"Mafia Minyak" Hambat Bangun Kilang? - TIDAK ADA POLITICAL WILL PEMERINTAH

 

Jakarta – Pengamat dan anggota DPR menilai semua kerjasama dengan luar negeri untuk membangun kilang minyak seharusnya dibatalkan. Pasalnya, biaya investasi untuk membangun kilang terbilang murah, bahkan pemerintah seharusnya mampu menganggarkan melalui APBN saja sudah bisa terealisasi. Lantas siapa yang menghalangi pembangunan kilang minyak di dalam negeri tersebut?

NERACA

“Tidak menguntungkan itu bangun kilang dengan kerjasama luar negeri. Masalahnya bangun kilang BBM itu murah jika kita bandingkan dengan hasil yang diperolehnya.  Jika membangunnya dengan kerjasama luar negeri, maka keuntungan yang semestinya menjadi berkurang. Belum lagi ditambah kerugian permintaan insentif pajak yang kerap di luar akal sehat,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskeppi) Sofyano Zakaria kepada Neraca, Rabu (12/2).

Menurut dia, seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mempunyai rencana anggaran untuk hal tersebut. Namun sayangnya, selama ini pemerintah tidak pernah serius untuk membangun kilang minyak. Maka dari itu jangan harap konsep kemandirian energi dapat terealisasi di negeri ini. Terakhir, pembangunan kilang minyak di Balongan, Indramayu, pada era Orde Baru sekitar tahun 1990-an.

Sofyano menganggap lucu aksi pemerintah yang sibuk mencari investor asal Singapura untuk membangun kilang di sini.  Padahal, pada saat yang sama pemerintah baru saja melakukan kesepakatan dengan Iran untuk membangun kilang. “Ini bukan masalah Singapura mau jegal Iran punya kilang di Indonesia. Tapi masalah pemerintah terkesan rakus mau ambil semua proyek,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, sulitnya pemerintah Indonesia untuk membangun rifannery atau kilang minyak karena selalu dihalangi oleh "mafia perminyakan" yang bekerjasama dengan petinggi di negeri ditambah lagi ada pengaruh dari pihak asing yang sangat kuat.

"Untuk membangun kilang baru sebenarnya tidak ada yang sulit, asalkan pemerintah mau bersifat terbuka dan objektif. Pasalnya didalam pembangunan kilang tersebut ada dua aspek yang sangat penting seperti ketahanan energi dan bisnis yang dapat menunjang perekonomian di dalam negeri," ujarnya, kemarin.

Lebih lanjut Marwan mengatakan kalau pemerintah hingga kini tidak pernah serius untuk membangun kilang, karena ada beberapa investor yang kemarin sudah serius ingin bekerjasama untuk membangun kilang, namun malah ditanggapi dingin dan terkesan menyepelekan.

"Untuk membangun kilang. Pemerintah hanya punya dua pilihan apakah dalam rangka bisnis atau dalam rangka ketahanan energi. Salah satu dari dua poin tersebut, harus dipilih pemerintah.  karena pembangunan kilang tidak bisa dibangun jika dua unsur ini ingin dimasukkan sehingga ada salah satu yang dikorbankan,"tegas Marwan.

Jika dalam rangka ketahanan energi, Marwan menilai wajar jika investor meminta keringanan pajak. Sebagaimana yang diminta salah satu investor yang urung membangun kilang yaitu Kuwait Petroleum Corporation (KPC). Jadi pemerintah dalam hal ini jangan terlalu kaku dalam mengambil kebijakan, karena ini terkait dengan investasi yang menyangkut dengan ketahanan energi nasional.

Instrumen Fiskal

Dihubungi terpisah, anggota Komisi VII DPR Satya Wirya Yudha mengatakan pemerintah harus serius dalam membangun kilang minyak serta mempunyai kebijakan investasi yang riil dengan memberikan instrumen fiskal untuk insentif. Pemerintah bisa mengeluarkan instrumen untuk mempercepat rencana investasi ini. Hal ini dilakukan untuk investasi masuk tidak terhambat oleh kebijakan pemerintah yang terkesan tidak sungguh-sungguh dalam mendapatkan investasi pembangunan kilang ini.

“Namun, jangan terlalu berharap banyak kepada swasta maupun investasi luar, dimana banyak investasi pembangunan kilang ini di hambat oleh pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah harus bergerak dengan melakukan pembangunan kilang, entah itu melalui investasi sendiri maupun dari luar sehingga kilang minyak baru dapat terwujud,” kata dia.

Meski terjadi kerjasama investasi dengan Iran mengenai pembangunan kilang, lanjut dia, diperlukan suatu kebijakan pemerintah untuk menguntungkan bagi pihak Indonesia sehingga bisa dimanfaatkan keuntungannya itu. Beberapa kali pemerintah mempunyai rencana pembangunan kilang yang tidak juga terwujud, sehingga pemerintah harus berusaha semaksimal untuk meredam impor BBM.

“Bahkan sudah banyak izin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembangunan kilang, namun tidak ada realisasinya. Oleh karenanya, diperlukan niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merealisasikannya dikarenakan selama ini pembangunan kilang banyak dihambat oleh pemerintah, dan bukanlah pihak lainnya,” ujarnya.

Menurut dia, pembangunan kilang ini harus dilakukan karena untuk menekan neraca perdagangan Indonesia yang selama ini defisit akibat impor BBM jauh lebih besar dari devisa ekspor yang kita peroleh. Apabila impor BBM terus menerus membesar maka dipastikan bahwa neraca perdagangan Indonesia akan selalu defisit.

“Penambahan kilang minyak ini merupakan instrumen atau kebijakan yang tepat. Daripada kita impor bahan bakar minyak, bahkan akan membebani anggaran, lebih baik kilang minyak diperbanyak,” ungkap Satya.

Pengamat energi Kurtubi mengatakan pemerintah Indonesia memang terlalu sibuk mengurusi diri sendiri. Pasalnya, nasionalisasi kilang sebetulnya sangat mudah dilakukan, asalkan pemerintah memiliki political will (kemauan politik) yang tinggi.

 “Sambil lobi Iran juga lobi Singapura. Ini bahaya bisa membatalkan rencana kedua belah pihak untuk bangun kilang di dalam negeri. Meskipun juga perlu diakui kerjasama itu tidak ada yang menguntungkan mengingat sebetulnya pemerintah bisa bangun kilang sendiri di dalam negeri,” tegas Kurtubi.

Lebih jauh dia melihat ada pihak yang selalu menghadang Indonesia jika ada rencana nasionalisasi kilang minyak. Hal itu tercermin dari kebijakan pemerintah yang selama ini hanya memiliki kilang Balongan meski usianya sudah usang. Namun tidak pernah lagi membangun kilang yang baru melalui investasi yang diambil dari APBN.

Menurut pengamat ekonomi UI, Eugenia Mardanugraha, sulitnya pembangunan kilang minyak di Indonesia, tidak hanya faktor keterbatasan dari sisi biaya maupun teknologi, namun juga ada pihak-pihak yang menginginkan agar Indonesia terus melakukan impor. Pasalnya, dengan pembangunan kilang minyak, tentunya dapat menutup kesenjangan pasokan dan konsumsi yang tinggi. Dan yang lebih penting lagi, dapat mengurangi ketergantungan impor BBM.

“Bisa saja Singapura mengatur agar Indonesia tidak dapat melakukan perdagangan secara langsung dengan pihak lain.” ucapnya.

Meski dipasok dari negara-negara lain seperti timur tengah, kata dia, Singapura memegang perdagangan minyak dan gas bumi yang cukup besar di Asia Tenggara. Termasuk untuk melakukan impor BBM ke Indonesia.  “Supaya pihaknya tetap diuntungkan. Selain itu, untuk pelabuhan dan sebagainya karena dengan impor tentunya harus melalui Singapura.” ujarnya.

lulus/lia/iwan/mohar/ardhi

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…