NERACA
Jakarta - Pemerintah terus berupaya menarik investor untuk berinvestasi di sektor energi, utamanya dalam hal pembangunan kilang minyak. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengatakan saat ini, pemerintah sedang membuka diskusi dengan pelaku usaha di Singapura.
"Hari ini kebetulan Wamenkeu dan Wamen ESDM sedang market sounding untuk menyampaikan suatu usulan kepada para pihak yang berminat dan untuk pembangunan kilang minyak," kata Mahendra di Jakarta, Selasa (11/2).
Mahendra menambahkan, setidaknya terdapat 30 pelaku usaha atau investor yang hadir dalam pertemuan tersebut. Jumlah tersebut diharapkan mencerminkan minat investor untuk berinvestasi di sektor energi Indonesia.
"Sekarang sedang dilakukan di Singapura, ada 30-an perusahaan minyak dan investor. Saya harap jumlah yang hadir itu sendiri menunjukkan minat yang besar, saya harap bisa ditindaklanjuti dengan konkret," tambahnya.
Upaya pemerintah menjaring investor tersebut menyusul kondisi sumur-sumur penghasil minyak di Indonesia yang semakin menurun. Dengan keterlibatan investor tersebut dalam pembangunan kilang minyak, ketahanan energi di Indonesia tercapai dengan baik. "Market sounding kita membuka konsultasi, apa yang diperlukan karena dengan begitu bisa dipelajari lebih lanjut mana-mana yang bisa dilakukan," tutur Mahendra.
Sementara itu, pemerintah berencana membangun kilang pengolahan minyak mentah (refinery). Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah melakukan studi untuk persiapan pembangunan kilang itu, termasuk penentuan lokasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Evita Legowo mengatakan kilang tersebut akan dibangun mulai 2015 dan ditargetkan selesai pada 2018."Harapan saya kalau ini (persiapan) beres, pada 2015 mulai konstruksi. Jadi tiga tahun diharapkan 2017 atau 2018 selesai," ujarnya.
Ia mengatakan saat ini pihaknya bekerja sama dengan Pertamina untuk melakukan studi dan persiapan termasuk penentuan lokasi pembangunan kilang. Untuk pelaksanaan studi, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp1 triliun."Itu Rp1 triliun untuk studinya, untuk multiyears, 5 sampai 6 tahun" imbuh Evita.
Menurutnya, sudah ada sejumlah lokasi yang dinilai potensial untuk dibangun kilang. "Kita sedang milih-milih, apa di Sumatra atau beberapa lokasi lain yang sedang kita lihat. Juga terkait kemajuan dari negosiasi dengan Kuwait dan Arab Saudi nanti kita lihat seperti apa. Karena itu, Rp1 triliun termasuk untuk lokasi," jelasnya.
Evita melanjutkan dana yang dibutuhkan untuk membangun kilang minyak berkapasitas 3.000 MMSCFD itu sebesar Rp90 triliun. Adapun untuk pembangunan itu akan mengambil dana dari APBN. "Kita ingat juga Balikpapan dulu juga (dari) anggaran APBN jadi kita sekarang potong yang lama sekalian. Bahkan yang Balikpapan, Cilacap Balongan pun ada dana APBN-nya," tutur dia.
Pembangunan kilang oleh pemerintah ini, lanjut Evita, merupakan wujud keprihatinan atas terbengkalainya pembangunan kilang minyak yang terhalang oleh kendala-kendala seperti tuntutan dari investor yang tinggi. "Soalnya kita ingin sejak 1998 lalu, namun terhalang dua hal. Satu dana dan bukan hanya itu, apapun kalau kita tergantung sama investor asing kan banyak persyaratan. Ini mudah-mudahan enggaklah," tandasnya.
Sekedar informasi masalah ketahanan energi adalah persoalan serius yang perlu mendapat penanganan komprehensif. Tengok saja, ketahanan energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) terus menekan pertumbuhan perekonomian nasional.
Impor BBM yang melambung kini menjadi salah satu pendongkrak kenaikan defisit neraca perdagangan. Kebutuhan BBM yang tinggi membuat pemerintah sulit bernafas lega belakangan ini. Bayangkan, stok BBM dalam negeri rata-rata hanya mampu memenuhi kebutuhan selama 20 hari. Bandingkan dengan stok BBM Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang sekitar 107 hari. Begitu rawan di tengah kebutuhan BBM yang terus melonjak. Celakanya, konsumsi energi yang melambung itu tidak diiringi dengan kenaikan produksi sehingga lima tahun ke depan Indonesia diprediksi menjadi importir minyak terbesar di dunia.
“Impor kita bisa tiga kali lipat dibandingkan pada tahun ini,” ungkap Vice President of New Venture Business Development Investment Planning and Risk Management Pertamina Ardhy N Mokobombang. Tahun lalu konsumsi BBM mencapai 45 juta kiloliter dan tahun ini bisa mencapai 50 juta kiloliter. Sedangkan produksi minyak dalam negeri terus menurun pada kisaran 840–850 barel per hari. Pertumbuhan konsumsi BBM yang tinggi juga dialami negara lain di kawasan Asia-Pasifik, namun mereka punya antisipasi yang jelas seperti di China dan India.
NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…
NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…
NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…
NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…
NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…
NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…