Sekali Lagi (Kembali)Pancasila - Oleh: Otjih Sewandarijatun, Alumnus Udayana Bali dan peneliti Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta

Sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 merupakan momentum bersejarah dimana para pemimpin politik yang merepresentasikan beragam kekuatan politik nasional duduk bersama untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan di atas dasar apa negara ini hendak didirikan?.Pertanyaan ini sangat fundamental mengingat kompleksitas realitas sosiologis, kultural maupun politik Indonesia sebagai nation state yang bertumbuh dalam suasana revolusi dan geliat politik aliran.  Dalam suasana itulah Bung Karno, M. Yamin, dan Mr. Supomo, menyampaikan pidato politiknya di depan sidang BPUPKI untuk merumuskan Dasar Negara.

 

Dalam proses politiknya, berkembang dua mainstream politik yakni paham negara kebangsaan dan paham keagamaan.  Paham kebangsaan berangkat dari konstruksi berpikir bahwa Indonesia memiliki realitas yang kompleks baik secara sosiologis, kultural, maupun politis.Paham kebangsaan diyakini lebih akomodatif dan mendorong terciptanya persatuan yang kuat.Sedangkan paham keagamaan mengusulkan agar syariat Islam menjadi Dasar Negara mengingat Islam yang mayoritas dan berperan besar dalam revolusi kemerdekaan.  Selain itu, diyakini bahwa Islam telah mengatur seluruh dimensi kehidupan dengan sempurna, termasuk konteks bernegera karenanya wajar jika diusulkan sebagai Dasar Negara.

Titik temu sementara dua gagasan ini adalah lahirnya Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno, beranggotakan Abdulkahar Muzakir, Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Moh. Yamin, Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abiskusno Cokrosuryo, dan AA. Maramis.  Ketentuan,”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,dalam Piagam Jakarta kembali memicu polemik.  Muncul kekhawatiran akan terjadi diskriminasi ketika negara hanya memberikan ketentuan yang mengatur satu kelompok saja di tengah keragaman. Selain itu, peran negara yang terlalu jauh dalam kehidupan keagamaan dapat menjurus terbentuknya teokrasi dan tirani mayoritas yang berdampak pada rapuhnya persatuan nasional.

Polemik berakhir dengan disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, dimana Piagam Jakarta ditetapkan sebagai Pembukaan UUD 1945 setelah klausul mengenai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.Perubahan itu menunjukan adanya sikap moderat dan akomodatif dari para pemimpin politik Islam sekaligus komitmen yang kuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan nasional.  Melalui musyawarah mufakat, para pendiri bangsa berhasil mengatasi perbedaan pandangan dan sikap mengenai hal yang  fundamental serta mencapai konsensus nasional yang bersifat final tentang Dasar Negara.

Teruji Sejarah

Pancasila telah menjadi bagian dari pasang surut sejarah politik bangsa.  Politik aliran erademokrasi parlementermembawa bangsa ini dalam kontestasi ideologis yang penuh instabilitas politik disertai dengan munculnya pemberontakan daerah.  Langkah Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi momentum dimana Pancasila diteguhkan kembali sebagai Dasar Negara.  Tantangan kembali muncul ketika PKI dengan komunisme yang anti Pancasila mulai memperluas pengaruh, memanfaatkan arah politik luar negeri Indonesia dalam suasana revolusioner menentang kembalinya nekolim. Puncaknya adalah meletusnya G30S/PKI 1965, suatu upaya perebutan kekuasaan secara tidak sah, sekaligus subversi ideologis terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara.  Meski demikian, perjuangan dan kebulatan tekad dari seluruh kekuatan politik bangsa berhasil membendung upaya subversi ideologis tersebut dan menegakan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Munculnya Orde Baru pasca krisis 1965 disertai dengan jargonkembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.  Agenda politik diarahkan untuk mengkoreksi sistem politik yang diwarnai dengan politik aliran dan multipartai liberal yang selama ini dianggap sebagai biang dari instabilitas politik dan perpecahan yang menghambat jalannya pembangunan nasional.  Pancasila kemudian menjadi kerangka legitimasi bagi agenda restrukturisasi dan konsolidasi politik Orde Baru, bersanding dengan konsepsi tentang pembangunan nasional yang mensyaratkan terciptanya tertib sosial dan politik.Suprastruktur politik berhasil dijinakan dengan penyederhanaan kepartaian dan deparpolisasi birokrasi.  Politik aliran dibatasi dalam frame penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal yang harus diadopsi oleh seluruh kekuatan politik.  Sementara itu, penataan infrastruktur politik dimanifestasikan dalam konsepsi masyarakat Pancasilais melalui doktrinasi seperangkat nilai yang mengatur moralitas publik melalui berbagai instrumen yang dikendalikan negara.

Kekuasaan Orde Baru yang semakin mapan membuat karakter kekuasaan menjadi phobia terhadap kritik dan kebebasan.  Alih-alih melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, penguasa Orde Baru justru larut dalam upaya memupuk kekuasaan hegemonik.  Kebebasan dibatasi, kritik mendapat represi.  Pancasila dimanipulasi menjadi alat kekuasaan guna membungkam lawan-lawan politik, sekaligus menciptakan kepatuhan masyarakat terhadap penguasa.  Pancasila jauh dari pengalaman yang emansipatif yang seharusnya menjadi pedoman bersama dalam perilaku dan moralitas penyelenggara negara maupun masyarakat.  Pancasila terpasung dalam formalitas dan teralienasi dari praktek penyelenggaraan hidup berbangsa dan bernegara dalam makna yang sesungguhnya sebagaimana dimaksud oleh para pendiri republik.

Model transformasi Pancasila ala Orde Baru ini dapat dijelaskan dengan meminjam gagasan Louis Althusser (1969) mengenai Idelogical State Apparatus (ISA) dan Represif State Apparatus (RSA).  Pancasila ditransformasikan sebagai seperangkat nilai resmi yang dimaksudkan untuk mengatur moralitas publik melalui institusi-institusi negara (ISA) dan aparat represif negara (RSA) akan bekerja memastikan tercipta kepatuhan.Celakanya, kepatuhan itu kemudian diinterpretasikan secara sewenang-wenang sebagai totalitas penerimaan atas segala praktek kekuasaan.  Bagi mereka yang kritis, represifitas menjadi ancaman yang senantiasa mengintai.Masyarakat tidak memiliki ruang untuk menilai dan mengevaluasi kekuasaan dengan seperangkat nilai yang telah ditanamkan negara.

Semangat antipati terhadap Orde Baru kemudian tersemai dan menemukan momentum ketika reformasi.  Celakanya, hal itu juga menjadi ajang untuk mengkambinghitamkan Pancasila atas perilaku Orde Baru.Kebebasan dimanfaatkan untuk meredusir dan mendiskreditkan Pancasila, bahkan secara terbuka hendak mengganti Pancasila dengan paham lain,baik melalui cara-cara kekerasan maupun penetrasi terhadap sistem politik.Pancasila memang telah teruji oleh sejarah dan menunjukan kemampuan survival serta pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara formal maupun faktual.  Kondisi ini tidak statis, Pancasila akan senantiasa berdialektika dengan zaman, berkompetisi dengan sistem nilai lain, termasuk ideologi laten terpendam maupun yang muncul bersamaan dengan demokratisasi.  Hal ini harus disadari oleh para pemimpin politik dan seluruh warga negara guna kepentingan bangsa dan negara.

Ancaman Dewasa Ini

Demokratisasi selain membuka kran keterbukaan dan kebebasan, tetapi juga menghadirkan kompleksitas tantangan sekaligus peluang, baik yang muncul karena perkembangan domestik maupun karena interaksi global.Politik aliran yang berhasil ditekan semasa Orde Baru kini memiliki ruang untuk diartikulasikan, termasuk ideologi-ideologi ekstrim dan radikal baik dalam spektrum kiri maupun kanan.Komunisme, fundamentalisme dan liberalisme tidak lagi bisa dilihat sebagai potensi laten saja, tetapi terbuka peluang besar untuk manifest dan mengancam eksistensi Pancasila.

Secara faktual, maraknya terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan massa akibat cara pandang eksklusif dan intoleran menunjukan bahwa musuh-musuh ideologis Pancasila telah manifes dan menjadi ancaman nyata.  Mereka berupaya memanfaatkan kebebasan sebagai celah untuk memecahbelah masyarakat dan menyusupkan ajarannya yang radikal.  Kelompok ini menggunakan berbagai cara dan sarana, termasuk instrumen kekerasan untuk mengembangkan ajarannya sekaligus merongrong Pancasila sebagai benteng ideologi negara.

Begitupula dengan derasnya penetrasi liberalisme-kapitalisme yang berupaya memperlemah peran negara, terutama menyangkut aspek strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.  Subversi liberalisme-kapitalisme terhadap Pancasila ini membonceng isu demokratisasi dan reformasi politik di Indonesia.  Situasi tersebut sejalan dengan tesis Anthony Down (1957) dimana demokratisasi dengan kebebasan yang ekstrim akan memperlemah negara dan menjadi peluang bagi munculnya kapitalisme pasar.  Pancasila dianggap sebagai sandungan agenda eksploitasi sumber daya strategis Indonesia yang selama ini dikelola oleh negara melalui kekuasaan pemerintahan.Pancasila bagi mereka harus diisolasi dari praktek kekuasaan dan ruang agenda publik.

Penetrasi liberalisme-kapitalisme dalam sistem politik tidak hanya memecahbelah persatuan politik,tetapi juga menyebabkankomodifikasi proses politik sehingga berbiaya tinggi danmemicu terjadinya perburuan rente secara masif dan korupsi.Dampaknya adalah terpinggirnya hak rakyat untuk menikmati kue pembangunan yang berkeadilan.  Para politisi berlomba untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi dari kursi kekuasaan yang didudukinya.  Pancasila dijadikan jargon-jargon kampanye, namun sepi dari realisasinya.  Karenanya, korupsi adalahsalah satu ancaman nyata negara saat ini.

Kembali Ke Pancasila

Tidak ada satu negara kuat dan maju di dunia yang tidak memiliki dan secara konsisten menerapkannya nilai-nilai unggul yang diyakininya.  Nilai-nilai unggul ini menjadi dasar untuk mengelola negara mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.  Pancasila karenanya harus kita yakini sebagai suatu excellent value (nilai unggulan) yang disarikan dan merepresentasikan semua sistem nilai luhur yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.  Diterima dan disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara menjadi kontrak sosial di antara warga negara yang diwakili oleh para pemimpin politiknya untuk membangun suatu tata kehidupan berbangsa dan bernegara dimana dalam segala sendi-sendinya terikat dan merujuk pada suatu sistem nilai bersama yang disebut dengan Pancasila.

Meminjam pendapat Hans Kelsen (1934) dalam Pure Theory of Law, Pancasila sebagai Dasar Negara dapat disebut sebagai grundnorm (norma dasar) yang mengawali pembentukan hierarki norma, dimana setiap norma saling terkait satu sama lain, dan norma terendah selalu merujuk pada norma di atasnya.  Konsekuensi sebagai grundnormmenempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala norma yang menjadi dasar kesadaran, sikap tindakan dan orientasi bagi negara dan unsur-unsur di dalamnya.Karena itu, Pancasila sebagai Dasar Negara tidak bisa disamakan kedudukannya dengan sistem nilai lainnya.  Hal ini mengkoreksi salah kaprah pemaknaan Pancasila sebagai pilar bangsa yang disandingkan setara dengan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.  Baik UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika maupun NKRI merupakan refleksi dari Pancasila itu sendiri. 

Para Founding Fathers telah mewariskan Pancasila sebagai Dasar Negara yang diyakini terbaik dan mampu menjawab berbagai tantangan zaman.  Persoalan kemudian justru pada bagaimana kita meletakan Pancasila dalam konteks penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Kita tidak hendak menjadikan Pancasila sebagai sekedar jinggoisme, formalistik, atau bahkan alat kepentingan kekuasaan.  Pancasila karenanya harus diletakan pada hakikatnya sebagai Dasar Negara yang mengatur moralitas dan perilaku kekuasaan negara sekaligus sumber etika sosial dalam interaksi antar warga negara.

Pancasila sebagai Dasar Negara memberikan landasan falsafah hidup berbangsa dan bernegara (filosofische grondslaagh), yang dipedomani sebagai moral etis warga negara dalam interaksi sosial di tengah multikulturalisme dan kompleksitasnya.  Melalui internalisasi Pancasila maka warga negara akan memiliki kesadaran atas nilai yang menjadi dasar kemampuan pengembangan sikap toleran, inklusif, kekeluargaan, gotong royong dan persatuan.  Karena itu, transformasi Pancasila sebagai landasan moral dan etik warga negara perlu dibangun melalui pengalaman bersama yang bersifat emansipatif antara warga negara dan para pelaku kekuasaan negara.  Nilai-nilai Pancasila dihadirkan dalam interaksi sosial dan menjadi rujukan bagi penyelesaian problematika kebangsaanhorizontal maupun vertikal.

Pancasila juga merupakan pokok kaidah negara yang fundamental (staat fundamental norm), mengatur dan menjadi rujukan bagaimana alat-alat kekuasaan negara berperilaku dalam menjalankan tugas dan fungsinya, menjadi sumber bagi pembangunan norma dan pranata negara.  Persoalan realisasi Pancasila bukan pada ketidakunggulan nilai-nilainya terhadap sistem nilai yang lain, tetapi lebih pada sepinya Pancasila dari dukungan politik yang nyata.  Pancasila tanpa dukungan yang kuat dari seluruh komponen bangsa niscaya akan menjadi sekedar mitos dan fosil sejarah tanpa makna.  Kembali ke Pancasila adalah upaya memperkuat dukungan terhadap Pancasila untuk mengintegrasikan kedudukan dan fungsinya sebagai Dasar Negara baik dalam konteks infrastruktur politik maupun suprastruktur politik negara, dasar moralitas publik sekaligus moral dan karakter kekuasaan para penyelenggara negara, serta pedoman bersama dalam menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara.Hanya dengan Pancasila-lah maka negara ini dapat mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.***

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…