Sulitnya Mengendalikan Barang Impor

Sulitnya Mengendalikan Barang Impor

 

Berbulan-bulan neraca perdagangan Indonesia mengalami pasang surut. Sesekali surplus, tapi jeblok lagi menjadi minus. Menjadi minus, karena posisi impor melebihi nilai ekspornya.

 

Ironisnya, komoditas impor kita adalah barang-barang yang masuk kategori sebetulnya kita kecukupan. Impor terjadi ketika industri olahan dalam negeri berkembang dan membutuhkan bahan baku. Bahan baku sebetulnya melimpah-ruah, tapi sudah terlanjut  terikat oleh perjanjian atau kontrak ekspor.

 

Contohnya kakao. Pemerintah tak kuasa menyetop ekspor  dikala kebutuhan dalam negeri meningkat, hingga akhirnya harus membuka keran impor selebar-lebarnya. Produksi nasional mencapai 770 ribu ton. Sebanyak 75% diekspor ke Amerika Serikat (25%) dan sebanyak 50% lainnya dikapalkan ke Singapura dan Malaysia. Padahal, kebutuhan industri olahan kakao masih berada di bawah 600 ribu ton.  

 

Beruntung, pada akhir Maret 2014, neraca perdagangan membaik alias surplus.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2014 surplus US$ 785,3 juta. Rinciannya, ekspor pada periode tersebut senilai US$ 14,67 miliar, sedangkan impornya US$ 13,78 miliar.

 

Kepala BPS Suryamin menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan surplus neraca perdagangan tersebut. "Impor kita, baik migas maupun non-migas, menurun," kata Suryamin di kantor BPS, Jakarta, belum lama ini.  Sebelumnya, nilai impor pada Januari 2014 sebesar USD 14,92 miliar.

 

Menurut Suryamin, penurunan impor juga dipicu oleh tingginya tingkat suku bunga dan lemahnya kurs rupiah. Hal itu dinilai membuat sektor industri menyesuaikan diri dengan mengerem laju produksi. “Struktur impor kita yang didominasi bahan baku dan barang modal jadi berkurang,” kata dia.

Kendati demikian, fluktuasi neraca perdagangan Indonesia tersebut masih berada dalam posisi rawan, baik dilihat dari cadangan devisa maupun upaya meningkatkan produktivitas nasional.

BPS mencatat, hingga Februari 2014, impor ponsel mencapai volume 982 ton senilai US$ 220,7 juta atau setara dengan Rp 2,3 triliun.  Untuk mengerem laju impor tersebut, pemerintah sudah mengenakan tarif baru pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dan dinaikkan menjadi 7,5% dari semula hanya 2,5% untuk perusahaan pemegang Angka Pengenal Importir (API).  

Namun, untuk mengenakan pajak barang mewah (PPN-BM) buat ponsel, rupanya pemerintah masih ragu. Sebab, seperti diungkapkan Menteri Keuangan M Chatib Basri, yang dikhawatirkan adalah makin maraknya aksi penyelundupan.

“Lagi pula, hingga saat ini belum ada permintaan dari Kementerian Perindustrian,” kata Chatib dalam sebuah diskusi bertajuk "Menyongsong Peta Baru kebijakan Ekonomi Indonesia" di Jakarta, Senin (7/4).

Ketergantungan terhadap impor itu dinilai peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro sebagai bentuk penjajahan kembali di sektor ekonomi. “Padahal, Indonesia kaya akan sumberdaya alam yang seharusnya mampu menghidupi seluruh masyarakat Indonesia lebih dari cukup,” kata Siti di tempat yang sama.  

Hanya saja, kata Siti, pemerintah belum mampu mengoptimalisasi kekayaan SDA itu sendiri. Itu sebabnya, kata dia, sekarang bangsa Indonesia lebih menunggu proses pergantian kepemimpinan nasional di tahun ini. Pekerjaan rumah besar bagi pemimpin yang akan datang, kata Siti, adalah bagaimana menggali potensi sumber daya lokal untuk menyetop ketergantungan pada impor.  “Itulah PR besar untuk pemerintahan baru nanti,” tambahnya.

Untuk menekan importasi, Siti menyarankan agar pemerintah pusat mengoptimalkan peran daerah sebagai lumbung produktivitas ekonomi nasional. “Sumbangsih daerah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional jika dikelola dengan baik bisa mencapai 60-70%,” kata dia.

Saat ini, barang konsumsi yang beredar di Indonesia sudah mulai didominasi oleh produk impor, mulai dari mainan anak-anak, perabot rumah tangga, hingga barang mewah. Menurut Siti, penyebabnya karena produk dalam negeri belum mampu bersaing  melawan derasnya arus barang impor.

Muhammad Idrus, pengurus dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) sependapat dengan Siti Zuhro tentang perlunya reformasi regulasi ekonomi. Idrus menyontohkan banyaknya regulasi atau peraturan yang tidak mendukung peningkatan produktivitas nasional. Di antaranya UU Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

“UU ini problem utama kita, karena UU ini adalah UU yang terlalu liberal,” kata dia. Contoh lainnya adalah UU Nomor  tentang Agraria. (saksono)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…