Menggugat Program LCGC

Menggugat Program LCGC

Oleh Bani Saksono (wartawan Harian Ekonomi Neraca)

 

Pada 23 Mei 2014, usia Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2014 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PP tersebut telah membebaskan pajak penjualan hingga 100% terhadap kendaraan bermotor yang termasuk program hemat energy dan harga terjangkau (low cost green car/LCGC). Kendaraan yang dimaksud adalah tidak dalam bentuk sedan atau station wagon.

Yang masuk kriteria LCGC adalah motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsusi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 km per liter atau bahan bakar lain yang setara. Juga, motor nyala kompresi baik diesel maupun semi diesel dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter atau dengan bahan bakar lain yang setara.  

Namun, terbitnya PP 41/2013 tersebut menuai banyak masalah dan kontroversial karena banyak menyimpang dari kaedahnya. Semula, LCGC digadang-gadang sebagai mobil nasional yang mampu menghemat subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kenyataannya, justru sebaliknya. Kehadiran LCGC itu justru tetap saja mengonsumsi BBM bersubsidi.

Tanda-tandanya, seharusnya mobil murah ramah lingkungan itu menggunakan teknologi listrik, hybrid dan bukan berbahan bakar fosil atau BBM. Tapi, kenyataannya, kehadiran LCGC tersebut justru memicu kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Artinya, para pemilik LCGC enggan membeli BBM non-bersubsidi seperti Pertamax yang harganya jauh di atas harga Premium. Dan, pemerintah pun tak mampu mengontrol bahwa mobil itu tak boleh mengonsumsi Premium.

Itu sebabnya, Menteri Keuangan M Chatib Basri pun   mempertanyakan efektivitas kebijakan pemerintah yang disponsori oleh Kementerian Perindustrian. Tersebut. Jika memang ternyata kebijakan itu tidak benr-benar efektif, kata dia, pihaknya tak segan untuk meninjau kembali. Saat ini, investasi untuk membangun pabrik LCGC mencapai US$ 2,42 miliar, mayoritas dikuasai  oleh prinsipal dari Jepang. Di antaranya, Suzuki Motor Company melalui PT Suzuki Indomobil Motor telah menanamkan investasi sebesar US$ 782,63 juta untuk menggenjot produksi hingga 100 ribu unit per tahun. Sedangkan Toyota Motor Company telah mengalirkan dana sebesar US$ 534,4 juta kepada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia agar mencapai target penjualan dari 110 ribu menjadi 240 ribu unit per tahun.

Siapa yang diuntungkan atas terbitnya PP 41/2013 tersebut? Kecuali perang bisnis prinsipal otomotif dunia. Yang terang, keuangan negara jebol akibat tak terbendungnya konsumsi BBM bersubsidi dan kemacetan di jalan raya. Padahal, seharusnya, pemerintah lebih mengutamakan menyediakan angkutanumum missal yang aman, nyaman, cepat, dan terjangkau. []

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…