Jelang Perdagangan Bebas ASEAN 2015 - Industri Tekstil Merasa Semakin Lemah

NERACA

Jakarta - Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismi mengatakan seluruh sektor industri tekstil saat ini melemah menjelang perdagangan bebas Asean 2015, menyusul akumulasi beban yang terus memukul sektor ini. Dia mengatakan masalah klasik seperti infrastruktur, regulasi, dan birokrasi masih menjadi masalah yang harus segera dibenahi.

Lebih lanjut Ernovian mengatakan, beberapa regulasi atau peraturan pemerintah masih sering menyulitkan pengusaha. Hal tersebut berimplikasi terhadap larinya para investor ke negara lain untuk berinvestasi."Yang terbaru adalah keputusan pemerintah menaikan tarif listrik untuk industri besar, dampaknya jelas terhadap meningkatnya biaya produksi," ujar Ernovian di Jakarta, Senin (21/4).

Tahun lalu penurunan produksi industri TPT di sektor hilir mencapai 8,32%. Ernovian berpendapat hal itu terjadi lebih disebabkan oleh regulasi dibandingkan krisis global."Dalam menuntaskan masalah mendasar seperti ini sebenarnya tidak bisa instan karena kita harus berorientasi jangka panjang," ujar Ernovian.

Ernovian menjelaskan di kawasan Asean produk TPT Indonesia harus berhadapan dengan produk dari Vietnam. Karenanya permasalahan lain seperti biaya, tarif, dan ongkos ekonomi yang tinggi harus segera diselesaikan."Di Vietnam biaya pungutan liar atau pun ongkos semacam itu tidak sebesar di Indonesia," katanya.

Sementara itu, API memperkirakan jumlah ekspor produk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) pada 2014 sebesar US$ 13,3 miliar. Negara tujuan ekspor tekstil masih tetap, yakni Amerika Serikat (AS) dan negara Uni Eropa. Negara tujuan lainnya adalah Jepang, Timur Tengah, dan negara ASEAN lainnya.

Ketua Umum API, Ade Sudrajat mengatakan, target 2014 tersebut sama dengan realisasi ekspor TPT 2013. Menurutnya, industri TPT akan tumbuh stagnan tahun ini karena adanya berbagai tekanan yang berasal dari dalam negeri. "Setidaknya ada tiga tekanan yang menghambat perkembangan industri TPT tahun ini. (Tekanan) Itu mengakibatkan biaya produksi meningkat," kata Ade.

Menurutnya, tekanan pertama berupa kenaikan suku bank menjadi 7,5% yang menyebabkan pinjaman modal menjadi mahal. Selain itu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) setiap tahun juga turut membebani. Pada 2014, selain mengalami kenaikan TDL sebesar 39%, pihaknya juga diharuskan untuk membayar angsuran cicilan tagihan listrik akibat kenaikan pada 2013.

Sedangkan faktor terakhir adalah adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang telah menyebabkan ratusan perusahaan melakukan relokasi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia menjelaskan, relokasi tersebut dilakukan demi keberlangsungan industri TPT yang akan tercapai dalam jangka waktu 10-12 tahun ke depan. Dalam rentang waktu tersebut, permintaan dan penawaran terhadap produk TPT akan meningkat tajam.

Selain itu, relokasi juga menyebabkan semakin terbukanya lapangan kerja khususnya di Jawa Tengah. Saat ini ada sekolah yang melatih 2.200 orang per bulan tenaga kerja terampil. Ade mengaku jumlah tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja TPT Jawa Tengah.

"Semua industri yang relokasi sudah mulai berproduksi. Jateng akan menjadi pusat industrialisasi dan pendidikan TPT nasional. Pendidikan juga gratis karena dibiayai pemerintah Jawa Tengah," kata dia.

Disisi lain, Kementerian Perindustrian menargetkan tahun ini industri TPT, barang kulit dan alas kaki tumbuh 5,5 % sampai 5,8 %. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, industri ini bersama dengan industri logam dasar besi dan baja serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya diharapkan menjadi motor pertumbuhan industri manufaktur. "Jika upaya maksimal dilakukan, industri non migas bisa tumbuh sekitar 6 %," kata Hidayat belum lama ini.

Sepanjang 2013, Kemenperin telah memberikan bantuan potongan harga dalam rangka restrukturisasi permesinan industri TPT, alas kaki dan penyamakan kulit sebanyak 145 perusahaan senilai Rp110,5 miliar.

Investasi yang tercipta mencapai Rp1,39 triliun. Sementara, sebanyak 36 perusahaan industri TPT, alas kaki, dan penyamakan kulit masih dalam daftar tunggu sebagai peserta restrukturisasi dengan perkiraan nilai bantuan sebesar Rp40,13 miliar.

Ade mengatakan, bantuan pemerintah melalui program restrukturisasi mesin bakal terhenti di 2014. "Pasalnya industri tidak akan melakukan pembelian mesin karena nilai tukar rupiah terhadap dolar yang diatas Rp12.000," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…