Caleg Dan Pembangunan Berorientasi Pedesaan - Oleh: Prof. DR. H. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang

Rasanya membangun Indonesia yang sedemikian luas memang tidak mudah. Persoalannya sedemikian banyak dan komplek. Berbicara tentang bagaimana cara  memenuhi lapangan kerja saja misalnya, tidak mudah. Data tentang SDM, jenis pekerjaan yang dibutuhkan, modal yang diperlukan, jenis usaha apa yang sekiranya bisa dikembangkan agar berpotensi menambah lapangan kerja,  dan seterusnya,   oleh karena  sedemikian luas wilayah negara ini, hingga semua itu tidak mudah dirumuskan.

Pemerintah pada setiap tahun membagi-bagi  anggaran ke masing-masing kementerian. Ada kementerian yang diberikan anggaran sedemikian besar, seperti kementerian pendidikan dan kebudayaan, kementerian pekerjaan umum, kesehatan, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah apakah dengan anggaran yang besar seperti itu mampu menyentuh kebutuhan masyarakat pada tingkat bawah. Selain itu, apakah orang-orang yang berada dan hidup di tingkat pedesaan turut merasakan  dana dari pusat itu,  dan juga sudah sesuai dengan kebutuhannya.

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, baik dari adat istiadat, budaya, bahasa daerah, alam dan lingkungannya,  mata pencariannya,  agamanya, dan lain-lain. Kemajemukan yang selalu dibanggakan itu hingga menjadikan karakteristik masing-masing daerah  diusahakan tetap tumbuh dan berkembang. Etnis Madura misalnya, tidak perlu diubah menjadi Jawa dan begitu sebaliknya. Demikian pula,  etnis Padang tidak perlu diubah menjadi Papua, dan  Papua tidak perlu diubah menjadi Aceh, Jawa atau kalimantan. Mestinya keadaan yang beraneka ragam itu dibiarkan agar masing-masing etnis tetap berkembang sebagaimana adanya.   

Penduduk  yang beraneka ragam itu masing-masing menempati unit pemerintahan terkecil, disebut dengan desa. Penyebutan desa tidak selalu dimaknai secara harfiah, bahwa tempat itu  berada di desa. Di kota pun juga terdapat sebutan desa, kelurahan, atau mungkin istilah lain dengan makna yang sama. Masing-masing desa yang jumlahnya puluhan ribu itu tentu menghadapi persoalan yang berbeda-beda. Kelurahan  yang berada di tengah kota tentu menghadapi persoalan yang berbeda dengan desa yang berada di wilayah pegunungan, tepi pantai, rawa-rawa, dan juga  daerah kehutanan.

Persoalan tenaga kerja yang dihadapi oleh masyarakat desa yang berbeda juga akan berlainan. Masyarakat pedesaan di sekitar kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, yang semua itu adalah  merupakan kota-kota besar,  tentu akan berbeda dengan persoalan masyarakat pedesaan yang tinggal di NTT, Maluku, Madura, Papua,  dan sejenisnya. Sayangnya tatkala membuat kebijakan, perbedaan-perbedaan itu luput dari perhatian. Tatkala menyusun kurikulum nasional misalnya, belum terlalu memperhatikan realitas masyarakat yang majemuk itu.

Agar pembangunan di berbagai bidang kehidupan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, maka sebenarnya masih ada alternatif yang bisa dipertimbangkan, yaitu misalnya,  kebijakan itu  seharusnya berorientasi pada  pedesaan.  Desa diberikan anggaran yang cukup untuk membiayai kegiatannya,  baik di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Masyarakat desa dengan begitu akan mengambil peran-perannya secara kongkrit. Program pembangunan akan lebih menyentuh pada kebutuhan  riil oleh karena,   mereka lebih tahu tentang persoalan hidupnya sehari-hari. Menyangkut pendidikan misalnya, mereka lebih tahu tentang format pendidikan yang dibutuhkan seperti apa, persoalannya seperti apa dan bagaimana menyelesaikannya. Selain itu, orang desa menjadi tidak dilayani, melainkan mereka diberi keleluasaan memecahkan persoalan  dan melayani dirinya sendiri.

Lewat kebijakan tersebut, maka  arah  dan cara mendidik anak Jakarta akan berbeda dengan arah dan cara mendidik anak-anak NTT, Papua, Kalimantan, Sulawesi,  daerah-daerah pesisir di Sumatera, dan lain-lain. Pemerintah daerah dan juga pusat, perannya   sebatas memberi dukungan dana, fasilitas,  dan hal-hal lain yang diperlukan. Kebijakan pendidikan seperti itu akan  lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat yang majemuk atau berbhineka tunggal ika.  Terlalu sering kita  menyebut dan bangga terhadap jargon bhineka tunggal ika itu, tetapi dalam praktek pengambilan kebijakan selalu berorientasi pada penyeragaman.  Akibatnya, banyak hal yang mubadzir, oleh karena produknya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang lebih nyata.

Saya membayangkan, manakala sebuah desa diberikan kewenangan untuk membuat program pengembangan pendidikan sendiri, maka desa itu akan lebih hidup. Sekarang ini sudah banyak sarjana yang ada di desa. Mereka itu bisa dimobilisasi untuk melakukan peran-peran strategis. Dengan membuka partisipasi  seperti itu, mereka akan bangga dengan keberhasilan dan atau prestasi desanya masing-masing. Kekhawatiran berpotensi terjadi penyimpangan memang ada, tetapi bisa diminimalisir dengan pengawasan dan petunjuk dari pemerintah tingkat atas yang lebih tegas dan jelas. Itulah selintas yang saya maksudkan dengan gerakan pembangunan berbasis desa.

Ide sederhana ini, sengaja saya tulis dengan harapan,  siapa tahu,  ada caleg DPRD, DPR-RI atau DPD   yang membaca. Selanjutnya,  dari membaca tulisan ini muncul inspirasi untuk memperjuangkannya tatkala mereka nanti benar-benar menjadi wakil rakyat.  Akhir-akhir ini, saya merasa sedih, ternyata tidak sedikit  caleg yang berkampanye hanya sekedar memasang foto dirinya sendiri di pinggir-pinggir jalan, di mobil, di bagian belakang kaca bus, kendaraan angkot,  dan lain-lain. Mereka belum menunjukkan secara jelas, tatkala nanti terpilih, apa sebenarnya yang akan diperjuangkan. 

Selama ini, rasanya belum ada caleg yang memiliki janji atau kesanggupan yang kongkrit tentang apa yang spesifik akan diperjuangkan. Misalnya saja, kalau  terpilih akan memperjuangkan kebijakan pro rakyat  yang bersifat majemuk, memperkuat dan mengembangkan potensi pedesaan, meningkatkan fungsi dan kualitas tempat ibadah bagi  berbagai agama, dan lain-lain. Umpama dalam berkampanye,  para caleg itu misalnya, tatkala terpilih,  akan memperkuat basis pembangunan pedesaan sebagaimana tulisan ini, maka para pemilihnya tidak sekedar memilih orang yang fotonya cantik, atau gagah, melainkan memilih orang yang benar-benar memiliki cita-cita jelas. Wallahu a’lam. (uin-malang.ac.id)    

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…