Terkait Desakan Ratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau - Industri Rokok Kretek Lokal Terancam

NERACA

Bogor - Bola panas Ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) masih terus bergulir hingga kini. Peneliti Indonesian for Global Justice (IGJ), Salamudin Daeng, mengatakan FCTC merupakan salah satu cara pihak asing untuk mematikan industri kretek lokal.

"FCTC memiliki agenda terkait bisnis di industri rokok. Ada rezim bisnis internasional yang berkepentingan dalam aturan tersebut. Melalui FCTC, rezim bisnis internasional hendak memonopoli bisnis tembakau dan juga menguasai sekaligus menghancurkan industri kretek nasional," jelas Salamudin saat acara Workshop bertema Menggugat FCTC Menyelamatkan Tembakau di Bogor, akhir pekan kemarin.

Lebih lanjut  Salamuddin Daeng  menegaskan bahwa FCTC pada akhirnya hanya akan membatasi aktivitas industri rokok nasional karena di dalamnya ada beberapa aturan yang harus dipenuhi. Sayangnya aturan tersebut justru malah merugikan pelaku industri tembakau.

"FCTC merupakan traktat kesehatan global yang berada di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam FCTC ada beberapa poin yang masih belum jelas kedudukannya seperti pada artikel 17 yang berisi pengendalian suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif,"paparnya.

Menurut Daeng sapaan akrabnya, pasal tersebut bisa mengancam petani tembakau yang selama ini menggantungkan hidup dari industri rokok. "Jika suplai tembakau dibatasi melalui standar yang ditetapkan secara internasional seperti kadar tar dan nikotin. Maka tembakau petani lokal Indonesia tidak bisa masuk ke pabrik-pabrik rokok,"jelasnya.

Bukan karena dibawah standar,sambung Daeng, tetapi karena jenis tembakau petani lokal Indonesia rata-rata memiliki kualitas diatas standar dengan kandungan nikotin yang relatif tinggi. Pasal mengenai standarisasi kandungan nikotin dan tar tersebut, sebenarnya hanyalah akal-akalan WHO melalui FCTC untuk dapat menjual tembakau dengan kadar nikotin rendah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Daeng, akal bulus ini makin terkuak, sebab pada sisi lain FCTC juga mendesak semua Negara anggotanya untuk membuka keran impor tembakau. Agar industri rokok mereka, bisa  mendapat suplai tembakau yang sesuai standar FCTC. "FCTC adalah mesin pembunuh, yang secara sistematis akan mematikan pertanian tembakau Indonesia dan industri rokok nasional," kata dia.

Suara FCTC mulai keras bergaung di Indonesia, setelah industri rokok multinasional mengakuisisi dan menguasai beberapa industri rokok nasional.  FCTC adalah rencana kotor industri rokok dan tembakau asing, untuk menguasai industri rokok dan tembakau nasional Indonesia. Karena itulah, maka jadi sangat mudah bagi kita untuk memahami pernyataan Tulus Abadi yang sangat meyakinkan, bahwa pemerintah tidak akan kehilangan pendapatan cukai rokok.

Garansi  pemerintah, adalah bukti dari kebenaran asumsi bahwa FCTC adalah rencana kotor. Cukai rokok akan tetap didapat pemerintah, karena akan tetap ada perokok dan industri rokok. Namun yang membedakannya adalah bahan baku tembakau untuk rokok tersebut, tidak lagi disuplai oleh petani tembakau lokal Indonesia. Demikian juga halnya dengan industri yang memproduksi rokok tersebut, yang nantinya hanya industri-industri yang mendapat suplai tembakau yang telah sesuai dengan standar FCTC.

Celakanya, kartel pengimpor tembakau standar FCTC ini bisa menjual tembakaunya kepada industri-industri rokok yang dia tentukan, berdasar berbagai pertimbangan kepentingan. Jadi bisa saja nantinya kartel pengimpor tembakau berstandar FCTC ini hanya akan melayani kebutuhan industri rokok asing yang beroperasi di Indonesia.

Di tempat yang sama, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia meminta pemerintah Indonesia mengkaji kembali untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

"Peraturan internasional yang mengikat bisa menjadi kolonialisme gaya baru. Asing ingin mengendalikan Indonesia dengan membuat perjanjian internasional. Setelah kita ratifikasi, maka kita wajib menurunkan ke peraturan dalam negeri," katanya.

Menurut Hikmahanto, Indonesia bisa saja meratifikasi FCTC dengan catatan pemerintah bisa memberikan warna atau punya bargaining power dengan negara lain. "Kalau hanya iya-iya saja jangan mau".

Jika pemerintah meratifikasi FCTC tersebut, maka diyakini juga akan mengancam mata pencaharian petani tembakau dan buruh rokok.

Terkait polemik tersebut, Hikmahanto mengatakan, perjanjian internasional FCTC hanya melihat dari perspektif kesehatan saja, namun tidak melihat berbagai perspektif lainnya, baik dari segi ekonomi, ketenagakerjaan, hukum, dan lain-lain. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan organisasi yang memunculkan adanya FCTC adalah World Health Organization (WHO).

"Ada ego sektoral perspektif kesehatan dan di indonesia disuarakan Kemenkes. Tapi kan masalah tembakau harus dilihat dari perspektif yang lebih luas, apa lagi indonesia yang penghasil tembakau dari zaman duhulu," katanya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…