PERBANKAN RI TERBELIT SUKU BUNGA TINGGI - NIM Tinggi Cermin Belum Efisien

Jakarta – Perolehan laba dan net interest margin (NIM) tinggi yang dihasilkan oleh sejumlah bank besar ternyata mencerminkan kondisi perbankan Indonesia hingga sekarang belum efisien dibandingkan dengan perbankan di negara ASEAN lainnya. Perbankan Indonesia gagal menjadi motor pembangunan di negerinya sendiri, ini terbukti dari kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah.

NERACA

Seperti publik mengetahui, bahwa net interest margin perbankan di Indonesia sekarang merupakan yang tertinggi di ASEAN. NIM adalah keuntungan bank di dalam negeri yang tercermin dari marjin bunga bersih.

Per akhir 2013, menurut data Otoritas Jasa Keuangan, NIM perbankan Indonesia mencapai 4,89%, disusul Filipina yang mencapai 3,3%, Thailand sebesar 2,6%, Malaysia 2,3%, dan Singapura 1,5%.  Jelas, ini menggambarkan perbankan RI menerapkan praktik bunga tinggi untuk meraih marjin laba yg signifikan di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yg melambat.

Data laporan keuangan publikasi bank-bank per triwulan I-2014 menunjukkan pertumbuhan laba yang meningkat rata-rata 15%-20% dibandingkan periode yang sama 2013. BNI pada akhir Maret 2014 meraih laba Rp 2,39 triliun (naik 15%), BRI mencetak laba Rp 5,9 triliun (17%), BCA memperoleh Rp 3,7 triliun (26%) dan Bank Mandiri meraup keuntungan Rp 4,9 triliun (14,5%).

Dari data tersebut, menurut pengamat perbankan Lana Soelistianingsih, perolehan laba tinggi dengan menghasilkan NIM yang tinggi itu mencerminkan bank selama ini beroperasi dengan suku bunga kredit yang terlampau tinggi, namun mencerminkan rendahnya efisiensi perbankan.

Padahal, pada 2020, industri perbankan Indonesia akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kondisi pasar bebas ASEAN di mana para debitur bisa leluasa memilih kreditur dari perbankan mana saja.

“Perbankan haruslah mulai meningkatkan efisiensi guna menghadapi persaingan global dengan perbankan di negara kawasan ASEAN yang telah memiliki efektivitas terstruktur dan rendahnya suku bunga kredit,” ujarnya kepada Neraca, Sabtu (3./5).

Menurut Lana memang tampaknya masih cukup sulit menerapkan efektvitas perbankan di Indonesia. “Dua kendala utama penyebab tingginya cost overhead adalah infrastruktur dan mahalnya biaya sumber daya manusia,” katanya.

Ini menunjukkan perbankan nasional yang seharusnya menjadi motor pembangunan  di negeri  sendiri, ternyata hanya bekerja untuk dirinya sendiri, dan terbukti kontribusi perbankan RI terhadap PDB masih sangat rendah sekali ketimbang negara ASEAN lainnya. Menurut data BI, kontribusi perbankan nasional terhadap PDB baru di kiasaran 20%-30%, sedangkan perbankan di negara ASEAN lainnya sudah rata-rata di atas 50% terhadap kontribusi PDB di negaranya.

OJK juga mencatat data suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan pada kuartal I-2014, mengalami kenaikan 5 basis poin (bps) ke level 10,43% untuk kredit korporasi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kredit konsumsi seperti juga naik 8 bps menjadi 8,75%. Sedangkan kredit ritel naik 12 bps ke angka 10,71%. Untuk kredit konsumsi non KPR meningkat 12 basis poin menjadi 9,55%. Serta kredit mikro yang juga naik 13 bps ke level 9,67%.

Biaya Operasional
Salah satu indikator efisiensi adalah rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), yang saat ini terbilang masih cukup tinggi. “Trennya sedikit menurun dari kisaran 80% lebih ke kisaran 70%, tetapi harusnya bisa ditekan lagi,” ujar Lana.

Lebih lanjut Lana mengatakan apabila melihat industri perbankan di negara ASEAN, rasio BOPO nya sudah berada pada kisaran 20-30%. Artinya, perbankan di Indonesia masih tidak efisien, yang akhirnya selalu dibebankan menjadi bunga kredit.

Aksi sejumlah bank memberikan hadiah juga kerap dilakukan melalui berbagai program seperti cash back membuat biaya operasional bank naik dan akhirnya dibebankan dengan menaikkan suku bunga kredit. “Ke depan, perlu kajian mengenai batasan cash back ataupun hadiah kepada nasabah,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat perbankan Ryan Kiryanto. suku bunga kredit naik merupakan konsekuensi karena likuditas pasar keuangan yang semakin ketat. Untuk itu, berbagai cara dilakukan perbankan demi menjaga likuiditas, mulai dari menaikkan suku bunga deposito guna menarik dana masyarakat, hingga menaikkan suku bunga kredit guna menjaga profitabilitas.

Untuk itu, Ryan berharap sebagai lembaga baru pengawas industri jasa keuangan di dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak untuk memiliki roadmap khusus untuk sektor perbankan untuk menghadapi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

"OJK harus mencantumkan aksi ke depannya mau ngapain, bentuk roadmap, harus disiapakan mulai dari sekarang. Kan enam tahun lagi MEA untuk perbankan, waktunya cepat itu," jelasnya.

Menurut Ryan, pembuatan roadmap ini bisa berbentuk arah yang lebih jelas dalam hal konsolidasi perbankan dalam negeri. Ryan menambahkan, konsolidasi bisa secara natural maupun kebutuhan pasar untuk membesarkan bank.

"Konsolidasi bisa dalam jalur merger maupun akuisisi. Itu keputusan finalnya antara pemegang saham. Konsolidasi sebuah keharusan karena size perbankan Indonesia masih akan kalah dengan perbankan di negara Singapura, Malaysia dan Thailand," kata Ryan.

Ryan mengatakan, bank-bank di Indonesia harus melihat dirinya terutama bank yang skalanya menengah dan kecil. "Apa mau terlibas atau dibesarkan. Untuk nambah modal banyak caranya, konsolidasi bisa, sehingga bank-bank kita sudah siap hadapi persaingan," ucapnya.

Peneliti perbankan Indef Eko Listiyanto mengatakan upaya strategis yang dilakukan perbankan Indonesia untuk menurunkan rasio NIM, perbankan nasional dituntut meningkatkan efisiensi antara lain yaitu dengan menurunkan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) lebih rendah lagi. "Langkah yg perlu dilakukan adalah mengupayakan BOPO perbankan dapat turun, sehingga bank lebih efisien," kata dia.

Namun secara keseluruhan, sambung Eko jika dilihat bahwa kendala efisiensi adalah luasnya wilayah dan minimnya infrastruktur Indonesia yang masih buruk mengakibatkan tingginya operasional perbankan. Dimana mengingat sebagian besar operasi perbankan masih terpusat di Jawa dimana infrastruktur relatif sudah lebih baik dibanding luar jawa. Jadi masih ada ruang untuk melakukan efisiensi.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan industri perbankan Indonesia hingga kini masih menikmati NIM yang tebal, rata-rata di atas 5%. Bahkan, ada bank yang memiliki banyak portofolio UMKM yang besar, NIM-nya sangat tebal di atas 10%. Semakin tinggi NIM, semakin besar bank memperoleh pendapatan dari pos suku bunga. 

"Upaya menurunkan NIM mulai dijalankan bank-bank, tetapi lambat sekali. Kini, ketika perekonomian sedang tertekan, bank-bank pun mulai berangsur menurunkan NIM-nya. Kerelaan menurunkan NIM, tetapi disertai dengan mendorong pendapatan lain-lain (non interest income), dan efisiensi, menyebabkan bank-bank tetap dapat mendorong kenaikan laba," ujarnya.

Menurut dia, perbankan Indonesia harus mampu bersaing di kawasan Asia Tenggara, seperti melakukan ekspansi ke luar negeri sehingga mempunyai daya saing yang tinggi terhadap negara lain. Namun, yang menjadi halangan bagi perbankan Indonesia dalam melakukan ekspansi dimana longgarnya kebijakan Bank Indonesia (BI) terhadap operasional perbankan asing di tanah air terus dikeluhkan bank-bank pelat merah. 

"Perlakuan istimewa yang diterima bank asing ini justru berbanding terbalik dengan aturan yang diterima perbankan nasional ketika menggelar ekspansi ke luar negeri sehingga bisa menghambat daya saing perbankan kita," ungkap Harry.

Dia mengungkapkan perbankan sebagai salah satu pilar perekonomian harus mengambil langkah lebih strategis lagi. Perbankan nasional bukan hanya sebagai institusi pemungut rente atau keuntungan, melainkan harus bisa menjalankan fungsi intermediasi yang menjalankan bisnisnya secara efisien. Apalagi dalam meningkatkan investasi, terutama investasi domestik, tidak terlepas dari peran perbankan sebagai salah satu aktor pendorong pembangunan. agus/iwan/mohar


BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…