Biaya Logistik Tinggi akan Hambat Daya Saing - Penilaian World Bank

 

 

 

NERACA

Jakarta - Indonesia harus mulai memperbaiki kualitas daya saing usaha di dalam negeri. Salah satunya adalah mengurangi biaya logistik yang harganya bisa lebih dari negara Asean lainnya bahkan 2 kali lipat lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malysia. “Kalau kita lihat biaya angkut logistik di indonesia itu dua kali lebih tinggi dari Malaysia," kata Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas di Jakarta, Kamis (16/1).

Pihaknya juga menilai Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara di kawasan Asia lainnya. Seperti Bangladesh yang hanya 20% dari biaya logistik di Indonesia. Kemudian China, Vietnam dan Thailand yang berada di bawah Indonesia. “Paling tidak beda jauh dengan Filipina, ya itu pun bedanya juga sangat tipis. Kita kan inginkan perbedaan itu tampak mencolok dengan negara yang lebih baik, an harusnya kita bisa kan,” jelasnya.

Vivi menambahkan kondisi dapat menghambat pertumbuhan dan meningkatkan kompetitif usaha. Secara sistematis, ini akan berlanjut kepada ketersediaan lapangan kerja. "Kalau biaya logistiknya tinggi, kan akan semakin sulit harus menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang lain," ujarnya.

Kedepan Vivi mengharapkan pemerintah ikut serta untuk menyelesaikan persoalan ini. Terutama dalam membangun infrastruktur dasar dan penunjang usaha. "Ya itu kan harusnya ada upaya pemerintah membangun infrastruktur dan kelancara transportasi. Biar biaya logistiknya tidak terlalu mahal," terang Vivi.

Industri Tertinggal

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengeluhkan biaya logistik yang tinggi di Indonesia. Hal itu berdampak pada industri dalam negeri yang tertinggal dari negara lain dalam hal efisiensi. Ketua Apindo Sofjan Wanandi mengatakan selain regulasi, minimnya infrastruktur juga menjadi faktor penyebab ongkos industri jasa melambung tinggi. “Cost logistic (biaya logistik) kita masih sangat tinggi mencapai 14%, Sehingga industri dalam negeri bisa tertinggal,” kata Sofjan.

Menurut Sofjan, banyak hal yang harus diperbaiki untuk mendorong pertumbuhan industri diantaranya dari sisi regulasi dan infrastruktur. Apindo telah mengusulkan kepada pemerintah agar ada prioritas pembenahan infrastruktur. "Listrik, gas atau infrastruktur lain, kita akan usulkan," ungkapnya. Sofjan juga mengungkapkan, pentingnya bagi Indonesia untuk mengejar negara maju dalam pertumbuhan industri. Sehingga Apindo menganggap komunikasi dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik sangat penting.

Dalam kesempatan yang berbeda, Pendiri Supply Chain Indonesia (SCI), Setijadi, mengatakan sistem logistik Indonesia belum mampu berperan sebagaimana mestinya meskipun peran utamanya sebagai pendukung konektivitas antar wilayah demi mencapai kesejahteraan masyarakat. “Indikasi persoalan ini dapat dilihat dari ketersediaan tingkat harga, fluktuasi harga dan disparitas harga antar wilayah untuk beberapa barang, komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Imbasnya terhadap biaya dan mempengaruhi daya saing barang baik di dalam maupun luar negeri,” kata Setijadi,

Masalah di dalam sistem logistik Indonesia, tambah dia, sangat kompleks karena berbagai faktor, seperti keragaman komoditas, luas wilayah dan kondisi geografis, kondisi infrastruktur, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah banyak pihak terkait dengan berbagai kepentingan dalam sistem logistik, seperti beberapa kementerian dan instansi di tingkat pusat, pemerintah daerah, BUMN, perusahaan swasta, dan lainnya.

Setijadi menambahkan, implementasi Blue Print Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sejak dua tahun lalu belum sesuai harapan. Padahal blue print ini telah rilis 5 Maret lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 26/2012 tanggal 5 Maret 2012. “Kendala implementasi Sislognas adalah komitmen para pihak terkait dalam pengembangan logistik nasional, terkait itikad para pihak untuk menjalankan arah kebijakan dan strategi dalam mewujudkan tujuan Sislognas pada 2025,” ujarnya.

Di tingkat pemerintah pusat, lanjut Setijadi, komitmen ini diperlukan dari pemerintah daerah, Badan Umum Milk Negara (BUMN) dan swasta sebagai pelaku dan penyedia jasa logistik, selain asosiasi dan pihak lain. Masalah lain yang menjadi fokus perhatian, kata Setijadi, evaluasi dan pengawasan dalam implementasi sislognas, seperti perencanaan dan pembangunan infrastruktur logistik, maupun dalam kegiatan operasionalnya. Dalam tahap operasional, evaluasi dan pengawasan diperlukan berkaitan dengan kinerja pelayanan yang pada akhirnya dapat merugikan para pengguna tersebut.

 

BERITA TERKAIT

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

Konsumsi Energi Listrik SPKLU Meningkat 5,2 Kali Lipat - MUDIK LEBARAN 2024

NERACA Jakarta – Guna memanjakan pemudik yang menggunakan kendaraan listrik EV (Electric Vehicle), 1.299 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum…

BERITA LAINNYA DI Industri

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

Konsumsi Energi Listrik SPKLU Meningkat 5,2 Kali Lipat - MUDIK LEBARAN 2024

NERACA Jakarta – Guna memanjakan pemudik yang menggunakan kendaraan listrik EV (Electric Vehicle), 1.299 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum…