Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas di tengah ketimpangan distribusi pendapatan rakyat yang kian melebar. Karena itu, kalangan pengamat meminta Pemerintah segera mengubah strategi pembangunan ke depan, mengingat banyak persoalan ekonomi yang mengancam eksistensi negeri ini menjelang pergantian kepemimpinan nasional tahun ini.
NERACA
Dalam paparan BPS terungkap, bahwa dalam tiga tahun terakhir ekonomi Indonesia selalu tumbuh di atas 6%. Indonesia pun menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Tapi sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini malah membuat ketimpangan distribusi pendapatan rakyat menurut Koefisien Gini, dimana jurang (gap) antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar. BPS mencatat Koefisien Gini sejak tahun 2010 hingga 2013 meningkat dari 0,38 menjadi 0,41. Ini adalah angka tertinggi dalam sejarah sejak Indonesia merdeka.
"Dalam tiga tahun terakhir stagnan pada angka 0,41. Ini adalah ketimpangan yang paling tinggi dalam sejarah Indonesia," ujar Kepala BPS Suryamin dalam paparan indeks kebahagian dan ketimpangan bersama Forum Pemred di Jakarta, pekan lalu.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS Kecuk Suharyanto mengatakan Koefisien Gini memiliki standar ukuran dari 0 hingga 1. Sebelum tahun 2010, rasio Gini Indonesia berada di kisaran 0,33-0,38. "Jadi sebelum tahun 2010 itu memang lebih baik karena masih kisaran 0,33-0,38," ujarnya.
Namun, mulai 2011 hingga 2013 sudah naik menjadi 0,41. Itu sudah dianggap sebagai zona kuning yang berarti cukup mengkhawatirkan. "Kalau sudah di atas 0,4 itu artinya zona kuning. Ini mengkhawatirkan," kata Kecuk.
Ketimpangan ekonomi ini akan menjadi berbahaya bila sudah mencapai angka 0,6. Bukan menjadi tidak mungkin, ketimpangan di Indonesia bisa menjadi semakin berbahaya bila tak ada antisipasi. "Kalau sudah sampai ke 0,6 itu berbahaya," ujarnya.
Kecuk menilai salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Karena laju pendapatan orang miskin tidak bisa mengejar kecepatan tumbuhnya harta dari orang kaya.
"Harusnya yang menjadi bahan evaluasi adalah pertumbuhan ekonomi agar lebih berkualitas," ujarnya.
Dari sisi pendapatan, masyarakat Indonesia terbagi atas 3 kelas. Kelas atas sebesar 20%, kelas menengah sebesar 40%, dan terbawah sebesar 40%. Pada 2005, kelas terbawah yang sebesar 40% itu menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi sebesar 21%, namun pada 2013 menurun menjadi 16,9%. Sementara untuk kelas atas, pada 2005 menerima 40% dan meningkat menjadi 49% dari PDB pada 2013.
"Artinya memang yang diterima orang kelas atas jauh lebih besar dari yang kalangan bawah. Sehingga kelas atas ekonominya naik sangat cepat dan kelas bawah juga naik, tapi lambat," ujarnya.
Kecuk mengingatkan, hal ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Pemerintah harus segera mencari upaya untuk mempersempit ketimpangan tersebut. Karena bisa memberikan efek negatif dari sisi sosial. "Tidak bisa dibiarkan terlalu lama, karena akan ada efeknya dari sisi sosial," ujarnya.
Apalagi pada 2015 pemerintah kembali menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 6%, dan akan terus tumbuh pada tahun-tahun selanjutnya. Bila tidak ada perbaikan, maka ketimpangan pun semakin melebar.
Minim Sektor Tradable
Direktur Indef Enny Sri Hartati mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas. Bahkan pihaknya menilai dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rapuh lantaran tidak didorong oleh sektor tradable.
Selain itu, meski tumbuh namun ketimpangan ekonomi semakin melebar. Karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi, mengingat persoalan ekonomi Indonesia semakin menggunung.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, tapi tidak berkualitas. Pemerintah harus segera mengubah strategi agar pertumbuhan Indonesia memang benar-benar berkualitas," ujarnya kepada Neraca, Minggu (20/4).
Ke-10 indikator itu adalah, pertumbuhan ekonomi tinggi namun rapuh dan tidak berkualitas, Tingkat pengangguran terbuka menurun secara lambat, tingkat kemiskinan berjalan di tempat, ketimpangan semakin melebar, perekonomian menghadapi tekanan inflasi.
Selain itu, nilai tukar petani (NTP) tidak kunjung meningkat, sektor formal meningkat, namun porsi secara informal masih terlalu besar, tax ratio stagnan, belanja rutin dan subsidi semakin tidak terkendali, dan Indonesia terbelit defisit neraca perdagangan. "Dalam kurun waktu hampir 10 tahun antara 2004-2014 banyak kesempatan yang terlewatkan. Padahal Indonesia memiliki potensi besar," jelasnya.
BPS menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak berkualitas dan tumbuh 5,78% pada 2013. Kontraksi ini disebabkan sektor tradable (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan) mengalami penurunan cukup signifikan sebesar 22,84%. Bila dibandingkan dengan periode yang sama 2012 (year on year), PDB Indonesia triwulan IV-2013 tumbuh 5,72%, dimana pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor nontradable (pengangkutan dan komunikasi) yang mencapai 10,32%.
Pengamat ekonomi IPB Iman Sugema mengatakan sebenarnya Indonesia tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 Namun, terlepas dari segala dinamika diplomasi ekonomi, kita sepakat bahwa pembenahan harus dimulai di dapur sendiri.
Menurut Iman, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis,diantaranya peningkatan daya saing ekonomi, peningkatan laju ekspor, reformasi regulasi, perbaikan infrastruktur, reformasi Iklim, reformasi kelembagaan, pemberdayaan UMKM, pengembangan pusat UMKM berbasis website teknologi informasi, dan penguatan ketahanan ekonomi.
Dia mengatakan, kesenjangan ekonomi masyarakat yang masih cukup lebar juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk meminimalisasinya meski harus disadari seluruh negara di dunia mengalami giri ratio yang meningkat, akibat industri yang lebih padat modal sehingga peningkatan kekayaan orang kaya lebih tinggi dari perbaikan pendapatan orang miskin.
Pengamat ekonomi UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, dalam mengatasi rapuhnya perekonomian Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi dinilai tidak berkualitas, harus diprioritaskan penguatan sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia. Pemerintah harus membuat terobosan agar menghasilkan SDM yang inovatif sehingga mampu mengelola dan mengolah potensi sumber daya alam yang sangat besar di Indonesia.
Menurut dia, tantangan ekonomi dunia ke depan sangat berat, terutama dalam menghadapi era persaingan bebas seperti MEA, AFTA, APEC dan WTO. Oleh karena itu, yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.
“Saya kira, sudah bukan waktunya lagi membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia memanfaatkan potensi sumberdaya yang dimiliki dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional,” ujarnya.
Jadi, ekonomi Indonesia yang tumbuh tinggi dalam beberapa tahun terakhir ternyata tidak cukup mampu untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara signifikan. Bahkan pertumbuhan ekonomi tinggi pun tidak bisa membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih bahagia. bari/mohar/iwan/fba
NERACA Jakarta – Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan prinsip…
Jakarta-Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai, standar yang digunakan Bank Dunia pada perhitungan angka kemiskinan itu…
NERACA Surabaya, Jawa Timur - Menteri Koordinator (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan koperasi desa (kopdes) merah putih akan mengakomodir…
NERACA Jakarta – Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan prinsip…
Jakarta-Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai, standar yang digunakan Bank Dunia pada perhitungan angka kemiskinan itu…
NERACA Surabaya, Jawa Timur - Menteri Koordinator (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan koperasi desa (kopdes) merah putih akan mengakomodir…