PERSAINGAN REBUT DANA MASYARAKAT KIAN KETAT - Likuiditas Bank Terancam

 

Jakarta – Di tengah perlambatan ekonomi nasional, perbankan Indonesia kini mulai merasakan persoalan likuiditas dan permodalan. Pasalnya, sekitar 55% dana murah di masyarakat (tabungan dan giro) hanya dikuasai empat bank besar dan sisanya (45%) diperebutkan oleh 116 bank umum lainnya di negeri ini.

NERACA

Menurut data Perbanas per akhir 2013, sekitar 55% dana murah masyarakat dalam bentuk bentuk tabungan dan giro yang mencapai Rp 2.059 triliun berada dalam dekapan 4 bank besar yaitu: BNI, BRI, Mandiri dan BCA. Sedangkan 45% dana murah lainnya sekarang diperebutkan oleh 116 bank umum lainnya.

Hal ini tentu saja dalam 10 tahun ke depan perbankan Indonesia akan dihadapkan pada persoalan likuiditas dan modal. Saat ini, kondisi loan to deposit ratio (LDR) sudah rata-rata di atas 90%. "Kondisi perbankan 10 tahun ke depan likuiditas akan ketat dan berbeda seperti 10 tahun sebelumnya yang masih longgar." kata Budi G. Sadikin, Dirut Bank Mandiri dalam diskusi di kongres luar biasa Perbanas 2014 di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia,  untuk mengatasi likuiditas, diperlukan infrastruktur hukum dan perpajakan untuk menarik dana-dana asing yang ada di luar negeri yang jumlahnya relatif banyak. Selain itu, dia juga menegaskan untuk meningkatkan penetrasi perbankan yang lebih cepat sehingga ada tambahan likuiditas dari masyarakat.

Sementara untuk mengatasi permodalan bank-bank BUMN untuk dapat melakukan konsolidasi, karena berharap tambahan dari pemerintah sangat sulit dan juga dalam melakukan right issue karena saham pemerintah akan terdilusi.

Menurut pengamat perbankan Iman Sugema, ketatnya likuiditas perbankan sudah pasti akan memberatkan pengusaha di dalam negeri untuk mencari pembiayaan. Pasalnya,  ada pengetatan likuiditas tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan suku bunga kredit perbankan yang ada saat ini.

"Hingga saat ini, banyak pengusaha yang mengeluhkan tingginya suku bunga yang ada dan memang pembiayaan dari sektor perbankan terhadap dunia usaha masih belum optimal. Secara makro, alokasi kredit perbankan masih tergolong rendah,"ujarnya saat dihubungi Neraca, Sabtu (28/6).

Lebih lanjut Iman mengatakan, pembiayaan perbankan terhadap sektor riil masih sangat minim apalagi pembiayaan untuk  sektor pertanian. Padahal sektor ini sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, perlu ada upaya memperbesar pembiayaan terhadap dunia usaha.

"Ketatnya likuiditas di perbankan yang terjadi saat ini akan bertambah parah jika pemerintah kembali lambat mencairkan anggaran belanjanya seperti tahun lalu. Jika ini terjadi, suku bunga deposito dan suku bunga kredit akan tetap tinggi," papar Iman.

Iman juga berpendapat likuiditas yang ada tidak merata dan tidak mudah diakses oleh setiap bank. Terjadi segmentasi likuiditas, di mana bank besar kelebihan likuiditas dan bank kecil kekurangan likuiditas. Dampaknya, likuiditas tetap terasa ketat yang terindikasi dari suku bunga deposito yang sulit turun dari level 11%-12 % per tahun.

"Seiring meningkatnya ketidakpastian  ekonomi, terjadi perpindahan dana dari bank kecil ke bank besar karena dianggap lebih aman. Ke depan, likuiditas perbankan diperkirakan semakin ketat," ujarnya.

Dalam situasi seperti saat ini, menurut dia, kesulitan likuiditas bisa dengan mudah menyebabkan bank bangkrut. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi likuiditas yang makin ketat, pemerintah harus mempercepat belanjanya.

Pengamat perbankan Aviliani menilai tingginya suku bunga dan berkurangnya suplai uang membuat likuditas perbankan makin ketat.  Atas dasar itu, Aviliani mengatakan telah membuat perbankan berebut dana pihak ketiga (DPK) dengan menawarkan bunga simpanan yang tinggi kepada nasabah. "Ini kondisi yang kurang bagus," ujarnya.

Aviliani menyebut, saat ini Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan tingkat bunga penjaminan untuk bank umum 7,75%. Adapun untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 10,25%. "Tapi kenyataannya, ada bank yang memberikan bunga simpanan sampai 11 hingga 14%," katanya.

Perilaku Pemerintah

Menurut dia, keringnya likuiditas juga tecermin dari pertumbuhan kredit yang lebih cepat dibanding DPK. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, DPK periode Desember 2013 hingga April 2014 naik Rp 30,8 triliun, adapun kredit naik Rp 69,3 triliun. "Artinya, dana yang dimiliki perbankan menyusut," ucapnya.

Tak hanya itu, ia menuding ketatnya likuiditas ini juga dipengaruhi perilaku pemerintah. Dia menyebut, strategi pemerintah yang menerbitkan banyak sekali surat utang di awal tahun membuat para pemilik dana mengalihkan simpanan dari bank untuk dibelikan obligasi. "Apalagi, pemerintah memberikan bunga tinggi untuk surat utang. Jadi bank pun harus ikut menawarkan bunga tinggi," ujarnya.

Di samping itu, rendahnya penyerapan anggaran membuat dana pemerintah hasil penarikan pajak menumpuk di kas pemerintah. Dia menyebut, saat ini ada Rp 130 triliun dana pemerintah menumpuk di BI. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 100 triliun sudah masuk tahap pencairan tapi belum terserap. Adapun Rp 30 triliun lainnya belum masuk tahap pencairan. "Kalau saja yang Rp 30 triliun itu bisa masuk ke perbankan, maka akan sangat membantu likuiditas," katanya.

Karena itu, dia meminta agar pemerintah mempercepat realisasi penyerapan anggaran agar dana-dana yang menumpuk di kas negara bisa tersalurkan ke sektor riil, lalu kembali masuk ke perbankan. Jika kondisi likuiditas ketat ini terus terjadi, maka akan memicu obral bunga tinggi oleh perbankan hingga di atas penjaminan LPS. "Ini tentu tidak sehat bagi perbankan," katanya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko mengatakan, perbankan masih belum optimal mendukung dunia usaha atau para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Dampak adanya pengetatan likuiditas tersebut adalah peningkatan suku bunga kredit perbankan sebesar 7 basis poin (bps) menjadi 12,54%. Suku bunga perbankan masih belum bisa diharapkan banyak untuk membantu ekspansi kredit. Hal ini dikarenakan suku bunga yang masih tinggi sebagai akibat dari adanya kebijakan pengetatan likuiditas oleh Bank Indonesia.

"Di sisi keuangan peranan pembiayaan dari sektor perbankan terhadap dunia usaha masih belum optimal. Pembiayaan perbankan terhadap sektor riil masih terbatas, terutama pembiayaan untuk UMKM dan sektor pertanian," kata dia.

Sedangkan industri perbankan, lanjut dia, cenderung akan mulai mengurangi ekspansi kredit guna menstabilkan angka likuiditas di masing-masing bank. Situasi ekonomi sekarang sedang tidak terlalu menguntungkan bagi semua pihak, terutama untuk industri perbankan dengan likuiditas yang semakin ketat. Bank-bank menaikkan suku bunganya. Tentu saja itu berdampak ekspansi kredit akan berkurang.

Dia pun menjelaskan melihat kondisi seperti ini yang bisa membuat adanya bank yang tidak mampu menghadapi hal ini, maka likuiditas ketat yang kini dihadapi oleh sejumlah bank bisa diselesaikan dengan cara memangkas jumlah bank dan mendorong terjadinya konsolidasi. Melalui konsolidasi tersebut industri perbankan Indonesia akan menjadi lebih sehat dan kuat, sehingga tidak mudah goyah ketika terjadi gejolak ekonomi seperti yang pernah terjadi di tahun 1999 dan 2008 lalu. Akibat tingkat suku bunga tinggi saat ini, banyak bank yang tidak mampu bersaing dengan bank-bank besar yang didukung dengan SDM, sistem teknologi dan jaringan yang sangat besar.  

Prasetyantoko mengungkapkan perbankan harus semakin efisien, dalam artian, perbankan mesti menekan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). BOPO itu terkait masalah efisiensi dan idealnya, rasio BOPO maksimal 85%. Jika di atas itu, berarti perbankan belum efisien.

Peneliti Indef Eko Listiyanto mengatakan,  ketatnya likuiditas akan tetap menyulitkan pengusaha untuk dapat pembiayaan dengan bunga kompetitif jika pasar keuangan tdk berkembang. Jika pasar modal/lembaga keuangan non bank ke depan dapat berkembang maka pengusaha ada alternatif meminjam likuiditas sehingga pasar kredit akan lebih kompetitif. Masalahnya saat ini sektor perbankan masih mendominasi sektor keuangan Indonesia. "Secara umum jelas jika likuiditas ketat akan terasa sulit pengusaha untuk mendapatkan pinjaman dari bank," ujarnya. agus/mohar/iwan/bari

BERITA TERKAIT

DUGAAN KORUPSI DANA KREDIT DI LPEI: - Kejagung Ingatkan 6 Perusahaan Terindikasi Fraud

Jakarta-Setelah mengungkapkan empat perusahaan berpotensi fraud, Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin mengungkapkan ada enam perusahaan lagi yang berpeluang fraud dalam kasus…

Jakarta Jadi Kota Bisnis Dunia Perlu Rencana Jangka Panjang

NERACA Jakarta – Pasca beralihnya ibu kota dari Jakarta ke IKN di Kalimantan membuat status Jakarta berubah menjadi kota bisnis.…

LAPORAN BPS: - Februari 2024, Kelapa Sawit Penopang Ekspor

NERACA Jakarta –  Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sektor pertanian pada Februari 2024 mengalami peningkatan sebesar 16,91 persen…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

DUGAAN KORUPSI DANA KREDIT DI LPEI: - Kejagung Ingatkan 6 Perusahaan Terindikasi Fraud

Jakarta-Setelah mengungkapkan empat perusahaan berpotensi fraud, Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin mengungkapkan ada enam perusahaan lagi yang berpeluang fraud dalam kasus…

Jakarta Jadi Kota Bisnis Dunia Perlu Rencana Jangka Panjang

NERACA Jakarta – Pasca beralihnya ibu kota dari Jakarta ke IKN di Kalimantan membuat status Jakarta berubah menjadi kota bisnis.…

LAPORAN BPS: - Februari 2024, Kelapa Sawit Penopang Ekspor

NERACA Jakarta –  Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sektor pertanian pada Februari 2024 mengalami peningkatan sebesar 16,91 persen…