Peran Investasi Merosot - RAWAN, KONSUMSI PENOPANG PERTUMBUHAN

 

Jakarta – Meski realisasi investasi kuartal I-2014 mencapai Rp 106,6 triliun atau naik 14,6% dari periode sama 2013, ternyata mutu investasi berbanding terbalik. Artinya, realisasi investasi terlihat naik secara nominal, namun penyerapan tenaga kerjanya justru menurun. Untuk itu perlu perubahan mindset untuk menarik investor di sektor tradable yang lebih berkualitas.

NERACA

Menurut data BKPM terbaru, total realisasi realisasi investasi (PMA dan PMDN) hingga kuartal I-2014 mencapai Rp 106,6 triliun. Diantaranya khusus PMDN tercatat Rp 34,6 triliun yang ternyata menyerap tenaga kerja 67.697 orang. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama 2013 yang mencapai Rp 27,5 triliun mampu menyerap tenaga kerja 148.521 orang. Pada kuartal I-2012 realisasi investasi Rp 19,7 triliun juga mampu menyerap 107.674 tenaga kerja.

Jelas, dari data tersebut menggambarkan peran investasi di dalam negeri kian menurun dalam 3 tahun terakhir. Ini menunjukkan investasi sebagai motor pertumbuhan ekonomi kian melemah. Apalagi menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2014 masih sangat tergantung pada konsumsi masyarakat sekitar 55%. Sementara kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini tidak lebih 26%, lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sekitar 32,15%.

Guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Prof Dr Ahmad Erani Yustika mengatakan, tidak produktifnya investasi yang masuk di Indonesia karena lebih banyak untuk padat modal, kalau pun untuk investasi untuk sektor-sektor tertentu saja seperti yang lagi booming saat ini pada sektor pertambangan yang memang secara penyerapan tenaga kerja sedikit.

Karena itu, harusnya pemerintah membuat desain maupun road map industri yang akan dibangun terutama untuk industri-industri yang penyerapan tenaga kerjanya besar, dari konsep desain itu ditawarkan investor jangan hanya menunggu dari investor. “Selama ini industri yang berjalan memang industri yang memang secara kalkulasi hitungan ada ditangan para investor jadi memang hanya sektor-sektor tertenu saja yang dianggap para investor menguntungkan, karena para investor juga bermain aman,” ujarnya kepada Neraca, Kamis (1/5)..

Menurut dia, blue print hillirisasi industri harus pemerintah yang membuatnya. Nanti akan terlihat sektor-sektor mana saja yang memang masih diperlukan, dan sektor mana saja memang sudah padat dan tidak lagi dibuka investasinya.

Menurut peneliti LPEM-UI Eugenia Marganugraha, fundamental dan pertumbuhan ekonomi yang berbasis dari konsumsi masyarakat sangat tidak bagus, karena rentan akan gejolak apabila kondisi pangan dalam negeri tidak kuat.

"Dibutuhkan political will dari pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekspor produk dalam negeri, bukan hanya mengandalkan konsumsi dalam negeri. Ini sangat sangat tidak bagus," ujarnya, Rabu (30/4).

Lebih lanjut Eugenia mengatakan sebaiknya pemerintah bisa menarik investasi ke sektor pangan dan padat karya. "Meningkatkan kepercayaan investor asing dengan memperbaiki iklim investasi, dalam upaya menarik lebih banyak investasi ke sektor pangan, padat karya dan infrastruktur, sebagai salah satu negara tujuan investasi asing di kawasan ASEAN yang kompetitif," ujarnya.

Namun, menurut Eugenia mengatakan Indonesia masih perlu mengatasi keprihatinan mereka, seperti isu-isu kerangka regulasi negara dan jalur birokrasi prosedur bisnis.

Dia mengatakan, sumber daya alam Indonesia yang melimpah, stabilitas politik dan ekonomi yang tumbuh cepat akan membuka jalan untuk mendorong pertumbuhan satu digit yang tinggi selama beberapa tahun ke depan.

Selain itu, Eugenia menambahkan, investasi juga bagus jika berorientasi ekspor sehingga keseimbangan antara komponen impor dan ekspor bisa terjaga. Namun persoalannya, investasi yang masuk selama ini komponen impornya tinggi, tapi orientasinya ke pasar domestik sehingga tidak nyambung.

"Pilihannya adalah jika investasi asing itu memang orientasinya pasar domestik harus yang berbahan baku lokal atau domestik, sehingga tidak merugikan neraca pembayaran atau sektor luar negeri kita," katanya.

Guru besar ekonomi UGM Prof Sri Adiningsih mengatakan, beberapa tahun ini memang pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh tingkat konsumsi masyarakat yang cukup tinggi. Bahkan dengan seiringnya perbaikan ekonomi yang dilakukan Indonesia maka kelas tengah di lingkungan masyarakat akan terus tumbuh dan akses konsumsi yang semakin lebar.

"Struktur ekonomi kita lebih mengandalkan pada konsumsi dan impor, oleh karenanya, saya belum bisa memprediksi sampai kapan tingkat konsumsi ini dapat menopang pertumbuhan ekonomi. Namun hal terpenting adalah bagaimana tingkat konsumsi tinggi harus dibarengi dengan nilai investasi dan ekspor yang tinggi juga," kata dia.

Ancaman Cukup Besar

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah Indonesia harus meningkatkan nilai investasi yang masuk ke Indonesia dan bisa memanfaatkan investasi itu untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Apalagi kalau presiden terpilih nanti bisa memberikan keyakinan kepada dunia usaha terkait investasi di Indonesia. 

"Saya pun meminta pemerintah benar-benar menjaga kepercayaan investor menjelang dan sesudah pemilu. Kalau otoritas ekonomi tidak hati-hati dan tidak bisa meyakinkan dunia usaha, bisa menyebabkan instabilitas ekonomi," ujar Sri.

Menurut dia, ekonomi Indonesia yang menghadapi tantangan dan ancaman cukup besar tahun ini bisa menghadapi pelemahan pertumbuhan ekonomi, dapat meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi menurun, jumlah penduduk yang menjadi miskin atau miskin lagi akan meningkat dan bisa memicu keresahan sosial. 

"Meningkatnya ketimpangan tingkat kesejahteraan jika dibarengi dengan kemerosotan ekonomi bisa menimbulkan gejolak sosial. Oleh karenanya, pemerintah harus meningkatkan nilai investasi yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja kita sehingga tingkat penggangguran dapat dikurangi," ungkap Sri.

Sri pun menuturkan kualitas pertumbuhan ekonomi harus menjadi fokus dari pemerintah ke depan. Pemerintah tidak hanya bekerja keras dalam hal stabilisasi ekonomi, tetapi juga memberikan kebijakan yang tepat dalam perbaikan ekonomi. 

"Kita harus mampu menjadikan momentum Pemilihan Umum 2014 ini sebagai transformasi untuk menjadikan bangsa ini lebih punya pijakan dalam menatap masa depan melalui kebijakan ekonomi yang baik dan benar, seperti peningkatan kualitas investasi demi membaiknya perekonomian Indonesia," tandas dia.

Menurut Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, selama ini memang pertumbuhan Indonesia disumbang besar dari konsumsi dalam negeri. Namun begitu, ia juga mengakui sektor investasi juga menjadi penyumbang kedua. Akan tetapi besaran investasi yang meningkat pada triwulan pertama seakan semu dan tidak berkualitas lantaran ketidak mampuan investasi dalam penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

“Sejauh ini, investasi yang masuk adalah investasi yang padat modal bukan padat karya alhasil penyerapan tenaga kerja tidak tinggi. Selain padat modal, investasi juga lebi banyak terkonsentrasi di sektor pertambangan dan otomotif memang membutuhkan modal besar tetapi tidak menyerap tenaga kerja yang banyak. Jadi, sebesar apa pun investasi yang masuk tidak punya multiplier effect lebih,” ujarnya.

Menurut Enny, ini karena pemerintah (kementerian terkait) tidak punya koordinasi tapi lebih pada mengejar target masing-masing, dan berjalan sendiri-sendiri. “Secara umum pemerintah belum punya blue print pengembangan industrialisasi sehingga investasi yang masuk tidak produktif. Celakanya, pemerintah minim koordinasi sehingga investasi masuk tingga tidak bermanfaat,” tegas dia.

Dia menambahkan, cara agar dapat menyerap investasi yang masuk adalah dengan memberikan fasilitas terhadap para investor. “Terutama infrastruktur kita selama ini yang masih buruk. Dan pengadaan infrastruktur itu merupakan tugas pemerintah. Jika memang infrastrukturnya juga dikelola sehingga memadai, barulah investasi yang masuk ke dalam negeri dapat berkualitas,” ujarnya.

Selain infrastruktur, lanjut Enny, pemerintah juga perlu membenahi persoalan dasar investasi seperti perizinan dan birokrasi. Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah aksi nyata dari pemerintah untuk memperbaiki persoalan tersebut, yang memang menjadi penyakit cukup lama. Contohnya, investasi khususnya manufaktur di Malaysia dan Thailand terus meningkat karena pemerintahnya memberikan kemudahan terutama di pembebasan lahan . “Yang paling mudah dan tidak memakan biaya banyak adalah perbaikan birokrasi dan perizinan, ini sangat menjadi keluhan para investor,” tuturnya. bari/agus/ iwan/mohar

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…