Perikanan Budidaya - Pencegahan Penyakit Jaga Produktivitas Akuakultur

NERACA

Bogor-Peningkatan produksi perikanan budidaya telah berjalan seiring dengan proses pembangunan nasional secara umum. Hal ini terbukti dengan pertumbuhan produksi sebesar 8,83 % dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Selain peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja dan volume ekspor hasil perikanan Indonesia, kontribusi bidang perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan selama tahun 2013, dengan rata-rata kenaikan sebesar 6,45%.

“Pencapaian ini akan terus di tingkatkan dan di dukung keberlanjutannya. Dan untuk mendukung hal ini, perlu adanya gerakan pencegahan terhadap serangan penyakit udang/ikan dan juga menjaga kualitas lingkungan budidaya. Ini menjadi hal penting agar semua yang telah kita targetkan dapat tercapai serta menuju perikanan budidaya yang berkelanjutan atau sustainable,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat membuka Rapat Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan di Hotel Santika, Bogor, sebagaimana tertuang dalam keterangan resmi yang diterima Neraca, Kamis (17/7). 

Lebih lanjut Slamet, mengatakan bahwa serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan merupakan faktor utama penyebab penurunan produktivitas, kerugian, dan kegagalan usaha pembudidayaan ikan. “Kerugian yang diakibatkan tidak hanya menyebabkan kerugian secara fisik dan ekonomi, namun juga secara tidak langsung dapat menyebabkan  pengangguran, inefisiensi penggunaan lahan budidaya, terhambatnya investasi baru, industri saprokan (pakan, mesin-mesin perikanan, dll.) menjadi terganggu,” ungkap Slamet.

Oleh karena itu upaya pengendalian penyakit dan lingkungan yang tepat, sistimatis serta terintegrasi menjadi hal yang penting dan mutlak untuk dilakukan.”Peran Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan memiliki sangat penting dalam memberikan saran dan masukan sebagai bahan kebijakan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) dalam bidang kesehatan ikan dan lingkungan. Komisi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/KEPMEN-KP/2014 ini bertugas untuk membantu DJPB dalam menyiapkan bahan dan merumuskan kebijakan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan serta mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan,” papar Slamet.

Saat ini banyak hal yang terkait dengan isu kesehatan ikan dan lingkungan yang perlu segera di atasi. “Saran dan masukan yang bersifat komprehensif sangat diperlukan pada saat membahas isu-isu actual yang mempengaruhi keberhasilan industrialisasi perikanan budidaya antara lain seperti pencegahan penyakit lintas batas (WSSV, IMNV, White Feces Disease, VNN, Irrido, KHV, dll); peningkatan Food safety pada produk perikanan budidaya; pengendalian penggunaan obat ikan; perlindungan lingkungan yang berkaitan issue zonasi untuk kepentingan perikanan budidaya,  dampak pencemaran dan pencegahan masuknya Invasive alliance species ke perairan umum, serta produk rekayasa genetika (PRG) dll; serta standardisasi laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan yang sesuai dengan standar Nasional, Regional maupun, Internasaional Dan yang tak kalah pentingnya adalah menyusun strategi untuk menghadapi pelaksanaan  pasar bebas Asean (AFTA) Tahun 2015,” jelas Slamet.

Slamet mengatakan bahwa pertemuan ini selain diharapkan untuk dapat menjawab tantangan pasar global terhadap produk perikanan budiidaya yang dipersyaratkan oleh negara pembeli,  juga dapat memberikan rekomendasi dalam rangka membangun sistem kesehatan ikan dan lingkungan secara nasional yang sesuai/equivalen dengan standard regional dan internasional untuk dapat mendukung terwujudnya industri akuakultur yang tangguh dan berdaya saing.

“Semakin tangguh dan berkelanjutan maka perikanan budidaya semakin dapat diandalkan dalam menggerakan roda perekonomian nasional yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pelaku perikanan budidaya,” tukas Slamet.

Pada pertemuan ini hadir para pakar anggota Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Kepala Pusat Karantina Ikan KKP dan juga stake holder yang terkait dengan kesehatan ikan dan lingkungan.

Pada keterangan resmi sebelumnya, dua bulan lalu, DJPB menyebut, peningkatan produksi udang khususnya vaname di Indonesia dan meroketnya harga udang dunia, telah meningkatkan optimisme para petambak untuk menggiatkan kembali usaha budidaya udang nasional. Tetapi kewaspadaan terhadap munculnya penyakit yang dapat mengganggu usaha budidaya udang tetap harus ditingkatkan. Salah satu penyakit yang saat ini sudah mewabah ke sentra-sentra produksi udang di Asia dan belum diketahui cara mengatasinya adalah Early Mortality Syndrome (EMS) atau disebut juga Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND).

“Indonesia merupakan satu-satunya Negara di Asia yang bebas dari serangan penyakit EMS ini. Hal ini harus terus dipertahankan karena peluang ini dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan produksi dan mengisi pasar yang ditinggalkan oleh kompetitor kita. Penyakit yang telah mewabah di China pada tahun 2009, lalu ke India (2010), Vietnam (2011), Thailand dan Malaysia (2012) dan terakhir ada di Meksiko (2013), telah mengakibatkan penurunan pasokan udang dunia. Inilah saatnya Indonesia merebut pasar tersebut,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, di Jakarta.

Forum Konsultasi Regional Network of Aquaculture Centres in Asia Pasific (NACA) di Bangkok tahun 2012 telah menyatakan bahwa EMS/AHPND dinyatakan sebagai penyakit baru yang penyerang udang dan sangat membahayakan, dan hingga kini belum ditemukan metode pengendaliannya. “Indonesia sebagai Negara yang bebas dan belum terinfeksi penyakit EMS/AHPND, perlu tetap menjaga agar tetap bebas, salah satunya dengan menerbitkan PERMEN Nomor 32/PERMEN-KP/2013 tentang Larangan Pemasukan Udang Dan Pakan Alami Dari Negara dan/atau negara transit yang terkena wabah Early Mortality Syndrome atau Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor. 6697/DJP/PB.210.D4/X/2013 tentang Larangan Pemasukan Probiotik dari Negara Wabah,” ungkap Slamet.

Slamet menambahkan bahwa perlu juga dilakukan evaluasi terkait penerapan peraturan-peraturan tersebut sehingga dapat efektif mencegah masuknya penyakit EMS/AHPND ke Indonesia. “Impor udang hidup, udang beku, probiotik dan artemia dari negara wabah EMS tetap dilarang, termasuk apabila ada produk tersebut di atas yang berasal dari negara yang tidak terkena EMS tetapi transit di negara yang terdapat wabah EMS," jelasnya.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…