BI Rate Bertahan Tinggi, Bank Sulit Tawarkan Suku Bunga

NERACA

Jakarta - Bank Indonesia berkilah jika faktor bertahannya suku bunga acuan atau BI Rate di posisi 7,5%, salah satunya, karena pada Mei 2014 terjadi inflasi sebesar 0,16%. Selain itu, sulit turunnya BI Rate lantaran faktor tingginya impor dan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tak ayal, hal tersebut berimbas ke pertumbuhan kredit perbankan nasional, di mana bank mematok pertumbuhan  kredit di kisaran 15%-20% tahun ini. Sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan di 2014 hanya 12%.

Berdasarkan data publikasi suku bunga perbankan dalam negeri, terungkap pergerakan suku bunga perbankan belakangan ini tetap tinggi. Untuk bunga kredit korporasi di beberapa bank besar berkisar 10,5%-10,75%, kredit ritel sekitar 11,75%-12,35%, kredit mikro sekitar 18,75%-22% per tahun. Kondisi ini tentunya mengacu pada BI Rate yang dalam tujuh bulan terakhir ini tetap bertahan.

Tingginya suku bunga perbankan tersebut mencerminkan upaya meningkatkan efisiensi perbankan nasional hingga sekarang belum optimal sehingga bank selalu terjebak dalam lingkaran cost of fund (biaya dana) yang mahal. Kondisi ini pula, diprediksi akan mendorong perbankan untuk “gila-gilaan” menawarkan tingkat suku bunga tinggi dalam menarik dana masyarakat.

Ekonom UGM Tony Prasetiantono menilai, terbatasnya DPK dari masyarakat membuat persaingan suku bunga simpanan di industri perbankan semakin kencang. Tarik-menarik dana masyarakat ini pun membuat nasabah mencari bank mana yang menawarkan bunga deposito lebih tinggi.

“Ada nasabah mau menyimpan dana di bank, tetapi jika bunga simpanan mencapai 10%-12%,” ujar Tony, dalam Seminar Nasional “Risiko Kredit Perbankan dan Kebijakan Makroprudensial di Tengah Perlambatan Ekonomi dan Gejolak Eksternal” di Jakarta, Senin (16/6).

Menurut dia, hal tersebut karena kondisi likuiditas yang ketat ini membuat nasabah yang memiliki dana besar memiliki kemampuan tawar lebih besar untuk meminta bunga tinggi kepada bank. Hal ini terkait dengan kebijakan likuiditas ketat yang diambil Bank Indonesia, dengan memancang BI Rate di angka 7,5%.

Sementara indikator pengetatan likuiditas adalah dengan lebih tingginya suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS Rate) ketimbang BI Rate. Diketahui, saat ini LPS Rate (untuk simpanan rupiah di bank umum) dipatok di angka 7,75%. “BI Rate itu untuk menunjukkan visi BI terhadap kebijakan likuiditas yang diambil. Tinggi untuk pengetatan, dan rendah untuk melonggarkan. Sedangkan LPS Rate itu menunjukkan respon pasar,” tutur Tony.

Kebijakan Moneter Ketat

Pada kesempatan terpisah, Chief Economist PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Ryan Kiryanto mengungkapkan, kencangnya bank dalam menarik DPK, tentu akan mendorong bank mengobral tingkat bunga. Dengan demikian, ini akan mendorong meningkatnya biaya dana yang akan menekan net interest margin (NIM).


Ryan juga mengungkapkan, adanya gap (pemisah) antara pemberian kredit dengan dana yang berhasil dihimpun perbankan menyebabkan mengakibatkan persaingan mendapatkan dana masyarakat semakin ketat. "Bank-bank akan berlomba menarik dana dengan tawaran bunga yang lebih tinggi. Ini terlihat dari keputusan LPS yang menaikkan LPS Rate dari 7,5% menjadi 7,75%,” terangnya.

Bahkan, imbuh Ryan, persaingan mendapatkan likuiditas terjadi tidak hanya antar perbankan saja, tetapi juga dengan lembaga  keuangan nonbank, dan juga pemerintah. Dia menegaskan, penyebab likuiditas sulit diraih dari masyarakat antara lain, karena pemerintah selalu mencari dana melalui instrumen penerbitan obligasi atau sukuk (surat utang syariah).

Menurut dia, dana yang diserap melalui penerbitan obligasi selama ini disimpan di rekening pemerintah di Bank Indonesia, namun tidak segera dibelanjakan. Selain itu, bank juga makin sulit menghimpun dana masyarakat karena adanya kebijakan moneter ketat dari Bank Indonesia (BI).

"Kebijakan moneter ketat ini akan berlangsung hingga akhir tahun 2014 karena BI harus menjaga ekspektasi inflasi tetap terjaga terkait dengan rencana kenaikan tarif listrik mulai Juli 2014," tandas Ryan. [ardi]

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…