Perlu Penuhi Persayaratan Internasional - BSN dan KAN Siap Bantu Solusi Sertifikasi Halal

NERACA

 

Jakarta - Produk pangan, obat-obatan dan kosmetika harus aman dikonsumsi dan digunakan baik dari sisi kesehatan dan bagi umat islam harus halal. Label halal dari makanan yang didistribusikan di pasar seharusnya mengindikasikan statusnya (halal ataupun non halal).

Bagi produk makanan yang diproduksi oleh suatu perusahaan tidaklah mudah untuk menetapkan kehalalan produk dikarenakan proses produksi yang kompleks. Perkembangan teknologi memungkinkan produk dibuat dari bahan/material yang dilarang (tidak halal) misalnya dalam komposisi, bahan tambahan pangan, atau pada saat memproses berbagai macam makanan.

Konsekuensinya, terdapat beberapa makanan yang bercampur antara bahan/material yang halal dan tidak halal, hal ini menyebabkan status halal dari makanan tersebut menjadi tidak jelas (syub’hat, mashbuh). Sehubungan dengan status halal tersebut, seluruh proses makanan dengan status halal tidak boleh meragukan, harus dapat ditelusuri melalui proses sertifikasi halal.

Ketua Badan Standarisasi Nasional, Bambang Prasetya mengatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, oleh karena itu menjadi pasar yang cukup besar untuk sasaran makanan dan minuman halal dari berbagai Negara di dunia. Untuk melindungi konsumen, Indonesia mengoperasikan sertifikasi halal secara sukarela, yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan didukung oleh lembaga pemeriksa halal LPPOM-MUI yang melaksanakan audit ke industri atau produsen terkait.

"Menanggapi berita yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini terkait sertifikasi halal yang diramaikan di berbagai kalangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) merasa perlu berkontribusi dalam pemecahan masalah tersebut. Desakan serupa juga disuarakan oleh beberapa kalangan masyarakat," kata Bambang lewat siaran pers yang diterima redaksi Neraca, Selasa.

Lebih lanjut Bambang mengatakan sebagai lembaga yang diamanatkan oleh pemerintah untuk membina standardisasi nasional sebagaimana tercantum dalam PP 102 tahun 2000, dan KAN yang diamanatkan oleh PP 69 tahun 1999 (Penjelasan Pasal 11, ayat 1) untuk melakukan akreditasi bagi Lembaga Pemeriksa Halal, perlu menjelaskan esensi dari proses akreditasi dan sertifikasi yang terpercaya karena menegakkan prinsip ketidakberpihakan khususnya dalam menghindari konflik kepentingan.

"Dengan terjadinya penyalahgunaan penetapan atau designation lembaga sertifikasi halal, BSN dan KAN mengusulkan agar lembaga sertifikasi halal harus memenuhi persyaratan internasional di bidang penilaian kesesuaian dan yang lebih penting lagi harus diakreditasi oleh Badan Akrditasi yang memenuhi persyaratan internasional," ujar Bambang.

Untuk itu, sambung Bambang, BSN dan KAN menyambut baik dengan disusunnya RUU Jaminan Produk Halal yang saat ini masih dibahas di DPR, namun demikian RUU tersebut perlu mengacu pada ketentuan atau standar internasional, yang bertujuan untuk memberikan ketentraman umat islam dan memfasilitasi perdagangan yang adil.

KAN telah diakui di tingkat regional maupun internasional dalam kegiatan akreditasi dan sertifikasi (penilaian kesesuaian) yang ditunjukkan dengan adanya Multilateral Recognition Agreement (MLA). Dalam hal ini hasil penilaian kesesuaian yang diterbitkan oleh KAN diakui dan dipercaya di tingkat regional maupun internasional.

Prinsip akreditasi dan sertifikasi yang dilaksanakan, mampu menghindari bahkan menghilangkan konflik kepentingan baik dilihat dari sisi governance (tata kelola), kepemilikan, personel termasuk dengan adanya proses asesmen untuk mendapatkan bukti yang cukup (fact finding), selanjutnya proses review terhadap hasil asesmen dan diakhiri dengan proses pengambilan keputusan, dimana ketiga proses tersebut dilakukan oleh personil yang berbeda dan bebas dari konflik kepentingan.

Dalam hal ini, sebagai lembaga pemerintah KAN siap membentuk KAN Halal dengan skema khusus akreditasi dan sertifikasi halal untuk melaksanakan amanat yang tercantum dalam penjelasan PP 69 tahun 1999, untuk melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa halal.

Namun demikian hal ini belum dapat dilakukan karena terkendala oleh masalah teknis dan kelembagaan yang saat ini diharapkan bisa diselesaikan. Diharapkan dengan adanya akreditasi oleh KAN Halal, lembaga pemeriksa/lembaga sertifikasi halal dilakukan oleh pihak ketiga yang kompeten, transparan dan independen, serta liable, sehingga memberi pemastian tidak terjadinya konflik kepentingan.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…