Manajemen Risiko dan CAR - Oleh: Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Krisis perbankan kapanpun dan dimanapun pasti terkait dengan rasio kecukupan modal perbankan (CAR). Peraih Nobel Shiller mengingatkan: “Further rises in the [stock and housing] markets could lead, eventually, to even more significant declines... A long-run consequence could be a decline in consumer and business confidence, and another, possibly worldwide, recession. This extreme outcome ... is not inevitable, but it is a much more serious risk than is widely acknowledged.”

Bahkan krisis tersebut juga mempengaruhi rasio kecukupan modal perusahaan-perusahaan non perbankan. Akibatnya secara massal perekonomian dihantui oleh kekurangan modal. Ada beberapa kemajuan misalnya dunia membentuk aturan tentang kecukupan modal untuk perbankan, namun belum ada aturan dunia untuk kecukupan modal sektor asuransi, perusahaan sekuritas dan sektor keuangan lainnya.

Dalam lingkup internasional, Komite Basel dalam Bank Penyelesaian Internasional mendorong persyaratan modal di tiap-tiap negara. Pada tahun 1988, Komite Basel memutuskan untuk memperkenalkan suatu sistem pengukuran modal yang secara umum dikenal sebagai Basel Capital Accords. Kerangka kerja ini telah digantikan oleh suatu sistem kecukupan modal yang jauh lebih kompleks yang dikenal sebagai Basel II. Walaupun Basel II telah mengubah perhitungan bobot risiko secara signifikan, ia tidak menyentuh segi perputaran modal.

Rasio modal adalah persentase modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Bobot didefinisikan dengan rasio sensitivitas risiko yang perhitungannya ditentukan oleh aturan yang sesuai.  Dengan adanya aturan Basel ternyata krisis ekonomi akibat risiko kecukupan modal masih berlanjut hingga saat ini. Sangat mungkin krisis ini lebih disebabkan oleh kelemahan dari sistem ekonomi itu sendiri yaitu sistem kapitalisme.

Dengan kerangka berpikir seperti ini maka kehebohan bahwa Indonesia pernah menjadi Macan Asia sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan. Buktinya krisis ekonomi tahun 1997 begitu mudahnya memporak-porandakan sistem ekonomi Indonesia. Adalah kapitalisme yang sangat liberal yang telah diadopsi oleh rezim Suharto yang oleh Bank Dunia dijuluki sebagai Macan Asia. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas.

Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi.

Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.

Sementara itu, menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat.

Masalahnya dalam sistem kapitalisme selalu diikuti oleh konjungtur perekonomian yaitu fase booming, resesi dan depresi. Fase-fase itu berputar bagikan lingkaran setan. Dengan demikian, perubahan dari satu fase ke fase lainnya akan memberikan risiko bagi perbankan. Ada kecenderungan pergerakan dari fase ekspansi ke fase booming akan disertai oleh rasio kecukupan modal yang semakin berkurang karena adanya ekspansi aset, sementara itu pergerakan fase dari booming ke depresi juga diikuti oleh penurunan rasio tersebut namun lebih dikarenakan oleh menyusutnya modal akibat kerugian yang dialami oleh perbankan. 

Apalagi jika fungsi spekulatif dalam perbankan sudah terlalu dominan seperti yang terjadi pada kolapsnya Bank Duta ketika Indonesia dianggap oleh Bank Dunia sebagai Macan Asia. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri. Kasus Bank Duta itu sendiri mengingatkan bahwa fungsi spekulatif lebih dominan dari fungsi lindung nilai dimana secara konsep lindung nilai berarti transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.

Hal tersebut juga terjadi pada beberapa bank-bank besar berskala internasional akhir-akhir ini. Kondisi ini menjelaskan bahwa peraturan Basel akan rasio kecukupan modal masih belum mengadopsi manajemen risiko yang pro terhadap fungsi lindung nilai. Sehingga sebarapapun besarnya rasio kecukupan modal tidak akan efektif meredam risiko operasional perbankan jika prinsip kehati-hatian perbankan yang berlandaskan manajemen risiko tidak dijalankan dengan baik. 

Dengan demikian, yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di Indonesia. ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.  Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian termasuk dalam penerapan rasio kecukupan modal .***

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…