Koperasi Indonesia

Oleh: Firdaus Baderi

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Menjelang Hari Koperasi ke-67 yang jatuh pada 12 Juni 2014, kita merasa happy atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU No. 17/2012 tentang Perkoperasian. Pasalnya, koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia ternyata telah diplintir oleh segelintir anggota DPR yang mencoba mengubah prinsip koperasi  tak sesuai lagi dengan pasal 33 UUD 1945 yaitu azas kekeluargaan dan usaha bersama.

Frasa penyertaan modal yang menjadi keberatan sejumlah pihak telah menjadikan UU ini layaknya seperti perusahaan (korporatisasi). Sehingga apabila UU ini dibiarkan berlaku, koperasi tidak bisa lagi digunakan sebagai institusi yang dapat melawan praktik perdagangan bebas di Indonesia.

Setelah menunggu keputusan lebih dari satu tahun, Pihak MK mengabulkan permohonan pihak pemohon seluruhnya dan menyatakan UU No.17/2012 telah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dibatalkannya UU ini, maka UU No. 25/1992 (lama) tentang koperasi diberlakukan kembali.

Tidak hanya itu. Dalam pasal 67 ayat (1)  UU Koperasi  itu disebutkan “Bahwa Setoran Pokok dibayarkan oleh anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota dan tidak dapat dikembalikan”.

Ayat ini dimaknai dalam sosialisasi UU tahun 2012 tersebut dengan istilah “simpanan” diganti jadi “setoran”, tidak bisa dikembalikan dan hanya sebagai “tiket masuk” menjadi anggota koperasi, dengan demikian tidak dimungkinkan atau diperbolehkan menambah simpanan/setoran pokoknya.

Jelas ayat ini menjadi keberatan anggota dan pengurus dalam strategi penggalangan modal koperasi. Karena ini tidak menguntungkan, pertumbuhan modal koperasi dari unsur swadaya keanggotaan tak mungkin bisa bertumbuh selamanya, sebaliknya dan justru mendorong pemilik modal melalui kekuatan modalnya mampu mengambil alih koperasi, menguasai sumber-sumber produksi koperasi. Alih-alih memberdayakan koperasi justru membiarkan koperasi dimangsa kapitalisasi global alias masuknya intervensi modal asing.

Bahkan mantan Menko Perekonomian yang kini menjadi Cawapres Hatta Rajasa mengakui badan usaha koperasi selama menghadapi kendala saat mengikuti tender proyek pemerintah. “ Ini seharusnya tidak boleh ada diskriminasi terhadap koperasi dalam kegiatan tender proyek pemerintah,” ujarnya saat berdiskusi dengan Forum Pemred di Jakarta, Sabtu malam (7/6)

Anggota DPR harusnya memahami filosofi koperasi sebagai sokoguru ekonomi bangsa yang sudah dipikirkan oleh para pendiri bangsa di masa lalu. Jangan hanya untuk kepentingan sesaat demi kepentingan perut, makna koperasi menjadi tersesat. Untungnya saja MK cepat tanggap dan membatalkan UU tersebut.

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…