Pandangan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) - Perkembangan Bisnis Mall Bakal Kian Cemerlang

NERACA

 

Jakarta – Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meyakini, bisnis pengelolaan pusat belanja alias mall dalam lima tahun mendatang bakal semakin maju seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah belakangan ini.

“Saya optimis, bahwa bisnis mall ke depan akan lebih maju lagi. Kenapa? Dunia ekonomi kita akan semakin tumbuh. Ada pelarangan ekspor mineral mentah. Nanti kalau smelternya sudah dibangun value ekspornya akan semakin tinggi. Incomenya akan lebih tinggi lagi. Semua akan kembali ke belanja. Saya berharap orang gak belanja di Singapura karena penerbangannya murah. Belanjalah di Indonesia,” ujar Ketua Umum APPBI Handaka Santosa saat ditemu Neraca dalam sebuah kesempatan.

Perkembangan pesat bisnis mall, menurut Handaka, menjadi penyebab investasi di sektor ini bakal semakin kencang. “Jadi gini loh kalau dilihat sebenar-benarnya, para pengusaha ini, tentunya ingin investasi sesuatu yang menguntungkan. Kalau tidak menguntungkan, ngapain investasi, misalnya bikin pabrik, dia tidak akan terjun. Tapi selama ini masih menghasilkan dan itu di atas rata-rata, dia akan terjun. Begitu juga dengan pusat belanja tadi,” papar pengusaha yang juga CEO Senayan City tersebut.

Untuk pusat belanja, dalam pandangan Handaka, hingga saat ini memiliki pangsa pasar yang sangat besar. Karena kesatu, adanya pertumbuhan ekonomi. Kedua, adanya kenaikan income per kapita. Ketiga, adanya pertumbuhan turis yang datang. Itu semua akan mendorong kenaikan daya beli. Itu semua. Purchasing power (daya beli) yang naik. Kalau purchasing power naik, tentunya akan mengingingkan sesuatu yang lebih lagi (belanja),” cetusnya.

Itu sebabnya, sebut Handaka, kenyataan di lapangan, ruang usaha di mall laris manis disewa atau dibeli oleh pengusaha. “Jadi, di situ kenyataannya, supply itu gak ada, space yang tersedia gak ada. Kalau supply gak ada, space gak ada, maka kan terjadi kenaikan harga. Dan sebetulnya, di situ terjadi kebutuhan yang lebih lagi. Kalau orang bilang over supply, dimana yang over supply. Kalau ada yang kosong, pasti karena ada renovasi,” tuturnya.

Mengenai harga sewa ruang usaha di mall, yang oleh Handaka ditaksir antara Rp 75 ribu sampai Rp 1,2 juta per meter per bulan di kawasan Jakarta, memang kenaikannya tidak secara otomatis terjadi tiap bulan. “Harga tidak akan otomatis naik. Karena harga sewa itu dikunci dalam lima tahun. Tentunya harga akan naik jika kontraknya habis dan diperpanjang,” beber Handaka.

Namun demikian, Handaka mengakui sepenuhnya, bahwa persaingan bisnis pengelolaan mall semakin ketat. “Jadi gini. Persaingan mall itu ketat. Tapi masih menjanjikan. Makanya orang masih mau bangun mall.  Orang bilang over supply itu gak bener, karena buktinya mall penuh. Nah, inovasi harus tetap dilakukan,” tambahnya.

Handaka mencontohkan, beberapa inovasi dilakukan dalam pengembangan mall. Misalnya, ada sebuah pusat belanja di kawasan Jakarta Barat yang “membuang” lahan dengan membangun taman dan kolam guna memanjakan pengunjung. “Itu bukankah space yang terbuang. Tapi itulah yang sekarang orang bisa menikmati. Jadi belanja itu bukan suatu keharusan, tapi belanja itu adalah suatu rekreasi,” jelas Handaka.

Inovasi yang kedua, sambung Handaka, adalah dari segi kepraktisan. “Sekarang yang disebut superblok itu merupakan pilihan utama. Kenapa? Jadi orang kesitu tinggal di situ mau belanja tinggal turun dari apartemen,” tambahnya.

Memang, diakui Handaka, perkembangan mall paling pesat ada di Jakarta. Faktanya, dari 250 anggota APPBI, 75 ada di Jakarta. Jadi 30% dari jumlah mall anggota APPBI ada di Ibukota. Hal ini seiring dengan banyaknya turis, baik lokal maupun asing, yang datang ke Ibukota.  Namun, tegas Handaka, sesungguhnya tidak hanya di Jakarta atau di Jawa, perkembangan pesat bisnis mall juga melanda sampai ke daerah. “Luar Jawa oke. Ini di Makassar mau bangun lagi. Balikpapan juga. Sekarang daerah lain, perkembangannya bagus sekali. Jangan underestimate daerah. Di sana tumbuh pesat,” urainya.

Selain karena faktor turis, ramainya pengunjung mall juga dipengaruhi oleh gaya hidup sosial orang Indonesia. Handaka menampik kalau masyarakat Indonesia doyan belanja alias konsumtif. “Jadi masyarakat kita sebenarnya tidak konsumtif. Tapi gaya hidupnya lebih sosial. Lifestyle-nya lebih sosial. Itu gaya hidup sosial, life style, lebih ke keharmonisan family,” kata Handaka.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…