Pemerintah Diminta Tata Ulang Perdagangan Timah

NERACA

Jakarta – Diduga adanya praktik oligopoli, pemerintah diminta untuk menata ulang pengelolaan timah di Indonesia. Hal tersebut seperti diungkapkan Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yudi Wahyudin. “Saya khawatir kepentingan negara terabaikan,” kata Yudi di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Yudi mengatakan keberadaan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) untuk mengatur tata kelola timah yang berpotensi menimbulkan praktik oligopoli. Yudi menuturkan BKDI juga berpeluang merugikan pemerintah karena dapat kehilangan pendapatan nasional bukan pajak pada sektor pertambangan timah.

Menurut dia, BKDI terdiri dari beberapa perusahaan yang lebih mengutamakan kepentingan anggota itu sehingga keuntungan dari jual beli timah menjadi milik perusahaan tersebut. “Khususnya ketika terjadi sengketa kebijakan perdagangan timah,” ungkap Yudi.

Dosen IPB itu menambahkan volume ekspor pendapatan negara dari perdagangan timah mencapai US$2,8 miliar dengan potensi penerimaan pajak sekitar US$280 juta. “Pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan pajak dari perdagangan ilegal ini mencapai US$105 juta," ungkap Yudi.

Berdasarkan penelitian, Indonesia menguasai 40% pangsa pasar timah di kawasan Asia Tenggara padahal Indonesia berpredikat sebagai produsen. Berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang berstatus bukan produsen timah mampu menguasai 30% pangsa pasar di Asia Tenggara.

Saat ini, harga timah mengalami kenaikan 20% atau dari 19.000 dolar AS menjadi US$23.000 per metrikton sejak didirikan BKDI. Namun Yudi menyebutkan keuntungan tersebut hanya dirasakan sejumlah perusahaan yang menjadi anggota BKDI. Yudi memberikan solusi jika pemerintah tidak menata ulang pengelola timah maka bisa mendirikan BKDI tandingan.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Theo Yusuf menegaskan pemerintah yang hanya membentuk BKDI cenderung terjadi penyalahgunaan kewenangan. Theo mendorong pembentukan BKDI yang dikelola pemerintah dan swasta agar terjadi persaingan usaha yang adil.

Ekspor Ilegal

Bahkan berdasarkan penelitian dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp4,171 triliun dari periode 2004-2013 akibat ekpor timah yang dilakukan secara ilegal. Dalam penelitiannya, ICW juga menyatakan bahwa volume ekspor timah ilegal pada periode 2004-2013 mencapai 301.800 Metrik Ton (MT) atau setara dengan nilai penjualan yang mencapai US$4,368 miliar atau Rp50,121 triliun.

Peneliti ICW Firdaus Ilyas mengungkapkan bahwa awal ditemukannya timah ilegal karena data yang dicatat oleh pemerintah berbeda dengan data dari negara pengimpor timah Indonesia. Misalnya untuk timah tidak ditempa dengan kode HS 8001, berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor timah tidak ditempa pada 2004-2013 mencapai 1.009.037 MT. Sementara data dari negara pembeli atau importir, impor timah tidak ditempa mencapai 1.240.307 MT. Artinya ada selisih sekitar 231.270 MT.

Sementara untuk timah batang, profil dan kawat. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan BPS menyebutkan ekspor pada periode 2003-2013 mencapai 20.509 MT. Sementara berdasarkan data negara pembeli timah batang, profil dan kawat dari Indonesia periode 2004-2013 sebanyak 91.039 MT. Artinya ada selisih ekspor timah batang, profil dan kawat yang mencapai 70.530 MT.

“Secara total, data Kemendag dan BPS menyebutkan ekspor timah pada 2004-2013 mencapai 1.029.546 MT. Sementara data negara pengimpor mencapai 1.331.346 MT. Artinya ada selisih 301.800 MT. Selisih tersebut yang diduga kuat adalah ekspor yang dilakukan secara ilegal oleh oknum-oknum tertentu,” ungkap Firdaus.

Jika secara umum harga jual timah mengalami kenaikan setiap tahunnya yaitu US$7.059 per ton pada 2004 menjadi US$22.159 per ton pada 2013, sambung dia, maka jika dikalikan dengan ekspor timah yang dilakukan secar ilegal maka akan ditemukan nilai penjualan mencapai US$4,368 miliar atau mencapai Rp50,121 triliun.

Awal dugaan adanya ekspor timah, kata Firdaus, karena ditemukannya sebanyak 134 kontainer yang didalamnya lebih banyak berisikan timah dengan nilai mencapai Rp880 miliar. “Pada 8 Maret 2014, TNI Angkatan Laut telah berhasil menggagalkan ekspor timah ilegal sebanyak 134 kontainer dengan tujuan Singapura. Ini sudah kesekian kalinya penegak hukum berhasil menggagalkan ekspor timah ilegal, akan tetapi ini masih terus berjalan tanpa adanya pembenahan dari pemerintah,” jelasnya.

Firdaus mengungkapkan ada beberapa negara yang mendapatkan atau penampung timah secara ilegal dari Indonesia. Terbanyak adalah Thailand dengan total 109.756 MT, Jepang 99.250 MT, Taiwan sebesar 65.000 MT, Malaysia sebesar 65.000 MT, Korsel 48.000 MT, Jerman 39.000 MT, Amerikan Serikat 30.000 MT, dan Italia 15.000 MT.

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…