Kapan Pendidikan Di Negeri Ini Beranjak Maju ? - Oleh: Prof. DR. H. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang

Beberapa bulan  terakhir, orang-orang di kalangan pendidikan sudah mulai sibuk menyiapkan ujian nasional. Para guru, khususnya guru yang memegang mata pelajaran yang diujikan secara nasional, sudah mulai digembleng, agar berhasil mengantarkan para siswanya lulus ujian nasional. Para siswa sendiri juga sudah mulai meningkatkan kegiatan belajarnya, bahkan juga ikut kursus bimbingan belajar. Semua kegiatan itu dilakukan agar para siswa  lulus semua.

Padahal, setiap tahun, peserta ujian nasional  hampir semua lulus. Lihat saja kelulusan ujian nasional selalu di atas 95 %. Bahkan mereka yang sekalipun tidak lulus, akhirnya juga akan lulus lewat ujian paket C. Lalu apa yang ditakutkan, kecuali rasa malu disebut tidak lulus atau lulusnya ditunda. Selain itu, mereka juga tidak sadar bahwa sekolah ini bukan semata-mata ingin meraih lulus ujian akhir, tetapi juga seharusnya mencari bekal untuk ujian selanjutnya, yaitu tatkala ujian di tengah masyarakat.

Masih terkait pendidikan ini, ada fenomena yang cukup menggelisahkan. Tidak sedikit lulusan sekolah yang tidak bisa tertampung dalam dunia kerja. Pengangguran dari tahun ke tahun semakin banyak jumlahnya.  Tatkala mendapatkan pekerjaan di daerahnya sendiri tidak berhasil, mereka migrasi ke kota, untuk bekerja  apa  adanya. Bagi mereka yang agak beruntung, pergi ke luar negeri, menjadi TKI. Mereka itu sering disebut sebagai pahlawan devisa, sekalipun pada hakekatnya hanya  sebatas menjadi buruh kasar.

Menjadi pekerja di luar negeri sebenarnya tidak masalah, asalkan jenis pekerjaannya itu agak bergensi atau berupah tinggi.  Namun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Banyak pekerja yang berasal dari Indonesia hanya sebagai pembantu rumah tangga, sopir, dan tenaga suruhan lainnya. Dengan  status seperti itu, mereka tidak saja bergaji rendah, tetapi juga kurang dihormati oleh majikannya. Bangsa ini kemudian hanya disebut sebagai bangsa yang rendah atau kurang bermartabat.  Status TKI yang  hanya sebagai buruh kasar, menjadikan mereka tidak dihargai.

Antara kualitas pendidikan yang dihasilkan tentu sangat erat kaitannya dengan jenis pekerjaan yang bisa diperoleh. Manakala kualitas hasil pendidikan itu benar-benar unggul, maka tidak hanya akan menjadi buruh kasar sebagaimana dimaksudkan di muka. Mereka itu menjadi buruh kasar oleh karena kualitas pengetahuan dan ketrampilannya masih rendah. Kenyataan seperti itu, mestinya dilihat secara cermat oleh para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini.

Usaha-usaha perbaikan kualitas pendidikan, sebenarnya  telah dilakukan. Namun  pertanyaannya adalah, apakah kebijakan yang menelan biaya yang tidak kecil itu telah benar-benar strategis dan berhasil menyelesaikan persoalan pendidikan selama ini. Guru memang telah disertifikasi dan bahkan telah ditingkatkan jenjang pendidikannya. Para guru telah memegang sertifikat profesional. Biaya sertifikasi juga ditanggung oleh pemerintah  dan jumlahnya  tidak kecil.  Bahkan, setelah mereka dinyatakan sebagai guru bersertrifikat profesional, maka tunjangan mereka juga harus dinaikkan. Lagi-lagi, pemerintah  harus menanggung beban itu semua.

Peningkatan kualitas guru juga dilakukan dengan cara meningkatkan jenjang pendidikannya. Mereka yang belum memiliki ijazah S1, maka disekolahkan dengan biaya negara. Di perguruan tinggi mana, mereka itu kuliah juga tidak terlalu diperhatikan, tetapi yang penting mereka harus berijazah S1. Untuk merespon kebijakan pemerintah ini, maka perguruan tinggi  menyelenggarakan  program-program perkuliahan yang  kadang tidak masuk akal. Dengan hanya mengikuti  kuliah 6 kali dalam setahun, mereka dinyatakan  lulus S1.  Atau, mengikuti  kuliah yang dipadatkan, setiap minggu dua hari, yaitu sabtu dan minggu. Bahkan, mereka itu masuk kuliah atau tidak, asalkan mendaftar dan membayar biaya pendidikan, akan diluluskan.

Peningkatan kualitas pendidikan seperti ini jelas tidak akan menghasilkan apa-apa.  Persyaratan formal yang dituntut  memang telah dipenuhi, tetapi secara substantif, apakah  kemampuan atau kapabilitas mereka meningkat,  selama ini belum ada yang bisa menjawabnya. Laporannya memang jelas, bahwa sudah sekian persen para guru  berhasil disertifikasi, sekian persen telah lulus S1 dan bahkan S2, tetapi dari aspek kualitasnya kiranya perlu diuji kembali. 

Hal lain  yang perlu dicatat, bahwa peningkatan kualitas pendidikan tidak cukup hanya melalui target-target yang bersifat formal dan berbentuk angka-angka seperti itu. Bolehlah apa saja dipalsu dan dimain-mainkan, tetapi semestinya jangan memainkan pendidikan. Resikonya terlalu berat terhadap  generasi ke depan.

Di tengah-tengah persoalan pendidikan yang masih dikeluhkan itu,  misalnya  menyangkut ujian nasional, kualitas guru, sertifikasi,  dan lain-lain, akhir-akhir ini muncul rencana baru, yaitu pemerintah  akan memberi  gelar tambahan pada setiap guru, ialah Guru profesional. Boleh-boleh sajalah  gelar itu diberikan, akan tetapi yang perlu dipertegas adalah bahwa persoalan pendidikan   tidak cukup diselesaikan dengan berbagai macam gelar itu. Penanggung jawab pendidikan sekarang ini masih perlu membayar utang, ialah misalnya anak-anak yang sudah dinyatakan lulus ujian Bahasa Inggris semestinya harus benar-benar bisa berbahasa Inggris, para lulusan sekolah seharusnya memiliki kecakapan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, mereka mencintai sekolahnya, memiliki wawasan dan karakter yang luas dan mulia, dan seterusnya.

Sebaliknya, setelah lulus sekolah menengah atas misalnya, mereka   tidak hanya mampu mengisi lapangan pekerjaan sebagai cleaning servies, security, dan semacamnya. Sekarang ini, kita menunggu lulusan sekolah menengah yang kaya ide, cerdas, kreatif, pemberani, berkarakter, berwawasan luas, bangga terhadap  bangsa dan negaranya. Lembaga pendidikan benar-benar menyenangkan dan mampu menyiapkan generasai kebanggan bangsa ini.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan tidak saja memiliki guru yang berijazah dan bersertifikat, dan apalagi hanya sebatas  sebagai pelaksana tugas, tetapi guru yang menyandang integritas tinggi, bertanggung jawab, bisa dipercaya, mencintai profesinya, dan benar-benar berjiwa guru. Namun aneh,  kabarnya, para guru  sekarang ini, sebatas menjadi  pengawas ujian nasional  saja  tidak sepenuhnya dipercaya. Buktinya, pemerintah sampai  meminta bantuan polisi dan atau dosen perguruan tinggi untuk mengamankan soal dan menjadi pengawas ujian. Jika demikian itu yang terjadi, lalu kapan  pendidikan ini meraih kemajuan ? Wallahu a’lam. (uin-malang.ac.id)  

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…