Singkatnya, Nation and Character Building (NCB)!

Pertanyaan gugatannya adalah mengapa tugas ini tidak dijalankan sejak dulu, apakah tidak paham? Apakah tidak mau dan tidak mampu menjalankan tugas ini? Atau memang ada kehendak lain yang tidak menginginkan kita menjalankan tugas ini?

Tri Sakti Kemerdekaan

Pernah ada pertanyaan sinis dan ekstrim, apa memang sudah ada bangsa Indonesia seperti disepakati dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, maupun yang dicanangkan dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945? Pertanyaan ini sungguh menyakitkan karena memberi arti bahwa sesungguhnya kita ini masih dalam impian, Bangsa dan Negara Republik Indonesia adalah impian.

Pernyataan yang menyakitkan ini saatnya dijawab dengan serius, kalau tidak ingin kita hanya hidup dalam impian. Walaupun disadari masih adanya kekuatan-kekuatan luar yang menginginkan tidak hadirnya bangsa Indonesia melalui upaya memecah belah dan tidak menyatupadukan ribuan suku bangsa di puluhan ribu pulau, melalui pengekstriman makna otonomi daerah atau juga menghambat karakter kesatuan di antara bangsa Indonesia.

Disadari memang kebutuhan untuk membangun kuat dan meluas akan pemahaman utuh Nation and Character Building khususnya diantara para pemegang kekuasaan di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dibutuhkan berbagai penelitian yang akurat sebagai penegasan masih kuatnya kebimbangan atas pemahaman utuh Nation and Character Building.

Lalu, apakah Tri Sakti dapat membantu pemahaman Nation and Character Building? Logika sederhana konsep Tri Sakti sebenarnya menuntun kita pada pengertian mendasar, bahwa sesungguhnya suatu negara yang utuh dan berfungsi secara normal harus terisi oleh bangsa yang berkarakter Tri Sakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Artinya, Negara dan Bangsa Indonesia berjiwa Tri Sakti.

Persoalan berikutnya adalah kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan tercapainya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, yaitu melakukan Trilogi Kesadaran, Kemauan, dan Tindakan, untuk selanjutnya mencapai Trilogi Persatuan, Kemerdekaan dan Perdamaian.

Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan, dan tidak akan ada perdamaian tanpa kemerdekaan. Trilogi inilah yang menjiwai Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan Non Blok (GNB), dan New Emerging Forces, yang sangat tidak diinginkan oleh kekuatan imperialis dunia. Dengan alasan itu pula Bung Karno harus dihentikan dan disingkirkan (sejak 1955, 1960, 1962, dan 1964).

Menuju Kemandirian Bangsa

Jalan dalam jangka pendek adalah jalan kekuasaan, yaitu menguasai semua bidang yang berkaitan dengan kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan kebudayaan. Walaupun harus diakui bahwa semua pemegang kedaulatan tidak harus para penguasa legislatif, eksekutif dan yudikatif, akan tetapi juga semua pemegang kekuasan riil yang dimiliki oleh rakyat. Dalam kenyataan praktis, kekuasaan pemerintahan akan menentukan berbagai jalan kebijakan untuk Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti.

Jalan kekuasaan melalui jalan politik pemilihan umum telah selesai dan hasilnya, baik anggota legislatif atau presiden terpilih, telah kita ketahui bersama. Walaupun secara riil, hasil pemilu legislatif yang lalu tidak dapat memastikan apakah sudah menggambarkan kemauan rakyat sesungguhnya. Inilah tanggung jawab utama partai politik peserta pemilu, yang dalam praktek nyata selama ini belum mencerminkan kemauan rakyat secara menyeluruh. Reformasi politik kepartaian adalah tuntutan walau mungkin membutuhkan beberapa tahapan waktu ke depan.

Lalu, apakah terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah jalan sebenarnya menuju perubahan kekuasaan yang diharapkan, jalan kekuasaan menuju kemandirian bangsa dan negara Indonesia?

Terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden, 2014-1019, memancarkan harapan yang besar terealisasinya pelaksanaan Nation and Character Building dengan Jiwa Trisakti. Rakyat Indonesia bergerak dan berharap, Indonesia dibawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan berhasil mewujudkan tata pemerintahan yang bersih, kuat, stabil dan berwibawa untuk membangun kembali kepercayaan di antara anggota dan kelompok masyarakat sehingga membawa perubahan berarti dan diterima oleh rakyat Indonesia. Harapan rakyat bukanlah harapan kosong bila kita mau meluangkan waktu untuk menelusuri jejak sejarah karir birokrat dan professional dan warisan publiknya. Bagi rakyat, Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah sosok pemimpin yang memiliki keberanian dan tekad yang kuat, bersih, jujur sehingga menunjukan bahwa “Dwi Tunggal Tri Sakti Indonesia” ini dapat dipercaya. 

Dalam perspektif yang lebih luas, Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah pemimpin masa depan yang berjiwa Pancasila dan berkemapuan untuk melakukan berbagai kebijakan berdasar Pancasila, berjiwa merdeka dan berdaulat, berjiwa Bhinneka Tunggal Ika, mempunyai visi ke depan untuk membangun perdamaian dunia, memiliki kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsanya, memiliki integritas yang utuh, memiliki kesadaran terhadap geopolitik dan kekuatan sumber daya alam Indonesia, berjiwa dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki jiwa yang ikhlas untuk mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negaranya serta memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk melakukan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti. Akankah gumpalan harapan rakyat ini terwujud ataukah mengalir pada jalan yang sunyi, biarlah perjalanan sejarah yang menjawabnya.

Kalau jalan kekuasaan melalui pemilihan umum ini tidak juga mampu memenuhi harapan rakyat, masih ada jalan pintas kekuasaan yaitu revolusi baik secara damai maupun dengan kekerasan, yang secara normal tidak diinginkan karena besarnya biaya sosial, ekonomi dan budaya yang harus dibayar oleh bangsa Indonesia.

Jalan Panjang 

Jalan panjang yang perlu menjadi program prioritas adalah jalan pendidikan yang berkebudayaan, dengan syarat bahwa pendidikan yang digunakan adalah pendidikan berdasar pada budaya yang positif yang terjadi di tanah air kita. Sulit dipahami bahwa pendidikan yang tidak berdasar Pancasila menjadi soko guru generasi mendatang untuk melakukan Nation and Character Building yang Berjiwa Tri Sakti. Artinya, jalan panjang ini hanya bisa terjadi kalau presiden terpilih mampu mengubah sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan yang berdasar Pancasila dan berjiwa Merdeka.

Orientasi pendidikan akan lebih diarahkan pada membangun bangsa bukan menyiapkan pendidikan yang berorientasi kepada penyedia pekerjaan dan pada kepentingan individu. Jalan pendidikan yang memberi jaminan arah pengembangan anak bangsa yang memiliki kemampuan untuk melakukan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti, melalui penyiapan seluruh komponen sistem yang mendukung pemahaman/kesadaran, kemauan dan menumbuhkan kemampuan. Sistem pendidikan tidak terbatas pada sistem persekolahan, termasuk pendidikan di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat (Tri Pusat Pendidikan), yang saat ini tidak dijadikan orentasi pokok. Dibutuhkan harmonisasi di antara Tri Pusat Pendidikan secara efektif.

Jalan pendidikan sebagai jalan menuju pada kemandirian bangsa harus punya dasar orientasi realitas bangsa dari suatu negara kepulauan yang mengandung keragaman sosial, budaya dan ekonomi. Pemahaman dan kesadaran pada realitas keragaman yang dihadapi bangsa Indonesia, membutuhkan jiwa Bhinneka Tunggal Ika secara utuh pada semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh bangsa (ruang dan waktu).

Jalan pendidikan memerlukan partisipasi seluruh komponen bangsa, tidak hanya para penguasanya. Pemahaman paling esensial adalah bahwa sesungguhnya pendidikan adalah modal utama bagi kegiatan Nation and Character Building yang berjiwa Tri Sakti.

Refleksi dan Penutup

Jalan perubahan kekuasaan maupun jalan pendidikan adalah bentuk perjuangan yang dapat dilakukan untuk menuju jalan kemandirian bangsa, dan tidak hanya diaksentuasikan pada salah satu dimensi, politik, ekonomi maupun budaya. Ketiganya harus dilakukan secara simultan dan konvergensif. Inilah sesungguhnya program Nation and Character Building yang Berjiwa Tri Sakti.

Selamat berjuang bangsaku! ***

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…