APBN-P, Bukan Sekadar Subsidi

Mohammad Reza Hafiz Akbar - Peneliti Indef

Sudah menjadi rutinitas bahwa setiap menjelang akhir kuartal kedua, pembahasan mengenai APBN-P dilaksanakan. Penyebabnya selalu klasik, yakni asumsi makroekonomi yang ditetapkan pemerintah bersama DPR meleset. Asumsi makro APBN 2014 mematok angka pertumbuhan sebesar 6 persen, namun pada kuartal I 2014 ekonomi hanya tumbuh 5,21 persen. Begitu juga dengan inflasi yang sudah mencapai 7,65 persen pada kuartal I 2014, di mana asumsi pemerintah inflasi hanya berkisar 5,5 persen pada akhir 2014. Melihat kondisi tersebut sulit rasanya mencapai target sesuai dengan harapan pemerintah yang tercermin dari asumsi makroekonomi dalam APBN.

Sungguh pun begitu, pada dasarnya asumsi yang paling membuat pemerintah pusing dan selalu menjadi fokus bahasan utama APBN-P adalah kondisi harga minyak dunia yang cenderung meningkat dan lifting minyak yang selalu tidak mencapai target. Hal itu menyebabkan anggaran subsidi energi yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 282,1 triliun rupiah dipastikan akan kembali “jebol”. Padahal selama lima tahun terakhir subsidi rata-rata telah menyedot 30 persen porsi anggaran belanja pemerintah. Artinya, beban subsidi (terutama energi) semakin berat dan menggerogoti anggaran. Meski begitu, tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah yang semakin lama ditunda malah “menusuk” pemerintah sendiri.

Masih banyak permasalahan yang seharusnya menjadi fokus pemerintah dalam penyusunan APBN-P, ketimbang hanya untuk mengurusi subsidi yang nyatanya tidak tepat sasaran. Setidaknya ada dua masalah mendasar dalam dalam postur anggaran belanja yang harus menjadi perhatian. Pertama, efisiensi belanja pegawai. Porsi belanja pegawai merupakan penyedot anggaran belanja terbesar kedua setelah subsidi. Setidaknya 20 persen anggaran selama 2009-2013 dihabiskan untuk belanja pegawai. Membengkaknya porsi belanja pegawai ini tentu berdampak pada pengurangan ruang fiskal atau belanja yang tidak mengikat. Selain itu, yang semakin membuat “sakit hati” adalah alokasi dana pensiun pada APBN 2014 sebesar 90,5 triliun atau 34,4 persen dari total belanja pegawai. Jumlah ini meningkat sebesar 11,5 triliun atau 14,6 persen dari APBNP 2013. Bandingkan dengan anggaran subsidi pangan yang hanya sebesar 18,8 triliun untuk pengentasan kemiskinan, nilainya tidak sampai seperempat dana pensiun yang notabene terus mengalir bagi bekas pejabat negara.

Kedua, optimalisasi belanja modal. Belanja modal selalu menjadi anak tiri bila dihadapkan dengan subsidi dan belanja pegawai. Porsi belanja modal selama lima tahun terakhir hanya sebesar 15 persen dari total anggaran. Tidak cukup disitu, realisasi belanja modal juga selalu rendah. Pada kuartal pertama 2014 saja, realisasi belanja modal hanya 4,3 persen, terendah diantara tahun-tahun sebelumnya 6,8 persen (2012) dan 5,6 persen (2013). Padahal sejatinya, belanja modal merupakan senjata ampuh untuk membangun infrastruktur yang pada akhirnya berkontribusi untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, wajar saja apabila kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap PDB di Kuartal I 2014 merosot tajam sebesar 5,69 persen (terendah selama sepuluh tahun terakhir)

Menanggapi kedua masalah tersebut, sudah sepatutnya konsentrasi pemerintah dan DPR jangan berpaku pada masalah subsidi saja. Efisiensi belanja pegawai dan optimalisasi belanja modal perlu menjadi acuan dalam pembahasan APBN-P 2014. Meski terkesan sulit, namun harus ada usaha dari pemerintahan SBY yang dalam hitungan bulan ini akan lengser untuk mewariskan tatanan APBN yang sehat bagi pemerintahan mendatang. Semoga.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…