Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digulirkan pada 1 Januari 2014, ternyata mulai memunculkan kekisruhan di masyarakat. Padahal, program pemerintah melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk menyelenggarakan jaminan sosial berdasarkan UU Nomor 40/ 2004 dan UU Nomor 24/ 2011. Ironisnya, sejak awal, banyak pihak pesimis program tersebut akan berhasil.
Indikasi kekisruhan jaminan kesehatan sudah muncul ketika sejumlah peserta Asuransi Kesehatan (Askes) yang harus bermigrasi ke BPJS Kesehatan. Program jaminan kesehatan dikeluhkan karena mengurangi kualitas layanan yang sebelumnya diterima peserta Askes. Jaminan biaya obat, rawat jalan, rawat inap, dan berbagai tindakan medis menurun drastis.
Tidak hanya itu. Banyak rumah sakit swasta di Jabodetabek masih ragu dan enggan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akibatnya terjadi penumpukan luar biasa pada RSUD pasca pemberlakukan program JKN tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati mengatakan, masih banyak rumah sakit (RS) swasta di Ibu Kota yang belum mengikuti program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS.
Menurut dia, dari 152 RS swasta di Jakarta, hanya 81 RS yang sudah mengikuti program BPJS. Sementara 71 rumah sakit lainnya menolak untuk bergabung dalam program pemerintah pusat tersebut.
Ini tentu sangat kontras dengan keinginan Kepala Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya saat peluncuran BPJS bidang kesehatan dan ketenagakerjaan serta program JKN di Istana Bogor, Selasa (31/12), mengatakan bahwa BPJS yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014 ini merupakan langkah penting bagi pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih layak dan lebih baik, terutama untuk masyarakat lapisan bawah.
"Melalui BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan ini, saya tidak ingin mendengar ada para pekerja yang tidak terlindungi. Saya juga tidak mau mendengar adanya laporan bahwa rakyat kurang mampu ditolak oleh rumah sakit dan tidak bisa berobat karena alasan biaya," kata Presiden.
Adapun alasan dari pihak RS yang belum mau bergabung, adalah soal sistem penagihan. Ada RS yang belum terbayar tagihan jaminan kesehatan hingga mencapai Rp 7 miliar lebih. Penundaan pembayaran tagihan ini tentu berdampak buruk pada cash flow RS yang akhirnya berdampak pula pada layanan rumah sakit.
Selain di Jabodetabek, banyak kota lain di Indonesia dimana sejumlah RS swasta enggan menjadi peserta BPJS karena kekhawatiran bahwa program itu bisa merugikan rumah sakit. Kekhawatiran itu bisa dimaklumi karena rumah sakit swasta harus dikelola secara bisnis yang sehat agar mampu memberikan layanan. Sedangkan di pihak RS pemerintah, persoalan kesiapan infrastruktur dan institusi masih menghantui.
Selain itu, kepesertaan bagi warga miskin juga menjadi problem tersendiri karena data yang tidak akurat mengenai warga miskin. Penduduk yang seharusnya pantas mendapat Jamkesmas justru tidak terdaftar, sebaliknya warga yang tergolong mampu secara ekonomi justru terdaftar sebagai penerima manfaat Jamkesmas. Ini perlu mendapat perhatian serius pemerintah pusat.
Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…
Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…
Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…
Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…
Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…
Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…