Pajak Bagi Industri Kecil Dinilai Bakal Membebani Pelaku Usaha

NERACA

Jakarta – Penerapan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% untuk usaha mikro dan sebesar 3% untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban mereka terhadap negara dinilai sangat memberatkan UKM.

“Ini sangat memberatkan mereka. Karena pada dasarnya UKM yang ada saat ini baru tumbuh dan berkembang. Yang terpenting lagi, secara garis besar tata cara pembukuan mereka belum terlalu baik,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM), Kementerian Perindustrian, Euis Saedah di Jakarta, akhir pekan lalu.

Euis memaparkan, seharusnya Dirjen Pajak Kementerian Keuangan meneliti atau menelaah terlebih dahulu pengenaan pajak tersebut. “Marilah kita duduk bersama dan mendiskusikan permasalahan ini. Karena pada dasarnya IKM hanya mempunyai permodalan yang terbatas,” tandasnya.

Hal positif yang bisa ditarik dari penerapan pajak ini, imbuhnya, karena IKM dapat secara tidak langsung tercatat atau diinventarisasi oleh pemerintah. “IKM pun mau tidak mau harus mempunyai pengelolaan keuangan dengan baik,” jelasnya.

Meski demikian, lanjut Euis, harus tetap dihitung untung-ruginya seperti apa. Pasalnya, kebanyakan IKM, pembelian bahan baku masih dalam jumlah kecil, dan pasar mereka belum jelas. Serta belum ada kegiatan usaha yang konsisten yang diupayakan oleh pemerintah secara terus-menerus.

“Apakah dengan IKM membayar pajak nantinya, pemerintah akan memberikan kemudahan, seperti membantu dalam mendapatkan pinjaman modal ke bank. Kalau ada kompensasi yang lain, seperti apa misalnya. Sehingga sosialisasinya (pembayaran PPh oleh IKM) akan jelas,” terang Euis.

Euis menyebut, dalam pelaksanaan penerapan pajak ini, pada masa awal akan menemui banyak sekali kendala, terutama masalah pembukuan. “Pembukuan keuangan mereka kan sederhana banget, jadi mereka pasti akan pusing menghitung omzetnya,” ungkapnya.

Ia juga mensyaratkan bahwa penarikan pajak bagi UKM ini harus jelas manfaatnya bagi perkembangan UKM.

Selama ini, sambungnya, sejumlah IKM telah membayar PPh sebesar 10 %, tapi hanya mereka yang memasok kepada perusahaan besar, seperti Carrefour. Sementara, IKM-IKM yang mandiri, atau katakanlah tidak memasok kepada perusahaan besar, memang belum dikenakan pajak.

“Terus terang ini (pengenaan pajak) tidak berimbang. Kurang fair (bagi IKM). Karena, kan, yang beli bahan baku yang dibebaskan PPn (pajak pertambahan nilai) adalah IKM-IKM yang merupakan pemasok ke perusahaan  riteil retail besar,” urai dia.

Sebelumnya, pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, sedang mengkaji pengenaan pajak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Usaha mikro, atau usaha yang tingkat penjualannya kurang dari Rp 300 juta per tahun, akan dikenakan PPh sebesar 0,5 % dari omzet. Sementara itu, usaha kecil dan menengah, yang tingkat penjualannya sebesar Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan PPh sebesar 2 %, dan PPn sebesar 1 % dari omzetnya.

Sementara Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku telah pasrah pada rencana Ditjen Pajak mengenakan pajak penghasilan badan (PPh badan) untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebesar 3-5%.

Namun Hidayat yakin usulannya untuk tidak mengenakan pajak UKM pasti ditolak. “Kita belum bisa melakukannya (pemberian potongan pajak). Saya mengajukan pasti ditolaklah. Musti cari cara lain bagaimana bisa efisien," ujar Hidayat.

Dia menambahkan, pemerintah kini memang membutuhkan pemasukan dari pajak-pajak yang berasal dari industri kecil menengah (IKM) yang memproduksi produk-produk menengah bawah. Sangat berbeda dengan China yang justru memberikan potongan pajak sehingga produknya bisa murah.

"Karena produksi massal China dapet tax discount, biasanya dikasih potongan, seperti tax rabatnya 13%. Kita tidak mungkin. Kita masih membutuhkan revenue," katanya.

Produk UKM China, lanjut Hidayat juga unggul karena desain yang lebih baik selain harga yang murah karena adanya dukungan pengurangan pajak. "Industri sepatu yang low segment yang murah itu yang menguasai bukan kita, itu China Mereka sangat murah dan mungkin disainnya lebih baik," tuturnya.

Menurut Hidayat, IKM-IKM dalam negeri perlu membuat penelitian untuk sektor-sektor yang berpotensi untuk menguasai pasar dalam negeri. Sektor-setor seperti batik dan kulit menurut Hidayat cocok untuk menguasai pasar dalam negeri. "Dalam setahun ini meneliti apa saja yang bisa membuat daya saing mereka meningkat dan bisa menguasi pasar dalam negeri," jelasnya.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…