Akibat Kebijakan Suku Bunga - Likuiditas Masih Ketat di 2014

NERACA

Jakarta - Rektor Kwik Kian Gie School Of Business Anthony Budiawan mengatakan ketatnya kondisi likuiditas tahun ini karena pengaruh suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) “Ini karena pengaruh peningkatan suku bunga, selain itu juga kebijakan tersebut memang ditujukan untuk pengurangan likuiditas,” kata Anthony kepada Neraca Minggu (19/1).

Selain itu, menurut dia pengetatan likuiditas juga akan mempengaruhi non performing loan (NPL) dan Laba pada sektor perbankan. “Laba sekarang juga sudah banyak yang turun, tapi kala u NPL itu seberapa tinggi bank memberi suku bunga pinjaman. Secara teoritis akan mempengaruhi,” katanya.

Dia juga menjelaskan, salah satu alasan penyesuaian suku bunga sasarannya dalah untuk mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. “Ya untuk pengurangan tingkat pertumbuhan yang saat itu menjadi pemicu meningkatnya Current account deficit, makanya BI menaikkan suku bunga,” imbuh dia.

Anthony menjelaskan, hal ini memang akan mempengaruhi perekonomian nasional, seperti tahun ini efeknya adalah menurunnya jumlah investasi dan penurunan konsumsi. “Ironis memang secara kebijakan, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi yang baik, tapi itu tidak konsisten seharusnya jika memprediksi yang sesuai lah,” ucap dia.

Untuk saat ini, tambah dia suku bunga acuan atau BI Rate belum ada tanda-tanda akan diturunkan. “Ini mengingat adanya tapering off, ya mau tidak mau pasti akan terjadi capital outflow dari emerging market ke Negara maju. Tapi ini bisa dikendalikan jika Amerika memperpanjang kebijakan penarikan quantitive easing tersebut, namun ini juga akan menimbulkan gejolak ekonomi lagi,” tuturnya.

Tahun kuda kayu ini, bank sentral memprediksikan kondisi likuiditas perbankan masih akan ketat. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan hal tersebut terjadi karena adanya tekanan dari sisi eksternal. “Yakni ada arah kembalinya modal ke Negara maju, sementara dari sisi domestik, kenaikkan suku bunga juga bisa meningkatkan potensi persaingan penghimpunan dana,” kata Agus di Jakarta akhir pekan lalu.

Meskipun ketat, BI masih optimis industri perbankan nasional masih memiliki ketahanan yang cukup untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal itu. “Hal ini ditunjukan dengan adanya komitmen untuk menambah modal dari pemilik dan laba yang masih tumbuh dengan positif,” ucap dia.

Selain itu, mantan Menteri Keuangan ini juga menjelaskan, perbankan Indonesia berpotensi mengalami peningkatan risiko kredit. Menurut Agus, hal itu terjadi akibat belum selesainya penanganan defisit transaksi berjalan dan penyesuaian ekonomi global hingga akhir tahun lalu.

Menurut dia, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang memasuki fase konsolidasi. “Dari sisi eksternal sejauh ini sedang terjadi konstelasi global yang ditandai dengan perubahan kondisi perekonomian dunia, perekonomian negara-negara maju semakin membaik, tingkat suku bunga atau yield global juga akan cenderung meningkat. Sedangkan, ekonomi negara berkembang melambat," ujar Agus

Selain itu dia juga menjelaskan, kondisi global dan domestik tersebut akan memiliki risiko terburuk pada pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini. "Pertumbuhan ekonomi perlu dicermati, karena dapat berdampak pada peningkatan performing non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah, risiko pasar serta penurunan laba," ungkapnya.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah juga menjelaskan likuiditas perbankan akan mengetat akibat gejolak perekonomian global dan juga tingginya inflasi. Menurut dia, tahun 2013 lalu kebutuhan likuiditas cukup besar. “Tahun ini kan mereka harusnya memiliki rencana baru, rencana yang baru itu apa yangs aya lihat tidak seambisius tahun lalu,” kata Halim.

Menurutnya, dengan target pertumbuhan kredit yang tak sebesar tahun lalu, maka kebutuhan akan likuiditas pun pasti lebih kecil. Pada akhir 2013, lanjut Halim, mayoritas bank masih memiliki alat untuk likuiditas yang cukup di luar uang giral. Sementara yang membutuhkan likuiditas melakukan pinjaman ke bank sentral.

“Dia (bank) menggunakan alat likuidnya itu dia pinjam ke BI, dan itu dijadikan agunan sehingga dia punya likuiditas. Tapi masih aman, saya tadi katakan alat likuid dibagi non core deposit itu masih 82%, kita punya tresshold (batas aman) ini yang kita pakai sekarang 50%,” tuturnya. [sylke]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…