Masih Kelamkah Dunia Kependidikan Kita?

Masih Kelamkah Dunia Kependidikan Kita?           

Semestinya dunia kependidikan Indonesia prihatin atas pernyataan pengacara Hotman Paris Hutapea yang dinilai melecehkan Profesor Lydia Freyai Hawadi dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan TV-One 22 April 2014 lalu.

Saat itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal        Prof. Lydia Freyani Hawadi mempertanyakan apakah Hotman Paris tahu apa kurikulum di Jakarta International School (JIS) tempat anaknya bersekolah? Apakah dia juga tahu di JIS terdapat Komite Sekolah seperti yang disyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap setiap sekolah yang ada di Indonesia?

Ditanya demikian, dalam acara yang dipandu Karni Ilyas itu justru berang dan mengolok-olok bahwa anaknya yang lain, yang lulusan London jauh lebih pintar dari Lydia.  Untungnya, Lydia tak terpancing, malah bilang insya’Allah.

Tayangan langsung talk show itu banyak membicarakan tentang kasus tindakan pelecehan seksual terhadap sejumlah anak didik di JIS. Yang sudah ditengarai, pelakunya adalah para petugas kebersihan (cleaning service), bahkan juga oknum pamong atau gurunya.

Dari pertanyaan Lydia tersebut, terkuaklah bahwa masih banyak orang Indonesia yang mengagung-agungkan keberadaan sekolah internasional dan sekolah di Indonesia menghasilkan lulusan yang tak bermutu. Itu sebabnya mereka para orang tua itu tak masalah jika harus membayar mahal biaya pendidikan anaknya di sekolah tersebut.

Di sisi lain, kasus di JIS tersebut menunjukkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terhadap keberadaan sekolah-sekolah swasta. Tidak itu saja, sebagian masyarakat masih memandang kurikulum nasional yang dicanangkan Kemendikbud ‘tidak’ bermutu dibandingkan dengan sekolah unggulan swasta.

Dulu, ada sekolah unggulan negeri, yaitu Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Pendirian RSBI itu merujuk pada Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 50 ayat (3). Namun keberadaannya tak berumur panjang. Setelah diprotes banyak pihak, termasuk di antaranya Federasi  Serikat Guru Independen (FSGI), akhirnya RSBI dibubarkan. Protes itu beralasan salah satunya karena terlalu ekskusif dan cenderung hanya untuk menampung siswa dari keluarga kaya.  

Pembubaran RSBI diputuskan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidangnya pada 8 Januari 2013. "Hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI," kata Ketua MK Mahfud MD, ketika itu.

MK menyatakan,  walaupun terdapat perlakuan khusus dengan memberikan beasiswa kepada anak-anak berlatar belakang kurang mampu secara ekonomi untuk mendapat kesempatan, tapi jumlahnya sangat sedikit. Lagi pula hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang cerdas. Hal demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab negara.

Perlakuan diskriminatif juga masih dialami para siswa miskin dan tidak pandai di sejumlah sekolah negeri. Di SMPN 11 Depok misalnya. Para siswa yang berasal dari jalur Bina Lingkungan (BL) dan yang tidak mampu harus sekolah, dibuat dalam kelas sendiri, tidak berbaur dengan siswa yang berasal dari jalu regular, yaitu mereka yang lolos berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ebtanas adalah evaluasi tahap akhir nasional.

“Kelompok kelas BL dan SKTM (surat keteragan tidak mampu) dicap sebagai kelompok kelas yang kualitasnya rendah, yaitu tidak pandai, ini diskriminasi yang dilembagakan. Untungnya, anak saya lolos secara regular,” kata Parniwai, salah seorang wali murid di SMPN 11 Depok.

Mutu Pendidikan

Awal April lalu Jakarta menjadi tuan rumah Konferensi Regional Pedidikan dan Pelatihan Kejuruan (Technical and Vocational Education and Training /TVET).  Tujuan diadakannya Konferensi TVET adalah untuk menjalin kerjasama dengan komunitas bisnis dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan kejuruan yang berorientasi pasar kerja. Kedua, penyelarasan standar dan sertifikasi   menuju pengakuan bersama lingkup regional. Ketiga, mengukur mutu atau kualitas pendidikan dan pelatihan kejuruan.

Prof Harjono Sujono, ketua Yayasan Damandiri pun mengingatkan, jika pendidikan anak tidak dilakukan hingga ke jenjang sekolah yang dengan cakupan lebih tinggi, dikhawatirkan anak-anak muda Indonesia hanya bisa menjadi pekerja kasar dari bangsa lain.

Menurut mantan Menko Kesra ini, di samping penyempurnaan mutu pendidikan tinggi, tugas yang tidak boleh ditinggalkan adalah menolong jutaan anak remaja yang karena kemiskinan dan alasan lain, di masa lalu tidak sempat menyelesaikan pendidikan dengan sempurna.

“Program kursus dan pendidikan kesetaraan perlu digalakkan agar anak-anak yang sekarang masih remaja bisa memperoleh kesempatan kerja yang memadai,” katanya. (saksono)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…