Manajemen Banjir

Manajemen Banjir
Oleh Bani Saksono

(Harian Ekonomi Neraca)

 

Kota Jakarta, kini telah terikat erat dengan daerah sekitarnya menjadi kawasan megapolitan Jabodebotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Artinya, satu sama lain mempunyai keterikatan dan ketegantungan dalam menyelesaikan satu masalah terkait kawasan besar itu.

Kebanyakan orang yang bekerja atau mempunyai usaha di Jakarta, tinggal di luar Jakarta. Semisal di daerah Bumi Serpong Damai (BSD) dan Alam Sutra di Tangerang, Raffles, Citra Grand, di Pesona Kayangan, Bukit Golf, dan Telaga Kahuripan di Depok, atau Taman Galaksi dan Kemang Pratama di Bekasi. Atau di Sentul, Bogor. Dari tempat tinggal ke Jakarta, mereka membutuhkan sarana transportasi, jalan-jalan penghubung.

 

Sedangkan terkait dengan banjir, ada keterkaitan antara hulu dan hilir atas 13 sungai yang masuk di Jakarta. Hulu di kawasan Bogor dan hilir dari ke-13 sungai itu melintasi banyak  wilayah di Jakarta  sebelum berlabuh di Teluk Jakarta.  Tata air tanah dan sungai itu tak bisa sepenuhnya diatur oleh masing-masing pemerintah daerah. Misalnya hulu urusannya Bogor dan hilir menjadi tanggung jawab Jakarta saja.  

 

Sinergi dan kerjasama Jakarta dengan daerah penyangga itu mutlak harus dijamin. Untuk memayungi sinergi dan kerjasama itu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ketika itu jauh hari mengusulkan dibentuknya semacam Otorita Jabodetabek yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri dan bertanggung jawab kepada Presiden.  

 

Otoritas itulah yang akan mengatur dan mengurus berbagai hal yang terkait dengan masalah perbatasan, baik soal tata air hingga sistem transportasinya. Kemacetan di Jakarta tentu menjadi andil bagi daerah. Demikian juga soal banjir. Sudah sering kita dengar ungkapan banjir kiriman.   

 

Yang menjadi problem bagi Jakarta adalah ketika air hujan di Bogor atau Puncak, tak banyak yang terserap ke tanah, karena lahan sudah ditutup oleh hutan beton, termasuk yang berbentuk vila, dan perumahan. Air hujan pun langsung mengalir ke Jakarta dengan jalannya sendiri dalam jumlah besar. Perjalanan itulah yang menyebabkan Jakarta mendapat ‘banjir kiriman’.

 

Menjadi banjir, karena daya resap air oleh tanah sudah jauh menurun.  Meluapnya air hujan  dari sungai-sungai di Jakarta juga dipicu oleh menyempitnya lebar sungai akibat dicaplok gedung-gedung dan rumah-rumah.

 

Begitu makin menyempitnya tanah kosong, banyak pengembang mengajukan izin membangun perumahan di daerah resapan air. Sudah dapat dipastikan, daerah itu akan menjadi langganan hujan.  Perubahan peruntukan itulah bibit dari bakal munculnya banjir.

 

Akibat ego sektoral, wilayah-wilayah otonom, Jakarta tidak hanya didera kemacetan parah tiap hari, tapi juga dilanda banjir di kala musim hujan tiba.  Itulah pentingnya dibentuk Badan Otoritas Jabodetabek. []

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…