Perdagangan Internasional - Masih Perlukah Indonesia Gabung WTO?

NERACA

Jakarta – Sejak calon Presiden Joko Widodo menyinggung soal keikut sertaan Indonesia dalam anggota World Trade Organization (WTO) yang masih diperlukan dalam debat kandidat akhir pekan kemarin. Beberapa kalangan menilai bahwa keikut sertaan Indonesia dalam WTO kurang memberikan manfaat. Menurut Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng, keikutsertaan Indonesia di WTO telah membuat Indonesia semakin menganut perdagangan bebas, bahkan bisa membahayakan perekonomian nasional.

“WTO itu membahayakan perekonomian Indonesia. Sejak 1994 sampai sekarang, tidak ada manfaat yang didapat dari ke ikut sertaan Indonesia di WTO. Yang ada, ekonomi jadi semakin liberal,” kata Daeng saat dihubungi Neraca, kemarin.

Menurut dia, jika mendesak pemerintah mendatang untuk keluar dari anggota WTO sangatlah mustahil. Pasalnya rezim Presiden untuk saat ini ingin dikenal baik oleh negara-negara lain meskipun untuk Indonesia justru kerugikan. “Tidak akan berani untuk keluar. Ada cara yang lebih cerdas lagi yaitu berunding yang benar-benar memberikan keuntungan bagi Indonesia,” tegasnya.

Berdasarkan pengamatan IGJ, sejak WTO terbentuk tahun 1995 hingga 2012, persoalan kelaparan dan kemiskinan di dunia berada di negara berkembang. Data FAO 2012 menyebutkan bahwa 98% masyarakat kekurangan gizi berada di negara berkembang. Bahkan tingkat kelaparan tertinggi berada dikawasan Asia yakni sebesar 552 juta orang dari 842 juta orang lapar didunia. Dan 75% dari orang miskin di dunia hidup di pedesaan yang bergantung pada pertanian.

Indonesia sendiri sejak bergabung dengan WTO tahun 1995 hingga sekarang, menunjukan index harga pangan domestik Indonesia semakin menunjukan peningkatan. Pada 1995 index harga pangan domestik Indonesia awalnya berada pada peringkat 1,48 dan semakin menunjukan peningkatan hingga 2013 dimana saat ini index harga pangan domestiknya telah mencapai peringkat 2,00.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi UI Telisa Aulia Falianty mengatakan jika pemerintah mundur dari keanggotaan WTO maka dampaknya akan begitu besar, dan implikasinya akan terkena embargo. Padahal secara fundamental ekonomi pemerintah Indonesia lagi lesu. “Memang pilihan yang sulit maju kena, mundur pun kena. Kalau pun pemerintah ingin mundur bisa dengan cara berlahan, tidak bisa serentak,” kata dia.

Mulai dari sekarang pemerintah berbenah untuk memperkuat pondasi secara fundamental ekonomi secara perlahan, meningkatkan daya saing, jika sudah mendukung baru mengundurkan diri. “Kita harus bangun pondasi kuat dulu, baru mengundurkan diri. Harusnya pemerintah bisa bernegosiasi untuk adanya dispensasi untuk beberapa sektor yang dianggap kuat,” tegasnya.

Dalam debat Capres akhir pekan kemarin, Joko Widodo menilai bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO ada plus minusnya. “Kita ikut di WTO ada plus minusnya, dalam hal perdagangan saat barang-barang kita masuk ke negara lain ada tarif non tarif, barier di sana,” kata Jokowi.

Namun jika Indonesia tidak menjadi anggota WTO maka hampir pasti produk-produk Indonesia akan sulit atau dipersulit untuk bisa masuk ke suatu negara. Menurut Jokowi Indonesia bisa untung dengan menjadi anggota WTO asalkan Indonesia bisa menjadi bangsa yang produktif dan berdaya saing tinggi sehingga produknya bisa masuk ke semua negara. “Pentingnya memperkuat produktivitas dan saya saing itu,” katanya.

Ia mencontohkan jika ada produk dari luar masuk maka hal itu bisa sangat mengganggu pasar domestik. “Daya saing kita rendah, ini yang jadi masalah agar kita berdaya saing sehingga bisa masuk ke mana saja produk kita,” katanya. Jokowi sendiri menyadari untuk bisa diekspor ke negara-negara tertuntu ada syarat-syarat khusus misalnya ecolabeling, karantina, tarif, dan lain-lain.

Memberikan Keuntungan

Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi pendapat berbeda dengan yang lainnya. Menurut Bayu, keikutsertaan Indonesia sebagai anggota Badan Perdagangan Dunia (WTO), memberikan keuntungan bagi Indonesia. Menurut Bayu, WTO adalah sebuah meja perundingan, di mana yang paling penting dilakukan Indonesia adalah apa yang mau dibawa ke meja perundingan tersebut. “Tapi kalau kita keluar dari WTO memang kita rugi, karena kita tidak bisa ada di meja perundingan itu,” katanya.

Bayu menjelaskan, apa yang dilakukan Indonesia sejauh ini bukan masalah lebih kuat atau lebih lemah dari negara lain. "Masalahnya kan bagian dari diplomasi, yang penting tujuan yang ingin kita capai? bisa kita capai," ujar Bayu.

Oleh karena itu, lanjutnya, WTO sebagai media perundingan, menyediakan fasilitas bagi Indonesia untuk berunding dengan negara lain yang berbeda pendapat dengan Indonesia. “Dan saya kira perbedaan pendapat dengan negara lain wajar-wajar saja. Kita berteman juga bisa berbeda. Jadi kalau dengan mereka, WTO lah tempatnya,” katanya.

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…