Risiko Makroekonomi dan Pengawasan Bank - Oleh: Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Dunia saat ini mengkhawatirkan krisis makroekonomi dan perbankan yang berpotensi meletus di Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pertumbuhan ekonomi RRT terus melamban dan kredit macet juga terus meningkat. Keterkaitan antara risiko yang muncul dalam konteks makroekonomi dengan pengawasan perbankan sangatlah erat sekali. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 yang lalu merupakan contoh bahwa Indonesia tidak kebal dari risiko makroekonomi dan juga lengahnya pengawasan perbankan.

Bahkan kedua variabel itu memiliki korelasi positif yang sangat tinggi di dunia. Artinya globalisasi semakin meningkatkan nilai korelasi tersebut. Bahkan krisis tahun 2008 yang menghantam negara maju semakin menunjukkan bahwa tidak ada satupun negara yang kebal dari krisis makroekonomi dan juga lemahnya pengawasan bank. Perekonomian negara-negara yang dianggap kuat secara makroekonomi ternyata lemah secara makroekonomi dalam jangka panjang.

Lihatlah rontoknya ekonomi di Asia pada tahun 1998 yang lalu yang merontokkan perbankan di Indonesia, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Risiko makroekonomi biasanya muncul ketika penguasa politik menganggap perekonomian negaranya kokoh sehingga membuat pengawasan makroekonomi dan juga pengawasan perbankan menjadi terabaikan.

Cara pandang penguasa politik yang keliru dalam membaca peta perekonomian membuat kebijakan makroekonomi yang diambil menjadi tidak responsif terhadap upaya penurunan risiko yang berpotensi muncul dari kebijakan yang salah tersebut. Dengan kata lain kesalahan muncul karena penguasa politik tidak lagi memiliki keahlian dalam mengelola perekonomian secara baik.

Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menguatkan hal tersebut. Penguasa politik yang juga mampu membaca kondisi makroekonomi akan membawa negaranya secara sistematis untuk menurunkan risiko makroekonomi selain itu penguasa tersebut juga sangat konsisten dalam menerapkan pengawasan perbankan. Contoh negara ini adalah Singapura. Dengan demikian adanya keterkaitan yang kuat antara penguasa politik dengan kelihaian dalam mengelola makroekonomi dan juga pengawasan perbankan untuk menentukan sejauhmana sebuah negara mampu menghindarkan krisis ekonomi.

Belajar dari Thomas Piketty dengan bukunya Capital in The 21st Century memperlihatkan bahwa kepala negara harus mampu mengelola modal yang pro terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian kepala negara yang pro terhadap kesejahteraan rakyatnya dengan sendirinya mampu mengurangi risiko makroekonomi dan juga risiko kolapsnya perbankan.

Dalam konteks itu maka kepala negara di Singapura pada tahun 1998 bisa dikatakan lebih pro rakyat kecil ketimbang kepala negara Indonesia pada periode yang sama. Lee Kuan Yeuw ketika bertemu dengan Deng Xioping berjanji untuk mensejahterakan penduduk Singapura bahkan Deng akhirnya belajar dari Singapura.

Jika Republik Rakyat Tiongkok mampu mengikuti cara Singapura memerdekakan rakyat kecilnya maka dengan sendirinya risiko makroekonomi dan perbankan akan mengecil. Sayangnya Suharto tidak mau belajar dari Lee KuanYeuw sehingga krisis tahun 1998 meledak bukan hanya menjadi krisis makroekonomi tetapi juga krisis perbankan.

Sementara itu, krisis makroekonomi dan perbankan di Amerika Serikat meledak ketika George Bush menjadi presiden Amerika Serikat dimana perekonomian Amerika Serikat memang saat itu juga tidak peduli dengan rakyat kecil dimana ketimpangan ekonominya semakin menjadi-jadi.

Sekali lagi pada tahun 2008, Singapura juga berhasil melakukan pengawasan perbankan dengan baik sekali walapun risiko makroekonominya terus meningkat. Hal ini dapat terjadi karena Singapura juga mampu mengendalikan korupsi di negaranya pada tingkat yang minimal yang tidak dapat dilakukan oleh Indonesia dan Korea Selatan pada tahun 1998 yang lalu. Padahal undang-undang dasar di Indonesia sangat pro terhadap demokrasi ekonomi seperti koperasi yang justru tidak ada di Singapura.

Artinya kemampuan Singapura dalam menekan korupsi menjadikan risiko makroekonomi yang tinggi dapat terkelola dengan baik dan menghindarkan risiko perbankan melalui pengawasan yang ketat. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa sepertiga dari anggaran pendapatan dan belanja negara di Indonesia pada era Orde Baru menjadi korban korupsi, akibatnya anggaran negara semakin terikat oleh hutang luar negeri dan menjadi lingkaran setan yang tak habis-habisnya.

Feldstein (1986) membantah bahwa dampak suku bunga pada defisit bergantung pada bagaimana kuatnya defisit ini diasumsikan. Magnitut relatif atas dampak defisit yang diestimasi dan dampak hutang yang diestimasi yang dilaporkan konsisten dengan asumsi bahwa meningkatnya defisit yang diproyeksikan adalah kuat, tapi tidak permanen.

Eichengreen (2005) memodelkan kurangnya fleksibilitas nilai tukar dengan melihat pada reaksi suku bunga yang ditujukan untuk menimbangi variabilitas pada pasar mata uang asing. Dampak neraca yang meningkatkan nilai liabilitas eksternal ril mata uang domestik telah menarik perhatian analis dalam beberapa tahun terakhir ini, yang mencari mekanisme melalui melemahnya mata uang domestik dapat mengakibatkan kontraksi pada aktivitas ekonomi (inilah, adanya “devaluasi kontraksi”).

Menurut Eichengreen (2005), Mohanty dan Klau (2004) dan Cavoli dan Rajan (2005a), dampak ini dapat diintrepretasikan sebagai dampak negatif keseluruhan dari melemahnya output nilai tukar riil dalam jadwal permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan Calvo’s (2001) yang menyatakan bahwa masa melemahnya nilai tukar dapat mengakibatkan pada meluasnya kebangkrutan. Dengan demikian, pengawasan perbankan bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Sejarah membuktikan bahwa risiko makroekonomi yang besar dapat menghancurkan perbankan, namun dengan pengawasan perbankan yang benar maka risiko itu tidak memiliki dampak yang kuat dalam menghancurkan perbankan nasional.

Pada tahun 2014 ini sangatlah menarik, sejauhmana pemimpin Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mampu belajar dari Singapura dalam mengelola risiko makroekonomi dan perbankannya. Jika RRT mampu menekan angka koruspsinya maka krisis ekonomi maha dahsyat yang diperkirakan akan menghantam RRT beberapa tahun ke depan dapatlah dihindari dengan baik!***

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…