IURAN BEBANI INDUSTRI KEUANGAN - OJK Harus Hidup dari APBN

Jakarta - Suara penolakan iuran dari industri jasa keuangan Tanah Air kini kian keras, terutama dari Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Meski begitu, mereka “terpaksa” menyumbang karena kesepakatan bersama yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Akan tetapi, sebagai lembaga pengawas baru dan independen, sejatinya OJK tidak usah memungut iuran. Adalah hal aneh bila OJK selaku pengawas, dibiayai oleh industri jasa keuangan yang diawasi. Mungkinkah OJK hidup tanpa iuran?

NERACA

Di mata Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan, sebagai regulator seharusnya OJK tidak menarik iuran dari industri keuangan. Agar tetap independen, OJK bisa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu sama halnya pada saat pengawasan perbankan di bawah Bank Indonesia dan pasar modal di bawah Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

“Apabila Pemerintah (dalam hal ini OJK) serius melakukan pengawasan industri jasa keuangan, maka harus mengusahakan dana atau anggaran tidak berasal dari industri, melainkan APBN,” ungkap Anthony kepada Neraca, Senin (17/3). Dia pun mencontohkan, industri perbankan semestinya tidak dipungut iuran OJK lantaran semakin membebani operasional mereka. Jika hal ini dipaksakan maka perbankan terpaksa membagi beban tersebut kepada nasabah.

“Saat ini, biaya operasional perbankan sudah terlalu tinggi. Nah, apalagi ditambah iuran OJK. Biaya pengeluaran akan bertambah tinggi dan bank akan membebaninya ke nasabah,” terangnya. Anthony juga mengungkapkan, yang terpenting adalah bagaimana OJK tidak membebani apalagi menambah biaya terhadap nasabah, baik itu perbankan maupun pasar modal.

Oleh karena itu, menurut dia, dibutuhkan sebuah kebijakan mendapatkan anggaran tanpa membebani nasabah, yaitu menggunakan APBN semaksimal dan seefisien mungkin. Atau, mencari pendanaan dengan cara lain. Lebih jauh Anthony menerangkan, apabila iuran OJK tetap berjalan sebagai satu-satunya kebijakan untuk mendanai operasionalnya, maka diperlukan langkah yang bijak dalam pelaksanaannya.

“Seperti iuran OJK ini dilakukan secara bertahap, dan tidak dilakukan sekaligus. Apabila OJK menggunakan APBN, maka harus ada pertanggungjawaban yang jelas dan terbuka kepada Pemerintah. Jadi, yang amannya, ya, memakai APBN. Selain jelas menjadi tanggung jawab Pemerintah, OJK juga tetap independen,” tandasnya.

Sementara Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan, iuran OJK jelas membuat riuh industri keuangan mengingat sebelumnya saat pengawasan industri perbankan masih dipegang BI tidak ada pungutan. Padahal, sampai dengan saat ini OJK sendiri masih mendapatkan suntikan operasional dari APBN yang nominal besar yaitu Rp2,4 triliun pada 2014, dari Rp1,645 triliun di 2013.

Untuk seukuran lembaga baru, kata Enny, seharusnya belum membutuhkan anggran terlalu besar. “Kalau memang menjadi masalah besar terhadap pungutan dan iuran itu kenapa OJK tidak mengandalkan dana operasionalnya dari APBN saja,” katanya kemarin. 

Mengingat OJK merupakan lembaga baru yang memang masih butuh pembuktian tingkat kinerja dan elektibilitasnya dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan nasional. Sejak berdiri pada 1 Januari 2013 lalu, lembaga superbody ini belum nampak kinerja nyatanya. Bahkan, masih ada masalah-masalah aduan konsumen yang muncul.

“Ini artinya, sama saja OJK masih belum produktif. Harusnya, benahi saja urusan dan kinerjanya lebih baik, ketimbang mempeributkan masalah iuran. Saya khawatir tugas pokok OJK jadi terbengkalai,” tegas Enny.

Dia juga mengingatkan, harapan dari lahirnya OJK agar pengawasan terhadap industri jasa keuangan bisa lebih baik dan menjadi satu atap. Hal yang berbeda saat pengawasan perbankan di bawah BI dan pasar modal di bawah Bapepam-LK. “Menimbang baik dan buruknya serta melihat fungsi dan produktivitas, jika memang (pengawasan) lebih baik dahulu mengapa tidak balik dikembalikan seperti dahulu saja,” katanya, mempertanyakan.

Dengan melihat kondisi dan realita yang ada, jika memang OJK diklaim sebagai lembaga independen namun dibiayai oleh industri keuangan sangat dipertanyakan elektabilitasnya sebagai regulator. “Jika dipikir secara logika sederhananya, masa’ OJK harus dibiayai oleh lembaga yang diawasi? Di sinilah letak kerentanannya,” tukas Enny.

Amandemen UU OJK

Di tempat terpisah, Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan, sesuai Pasal 27 UU No 21/2011 bahwa OJK diperkenankan mengambil pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK.

Dengan kata lain, lanjut Sigit, para pelaku industri jasa keuangan tidak bisa mengelak lagi. “Suka tidak suka, kita diharuskan membayar sesuai dengan ketentuan UU yang ada,” ungkapnya. Dari sisi industri jasa keuangan, khususnya perbankan, dipastikan akan membayar karena memang sudah diatur oleh UU. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah dalam bisnis apapun pasti mementingkan profitabilitas atau keuntungan.

Dengan pungutan iuran OJK tersebut tentu mendorong industri perbankan untuk menaikan suku bunga dan "cost of fund" nya. Cost of Fund adalah biaya untuk memperoleh simpanan setelah ditambah dengan cadangan wajib yang ditentukan oleh Pemerintah. "Karena itu jangan sampai timbul anggapan bahwa hadirnya OJK malah menambah biaya bagi masyarakat. Kalau pun dilanggar (tidak bayar iuran) pasti tidak bisa. Nah, upaya yang akan dilakukan meng-amandemen UU OJK,” tegasnya.

Senada, Direktur Eksekutif AEI, Ishaka Yoga mengaku juga tidak setuju dengan adanya pungutan dari OJK. Apalagi OJK merupakan lembaga baru yang memang butuh pembuktian dulu sebagai lembaga independen melihat kemampuan dan sepak terjang dalam mengurusi industri keuangan bukannya belum bekerja sudah minta iuaran. “Harusnya kita melihat dahulu lima tahun ke depan sepak terjang dan kinerja serta kredibilitas OJK seperti apa,” ungkap dia.

Mengingat sebelum adanya OJK, industri pasar modal baik-baik saja. Tapi setelah OJK lahir justru ada permasalahan yang mengganjal, yakni pungutan yang sangat memberatkan karena memang secara umum AEI sudah membayar pajak. “Harusnya memang OJK hidup dari APBN saja tanpa harus mengambil iuran ataupun pungutan dari industri keuangan. Tapi memang, harus besar anggaran untuk OJK,” ujarnya. mohar/agus/ardhi

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…