Demi Kedaulatan Pangan - Modal Asing di Usaha Benih Pertanian Memang Harus Dibatasi

NERACA

Jakarta – Pemerintah didesak untuk merevisi angka maksimal sebesar 30% modal asing yang berada di usaha perbenihan. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pembatasan terhadap modal asing di sektor usaha perbenihan hortikultura memang sudah sepantasnya dilakukan. Hal itu dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan yang mulai tergerus dengan membanjirnya produk-produk impor.

“Keberadaan UU Hortikultura yang membatasi modal asing dalam usaha perbenihan hortikultura Indonesia memang sudah sepantasnya dilakukan. Namun, angka maksimal 30% dirasa masih belum cukup untuk mengembalikan kedaulatan petani atas benih. Hal ini karena 90% pasar perbenihan tanaman hortikultura domestik dikuasai oleh perusahaan multinasional seperti East-West Seed, Monsanto, DuPont, Syngenta, dan Bayer. Sehingga semakin menjadikan petani ketergantungan dan menghilangkan peran petani sebagai pemulia tanaman,” ungkap Peneliti IGJ Rachmi Hertanti dalam keterangan resmi yang diterima, Selasa (8/4).

Selama ini, sambung dia, regulasi nasional membolehkan kepemilikan asing dalam usaha perbenihan hortikultura hingga 95% dan usaha perbenihan tanaman pangan pokok sebesar 49%. Sejak berlakunya Perpres No.36/2010 hingga 2013, nilai modal asing di sektor pertanian meningkat hingga 120% yakni dari hanya sebesar US$ 751 juta menjadi US$1,6 Miliar. Perusahaan benih asing raksasa tersebut sangat menguasai 75% penelitian pemuliaan tanaman (plant breeding research) dan mengontrol 60% pasar benih dunia.

“Kehadiran perusahaan benih asing sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan pangan nasional. Buktinya hingga hari ini kita masih ketergantungan terhadap impor pangan. Bahkan, nilainya justru semakin meningkat hingga 100% terhitung sejak 2009 yakni sebesar US$ 5,94 Miliar dan melonjak hingga US$ 12,05 Miliar pada 2012. Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memperkuat peran petani dan bukan memperkuat dominasi modal asing di Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi harus lebih cermat dalam memeriksa dan memutus Uji Materiil UU No.13/2010,” tegas Rachmi.

Tak hanya itu, pihaknya juga meminta agar uji materiil yang dilakukan oleh Asosiasi Produsen Perbenihan Indonesia (Hortindo) terhadap Undang-undang No.13 Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi sudah sepatutnya tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena berdampak terhadap hilangnya kedaulatan petani pemulia tanaman terhadap benih.

IGJ merupakan salah satu pihak dalam Koalisi Jaringan Advokasi Petani Pemulia Tanaman yang mengajukan Gugatan Intervensi sebagai Pihak Terkait yang berkepentingan terhadap Uji Materiil UU No.13 tahun 2010 tentang Hortikultura yang dilakukan oleh Hortindo. Gugatan Intervensi tersebut didaftarkan pada hari ini (8/4) di Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan tanggapan atas Pasal 100 ayat (3) dan 103 ayat (2) UU No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang membatasi modal asing dalam usaha perbenihan hortikultura Indonesia.

Merugikan Ekonomi

Menurut Afrizal Gindow, Ketua Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo) pihaknya dan para petani saat ini tengah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal mengenai pembatasan investasi di industri benih sayur karena berpotensi merugikan ekonomi nasional.

Afrizal mengatakan, yang akan paling dirugikan apabila aturan ini diberlakukan adalah para petani sayur yang kesulitan untuk mendapatkan varietas unggul dan petani mitra perusahaan yang memproduksi benih. Sedangkan perusahaan, kalau tidak cocok tinggal merelokasi usahanya di negara yang lebih kondusif.

Ia mengemukakan anggota Hortindo berharap MK dapat mengeluarkan industri perbenihan hortikultura dari pasal 100 ayat 3 dan asal 131 ayat 2. Pasal 100 ayat 3 membatasi besarnya penanaman modal asing pada usaha hortikultura hanya 30%, sedangkan pasal 131 ayat 2 yang menyebutkan peraturan tersebut berlaku surut.

Afrizal mengatakan, pada prinsipnya produsen benih dan petani mendukung undang-undang ini yang memiliki semangat dan tujuan yang baik yakni untuk memajukan pelaku usaha hortikultura lokal. “Namun di dalamnya terdapat permasalahan mendasar yang tidak disadari pembuat undang-undang ini yakni menyamaratakan seluruh industri hortikultura untuk tunduk dan terikat pada pembatasan modal tersebut,” jelas Afrizal.

Padahal industri benih sebagai bagian subsistem industri hortikultura tidak dapat disamaratakan dengan industri hortikultura lainnya karena industri ini memiliki karakteristik yang berbeda yakni membutuhkan investasi jangka panjang dan besar, baik dalam hal permodalan maupun teknologi, kemudian di dalamnya juga terdapat hak kekayaan intelektual dalam bentuk kepemilikan sumber daya genetik.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…