IURAN DINILAI JADI BEBAN - Fasilitas Maksimal, Kinerja OJK Masih Minimal

Jakarta- Setelah industri perbankan yang mengeluhkan soal iuran operasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi beban terhadap kinerja perseroan. Hal yang sama juga dilontarakan pelaku industri pasar modal terhadap kebijakan iuran OJK. Alasannya, kewajiban iuran OJK belum tentu dibarengi dengan peningkatan kinerja OJK dalam melindungi investor pasar modal. Bila ini terjadinya, tentunya bertolak belakang dengan fasilitas yang diberikan secara maksimal. Namun kinerja masih minimal.

NERACA

Direktur Utama Mandiri Sekuritas Abiprayadi Riyanto mengungkapkan, adanya iuran ini harus dibarengi dengan peningkatan kinerja OJK sebagai otoritas di industri jasa keuangan dalam pengawasan,”Kita tahu bahwa dalam pengawasan ini perlu biaya tapi kita tekankan, oke ada manfaatnya”, katanya di Jakarta, Senin (24/2).

Pihaknya meminta kepada OJK untuk meningkatkan kinerjanya di bidang pengembangan industri pasar modal. Misalnya, investor di pasar modal perlu digenjot lebih banyak, OJK juga perlu mendorong perusahaan untuk bisa melakukan penawaran saham perdana di bursa efek.OJK seharusnya ada kontribusi seperti sosialisasi, edukasi financial inclution, ini buat pengembangan investor pasar modal dan memperbanyak perusahaan untuk go public”,tegasnya.

Meski begitu, dia mengaku tidak keberatan dengan aturan baru OJK soal penarikan iuran sebesar 0,015-0,03% dari aset perusahaan penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek. Dia menambahkan, iuran yang dibebankan kepada masing-masing industri jasa keuangan dinilai sebagai salah satu bentuk pengawasan otoritas.Kami setuju saja asal ada manfaatnya. Kita tetap kooperatif dan support dan hanya mengikuti saja”, tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Isaka Yoga, pihaknya sangat berkeberatan dengan pemberlakuan pungutan di industri keuangan, termasuk pasar modal. Apalagi saat ini belum dirasakan manfaat sejak bergantinya pengawasan dari Bapepam LK menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Dari dulu kita tidak setuju, tapi sudah menjadi amanat undang-undang mau bagaimana lagi? Sebenarnya kita kan dari dulu minta pungutan iuran itu setelah dalam jangka waktu lima tahun ke depan sehingga orang bisa merasakan manfaat dari OJK.” jelasnya.

Selain itu, menurut dia, jangka waktu sosialisasi untuk peraturan yang baru ini juga dirasa belum cukup. Padahal dalam ketentuan tersebut, tentunya terdapat kewajiban dan sanksi yang harus dipenuhi emiten setelah ketentuan tersebut diterapkan sebagai peraturan. “Sosialisasi belum cukup. Diundangkan pada Januari kemarin, kemudian diterapkan pada Maret. Padahal di situ juga ada sanksi.” ucapnya.

Pihak asosiasi, kata dia, juga mempertanyakan, kenapa perhitungannya atas pungutan yang dilakukan OJK harus didasarkan pada aset. “Kenapa punya aset, terus dipungut iuran. Sebelumnya juga ada pengawasan, tapi tidak ada pungutan. Padahal belum kelihatan bedanya, dulunya Bapepam-LK, sekarang masuk OJK.” tandasnya.

Lembaga Komersial?

Dengan adanya iuran, pihaknya menilai, OJK tampak menjadi lembaga komersil. Padahal, selain membayar biaya listing ke pihak bursa, emiten juga harus membayar pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. “Meskipun kecil, tentunya menambah biaya.” ujarnya.

Lepas dari hal tersebut, dia berharap, dengan diberlakukannya pungutan iuran ini seharusnya ada kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan ke emiten. “Mungkin bisa misalnya pembinaan kualitas emiten. Apalagi saat ini likuiditas diserahkan ke emiten masing-masing. Jadi masalah pengembangan investor  atau pengembangan nasional seharusnya bisa dilakukan OJK untuk peningkatan likuiditas.” pungkasnya.

Sementara Ketua Ikatan Pialang Efek Indonesia (IPEI) Ali Hanafiah mendesak, adanya iuran yang ditarik OJK dari industri jasa keuangan termasuk pasar modal, perlu ada keterbukaan dan dilaporkan. Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan para pelaku industri jasa keuangan agar tidak merasa iuran tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya.“Sangat perlu ada transparansi penggunaan dana yang diberlakukan di OJK, apalagi jumlah iuran tersebut tidaklah sedikit totalnya,”tegasnya.

Menurut dia, hingga saat ini kinerja OJK belum bisa dikatakan baik atau buruknya. Pasalnya, otoritas ini baru seumur jagung, namun dia mengaku OJK perlu serius menggunakan iuran tersebut untuk meningkatkan industri keuangan.“OJK harus mampu menyosialisasikan lembaganya terlebih dahulu hingga pelosok Indonesia sebelum menyosialisasikan pasar modal, asuransi dan lainnya. Hal ini perlu, agar orang tahu lembaga pengaduan untuk masalah industri keuangan yang dihadapi”, paparnya.

Selain itu, perlu disosialisasikan akan digunakan untuk apa anggaran sebesar itu oleh OJK. Karena, menurutnya iuran tersebut akan sangat terasa sekali jika dibebankan ke anggota bursa. Selain itu, dia juga berharap OJK memaparkan formulanya untuk meningkatkan industri jasa keuangan khususnya pasar modal yang masih sangat awam bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

“Kalo tuntutan pihak sekuritas mengenai penambahan emiten, itu merupakan target Bursa, tetapi jangan hanya memenuhi target 30 emiten saja, OJK perlu mendesak BEI agar melantaikan emiten yang akan menambah likuiditas saham”, pungkasnya.

Sebelumnya, Eko Listiyanto, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance pernah bilang, hak OJK mengambil iuran dari industri jasa keuangan yang terlalu besar justru harus dipertanyakan. Maksudnya, apabila kebijakan tersebut bergulir maka harus ada check and balances serta pengawasan terhadap semua anggaran yang masuk ke kas regulator.

Atas kebijakan tersebut, sambung dia, tentu saja banyak pelaku perbankan nasional sangat keberatan karena dinilai memberatkan terutama bagi bank-bank kecil yang memang secara profitabilitas minim. “Wajar saja jika banyak bank yang keberatan dengan kebijakan iuran untuk OJK ini, apalagi untuk bank-bank kecil yang memang keuntungannya kecil,” ungkapnya.

Sebagai informasi, terhitung mulai 1 Maret 2014, OJK bakal menarik pungutan kepada seluruh industri jasa keuangan seperti pasar modal, perbankan, dan industri keuangan non bank (IKNB). Penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening nasabah juga akan dikenakan besaran sekitar 0,015-0,03% dari aset. lia/nurul/bani

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…