INVESTASI BERGESER KE PADAT MODAL - Produktivitas Buruh Rendah

 

Jakarta – Di tengah kondisi ketimpangan pendapatan yang sangat tinggi, tren investasi sekarang mulai bergeser dari padat karya ke padat modal dan teknologi. Ini sebagai dampak masih rendahnya tingkat produktivitas buruh Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya.

NERACA

Apabila tren investasi seperti itu berlanjut, apakah target setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400.000 tenaga kerja, bisa tercapai atau tidak? Lantas bagaimana meningkatkan produktivitas buruh, mengingat biaya buruh per unit barang di Indonesia saat ini paling mahal kedua setelah Filipina dan Vietnam?

Di sisi lain, rendahnya produktivitas buruh yang memprihatinkan itu juga berdampak pada prubahan tren investasi langsung yang mulai bergeser dari padat karya ke padat modal dan teknologi. Data BKPM kuartal I-2014, realisasi investasi langsung mencapai Rp 106,6 triliun dengan menyerap 260.156 tenaga kerja, lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2013 yang tercatat investasi Rp 93 triliun dengan jumlah tenaga kerja 361.924 orang.

Menurut Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Pemberdayaan Tenaga Kerja Frans Go, masalah paling krusial yang dihadapi Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang adalah masalah ketenagakerjaan. Dia mengingatkan, jumlah penduduk Indonesia sejak 10 tahun terakhir terus meningkat tanpa terhambat program keluarga berencana. Namun, jumlah penyerapan tenaga kerja di dalam negeri tidak berkembang, malah cenderung menurun.

 "Saat ini investasi telah bergeser dari padat karya menuju ke padat modal dan padat teknologi. Jika investasi dengan pola ini terus berlanjut, maka target menciptakan setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400.000 tenaga kerja tidak akan tercapai," tegas Frans kepada Neraca di Jakarta, akhir pekan lalu.

Frans mengatakan jika dilihat dari aspek ketenagakerjaan, mutu investasi di Indonesia cenderung menurun. Selama struktur perekonomian Indonesia belum berubah dari pola ekspor komoditas sumber daya alam, maka kita akan menghadapi bencana pengangguran yang serius. 

Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mendatang, lanjut dia, Indonesia tak perlu berandai-andai tentang sumber daya manusia. Angkatan kerja di Indonesia hampir 50% hanya lulusan sekolah dasar. 

"Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita dapat mengemas sumber daya manusia yang jumlahnya sedikit tapi memiliki keunggulan dan produktivitas tinggi," jelasnya.

Namun yang terjadi dewasa ini, Kadin menilai pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia masih sangat rendah dan dihadapkan pada ironi yang menyisakan beberapa pertanyaan, di posisi mana terjadi kesalahan atau ketidaksempurnaan, apakah pada tataran individu/pelaku tenaga kerja, pada kelembagaannya, pada perantara atau justru pada regulasi yang menyertai.

“Yang pasti kondisi ini mengharuskan kita untuk mencari suatu pemecahan yang tidak lagi bersifat normatif tetapi ke arah terobosan (breathrough) agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak justru menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan,” kata  Frans .

Rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yang masih mencapai 52 juta orang atau 46,95%. Dan, masih tingginya tingkat pengangguran. 

Frans juga menyebutkan, masalah lain yang terjadi pada sektor ketenagakerjaan antara lain kenaikan upah yang signifikan dalam konteks UMP, isu pekerjaan yang bersifat outsourcing hingga isu pengangguran.

Menurut data BPS, rata2 upah minimum provinsi (UMP) pada 2013 Rp 1,33 juta atau naik 18% dari 2012 Rp 1,12 juta. Namun para buruh memandang msh blm sejahtera, karena kenaikan upah tak sebanding dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ketimpangan penapatan juga masih sangat tinggi yg diindikasikan dengan naiknya Rasio Gini dari 0,39 (2012) menjadi 0,41 (2013). 


Daya Saing Stagnan

 Pengamat ekonomi  UGM Mudrajad Kuncoro menilai, selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh sektor konsumsi rumah tangga dibandingkan investasi. Pasalnya sektor konsumsi rata-rata menyumbang 55-57% terhadap pertumbuhan ekonomi sementara sektor investasi hanya menyumbang 33%.

“Hal ini yang membuat ekonomi Indonesia bertahan dari krisis. Padahal secara teori makro ekonomi, pertumbuhan yang baik ditopang oleh investasi dan ekspor yang kuat,” ujarnya.

Dia juga mengakui, ketimpangan pendapatan (gini ratio) terus mengalami peningkatan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya yaitu 0,37, 0,38 dan 0,41 berturut-turut dari tahun 2009-2013. “Ketimpangan ini semakin lama semakin meningkat. Sementara untuk penyerapan tenaga kerja belum terlihat andilnya jika dikatakan dalam setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan menyerap tenaga kerja 400 ribu orang. Itu karena pertumbuhan Indonesia ditopang oleh konsumsi bukan investasi atau ekspor,” jelasnya.

Terkait dengan produktivitas buruh, sudah sewajarnya para buruh untuk meningkatkan produktivitasnya dalam menghasilkan produk yang lebih bermutu. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas buruh adalah dengan memberikannya pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dari para pekerja. “Di satu sisi kenaikan upah juga harus berbanding lurus dengan produktivitas. Di sisi lain, pemerintah perlu memaksimalkan balai-balai pelatihan kerja,” ujarnya.

Dia merasa khawatir jika produktivitas buruh tidak naik maka daya saing produk juga akan mengalami stagnasi. Akibatnya produk-produk dari Indonesia kalah bersaing dengan produk impor. “Ini semua berkolerasi. Dan nantinya Indonesia akan digempur oleh produk-produk impor dan neraca perdagangan akan defisit dan itu akan mengancam pertumbuhan ekonomi,” tutur dia.

Pengamat ketenagakerjaan LIPI Nawawi Asmat mengatakan, minimnya penyerapan tenaga kerja nasional karena memang  walau pertumbuhan ekonomi bagus,  tapi tidak berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat, dimana equality sangat tinggi tapi gini ratio semakin lebar. “Ekonomi relatif bagus, tapi tidak berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan para pekerjanya,” ujarnya.

Karena Indonesia sebagai negara berkembang, isu ketenagakerjaan memang kuat, mengingat secara umum perusahaan belum kuat dan stabil, apalagi perusahaan lokal sehingga jika diterpa isu seperti kenaikan upah menjadi goyah. Berbeda dengan negara maju, perusahaan yang ada sudah kuat sehingga jika terjadi isu seperti adanya kenaikan upah tidak terlalu berdampak.  

“Perusahaan yang ada di Indonesia masih didominasi asing, dan perusahaan lokal masih kurang bisa bersaing. Tapi mereka dituntun untuk bisa penyerapan tenaga kerja yang fleksibel, sedangkan cost produksi industri nasional masih sangat tinggi, sehingga penyerapannya rendah. Bahkan jika dihadapkan pada masalah besar internal perusahaan banyak pengurangan tenaga kerja besar-besaran.  Ini lah yang menjadi masalah selama ini pada industri dan penyerapan tenaga kerja nasional,” imbuhnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menilai pemerintah memang kurang memperhatikan isu investasi dan kesejahteraan untuk mendukung perekonomian. Terkait dua isu penting tersebut, dia berharap partai politik yang sedang bertarung dalam pemilihan umum (Pemilu) ini dapat mempunyai komitmen dan dapat menciptakan kesejahteraan bagi buruh dan terlebih masyarakat Indonesia.

"Saat ini pertumbuhan ekonomi diprediksi di kisaran 5,7-5,9%, masih bisa di dongkrak ke angka diatas 6% asalkan para partai politik tersebut dalam kampanyenya bisa meyakinkan para investor untuk menanamkan investasinya. Pasalnya, Indonesia tetap aman walau sedang ada pemilu, dan pada saat bersamaan parpol pun harus meyakinkan rakyat khususnya kaum buruh bahwa investasi yang masuk ke Indonesia akan berorientasi pada kesejahteraan dan tetap menegakkan kedaulatan bangsa," kata dia.

Dia pun menjelaskan pemerintahan baru nanti juga harus berkomitmen dalam menyuarakan pembangunan infrastruktur, keringanan pajak dan biaya bea cukai, efisiensi waktu perizinan, serta produktivitas pekerja. Waktu kampanye partai politik dinilai menjadi waktu yang tepat bagi parpol untuk meningkatkan nilai investasi dengan memberikan janji dan keyakinan kepada investor, dan secara bersamaan tetap mendukung kesejahteraan buruh.

“Tentu KSPI secara aktif akan menginstruksikan agar para buruh memilih parpol dan capres yang sungguh mau mewujudkan hal tersebut di atas bukan sekedar janji gombal saja,” tutur Said.

Untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, dia mengungkapkan bahwa perlunya kesetaraan dan keadilan dalam jumlah upah minimum para buruh ini. Bahkan, upah minimum di Indonesia jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand. agus/bari/mohar/iwan 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…